Sabtu, 07 April 2012

HADIS HUKUM


A.    PENDAHULUAN
Gelar pemimpin umat, bangsa, negara adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat, rakyat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.
Jangan hanya mementingkan partai atau golongannya sendiri dan tidak mementingkan rakyatnya, semisal kebijakan kenaikan BBM atau tidak menaikan BBM. Seharusnya pemerintah harus jeli dalam mengambil sikap tersebut, boleh mengambil kebijakan untuk menaikan BBM. tapi, harus ada solusi yang terbaik bagi pemerintah jangan solusi yang asal-asalan saja. Dampak dari keniakan BBM adalah sangat terasa bagi masyarakat. Soalnya bila BBM dinaikan. Maka, akan terjadi kenaikan bahan baku yang lain secara bersamaan.
Paling tidak dengan dinaikan BBM upah pekerja juga harus dinaikan pula supaya ada keseimbangan antara kedua belah pihak. Jangan hanya BBM aja yang naik upah pekerjanya tidak dinaikan. Bisa kacau nantinya, disamping tidak kesiapan dari rakyat yang notabenya kekeruangan dalam keseharian juga akan berdampak pengangguran yang semakin meningkat. Itu belum rakyat yang lain semisal petani, nelayan, sopir angkot, buruh, dan yang lainya. Akan terjadi ketidak seimbangan dalam kebijakan tersebut walau akan adanya BLT menurut kami itu bukan solusi. Tapi, itu adalah sarana untuk memiskinkan dan memperburuk keadaan rakyat yang kurang mampu di Indonesia tercinta ini. Memang ada juga segi positifnya tapi, untuk sekarang ini masih banyak segi negatifnya yang akan ditimbulakan oleh kebijakan tersebut.

B.     DEFINISI PEMIMPIN
Pemimpin atau pemelihara yang dalam hadis yang akan kami jabarkan disebut dengan kata “ra’in” adalah pemelihara yang selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap anggota yang berada dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban atau tugas yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).

Dari definisi di atas, tidak ada seorang pun yang tidak menjadi ra’in (pemimpin), meskipun ranah ra’iyyah yang diembannya berbeda-beda. Masing-masing dari mereka memiliki tanggung jawab untuk berbuat baik dan menciptakan kemaslahatan bagi semua yang berada di bawah pemeliharaannya. Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyatnya, kepala sekolah bertanggung jawab kepada staff guru dan murid-muridnya, kepala keluarga bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, dan lain sebagainya. Bahkan seorang anak, tukang, pedagang, petani, atau pelayan sekalipun, mereka bertanggung jawab kepada wilayah pemeliharaannya (ra’iyyah). Apabila seorang ra’in tersebut dapat mengemban dan menjalankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara ra’iyyahnya, maka ia benar-benar telah menjalankan amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Kata ra’iyyah (yang dipimpin) kemudian diambil menjadi kosa-kata dalam Bahasa Indonesia dengan arti rakyat. Maka tersebutlah ada pemimpin (ra’in) dan ada rakyat (ra’iyyah).
Berdasarkan analisis empiris dapat dikemukakan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya pemimpin dalam perkembangan masyarakat baik modern maupun tradisional yaitu:
  1. Sebagai polarisasi dari terbentuknya suatu kelompok yang berawal dari bersatunya individu-individu yang memiliki perbedaan-perbedaan kemudian membentuk suatu komunitas tertentu karena adanya suatu sikap saling membutuhkan satu sama lain dalam rangka mencapai kehidupan yang aman, tentram, damai dan lebih baik sesuai dengan jalan kebenaran
  2. Sebagai pencerminan kemampuan seseorang yang dapat dilihat melalui kepribadian, komitmen, kemampuan intelektual, integritas, kepekaan terhadap perubahan situasi, kondisi, zaman serta tempat dan kemampuannya dalam mencapai tujuan-tujuan sehingga orang dapat memberikan penilaian terhadap dia dan menjadikan reputasinya naik menjadi orang yang dipercaya sebagai pemimpin.
Sebagai jawaban dari faktor-faktor situasional dan kondisional seperti keturunan, kejiwaan ataupun lingkungan yang memungkinan seseorang dipercaya untuk membina sebuah komunitas masyarakat dalam mencapai suatu tujuan tertentu.







C.     PEMBAHASAN HADIS

 عن بن عمررضي الله عنه, سمعت رسو ل الله صلى الله عليه وسلم يقول: كلكم راع, ومسئول عن رعيته, الإمام راع, ومسئول عن رعيته, والرجل راع في أهله, ومسئول عن رعيته, والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها, والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته.

Diberitakan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kamu semua adalah pemelihara (pemimpin) dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang imam adalah pemelihara, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang suami adalah pemelihara keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemelihara di dalam rumah suaminya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang pembantu adalah pemelihara harta majikannya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” Perawi berkata, “Aku menyangka bahwa Rasulullah sungguh bersabda, “Seorang lelaki (anak) adalah pemelihara harta ayahnya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Kamu semua adalah pemelihara dan bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.” (HR. Mutafaq’alaih, al-Bukhari: 844 dan Muslim: 3408)

Ada juga untuk periwayatan yang lain semisal :


    Riwayat Abu Daud
  حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال « ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذى على الناس راع عليهم وهو مسئول عنهم والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهى مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

 Riwayat al-Turmuzi

 حدثنا قتيبة حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر عن النبى -صلى الله عليه وسلم- قال « ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذى على الناس راع ومسئول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وهى مسئولة عنه والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
 Riwayat Ahmad ibn Hanbal

 حدثنا إسماعيل أنا أيوب عن نافع عن بن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : كلكم راع وكلكم مسؤول فالأمير الذي على الناس راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسؤول والمرأة راعية على بيت زوجها وهي مسئولة والعبد راع على مال سيده وهو مسؤول ألا فكلكم راع وكلكم مسؤول
D.    KATA KUNCI
Bicara soal “pemimpin”, persepsi yang selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya semua orang adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadis di atas. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat (pemerintah) sampai pada tingkatan kepemimpinan di rumah tangga. Bahkan dalam klausa hadis kullukum ra'in tersirat bahwa kepemimpinan itu berlaku pula dalam setiap individu untuk memimpin, mengarahkan, dan menuntun dirinya pada jalan kebaikan dan kebenaran. Atau setidaknya setiap individu harus mengendalikan hawa nafsu, dan mengontrol perilaku atau anggota badannya, yang kesemuanya itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Apatah lagi memang, setiap manusia diciptakan oleh Allah di dunia telah di-"lantik" sebagai seorang pejabat yang memiliki tugas ganda –sebagaimana disebutkan pada latar belakang di atas- yaitu hamba Allah sekaligus menjadi khalifah-Nya. Hal ini kembali mempertegas bahwa manusia sejak ia dilahirkan sudah menjadi pemimpin yang diakui.
Karena itulah, pemimpin dapat dimaknai sebagai orang yang diberikan amanah dan kepercayaan oleh Allah untuk melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Dengan demikian, setiap orang harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dalam segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu sesuai dengan makna kata ra'in dalam hadis tersebut; memelihara, mengawasi, dan atau melayani. Terlebih lagi bagi orang yang sudah dipercayakan untuk menjadi pemimpin dalam sebuah kelompok, organisasi, atau wilayah tertentu.
Hanya saja, kata pemimpin dalam bahasa Arab sering digunakan dalam beberapa term, yaitu:
a.       Term راع
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa term al-ra'in pada dasarnya berarti penggembala yang bertugas memelihara binatang, baik dengan memberikan makanannya maupun dengan melindunginya dari bahaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut juga dimaknai "pemimpin", karena tugas pemimpin sebenarnya hampir sama dengan tugas penggembala yaitu memelihara, mengawasi, dan melindungi orang-orang yang dipimpinnya.
Ini berarti bahwa ketika kata pemimpin disebut dengan term al-ra'in  maka itu lebih dikonotasikan pada makna tugas dan tanggung jawab pemimpin tersebut. Lebih jauh lagi, term ri'ayah yang merupakan salah satu bentukan dari akar kata رعى hanya ditemukan satu kali dalam al-Qur'an, yakni pada QS. Al-Hadi: 27. Di dalam ayat tersebut, kata ri'ayah dihubungkan dengan kata ganti/dhamir ها yang merujuk kepada kata رهبانية . menurut al-Asfahani, kata ini berarti takut yang disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti. Sehingga seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya dilaksanakan penuh hati-hati, disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan orang yang dipimpinnya.



b.      Term خليفة
Kata khalifah berasal dari akar kata خلف yang berarti "di belakang". Dari akar kata tersebut, lahir beberapa kata yang lain, seperti خليفة (pengganti), khilaf (خلاف ) "lupa atau keliru", dan khalafa (خلف).
Khusus untuk kata khalifah, secara kebahasaan berarti "pengganti". Makna ini mengacu kepada arti asal, yaitu "di belakang". Disebut khalifah karena yang menggantikan selalu berada di belakang atau datang di belakang, sesudah yang digantikan.
Di dalam al-Qur'an sendiri, kata khalifah disebut pada dua konteks. Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan khalifah di atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang menugaskannya. Kedua, di dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Daud as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa Daud menjadi khalifah yang diberi tugas untuk mengelola wilayah yang terbatas.
Melihat penggunaan kata khalifah di dalam kedua ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kata ini lebih dikonotasikan pada pemimpin yang diberi kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah di bumi. Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu, seorang khalifah tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya.



c.       Term أمير
Kata amir merupakan bentuk isim fa'il dari akar kata amara yang berarti "memerintahkan atau menguasai". Namun pada dasarnya kata amara memiliki lima makna pokok, yaitu "antonim kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan, tanda, dan sesuatu yang menakjubkan. Hanya saja, bila merujuk ke al-Qur'an, kata amir tidak pernah ditemukan di sana, yang ada hanya kata ulil amri yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil amri tersebut. Ada yang menafsirkan dengan "kepala Negara, pemerintah, dan ulama". Bahkan orang-orang Syi'ah mengartikan ulil amri dengan imam-imam mereka yang maksum. Namun, sekalipun di dalam al-Qur'an tidak pernah ditemukan, ternyata kata amir itu sendiri sering digunakan dalam beberapa hadis. Misalnya saja, hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.

Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst. Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya. Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain.

Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.

E.     TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Seorang pemimpin, baik sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa, maupun yang lainnya. didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban amanah sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa menegakkan supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus mendukung setiap langkah yang positif untuk membangun bangsa yang beradab, adil, dan sejahtera.

Selain itu, ia juga harus memperhatikan tuntutan nurani rakyat, menjaga keamanan dan kenyamanan mereka dari segala gangguan dan ancaman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar wilayah kekuasaannya. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, ia harus mempertanggung-jawabkan semuanya itu di hadapan Allah s.w.t.. Demikian beratnya tugas seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Dinasta Umayah yanga arif dan bijaksana, ketika didaulat sebagai Khalifah, kalimat yang pertama kali ia katakan adalah “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, kalimat istirja’ yang diucapkan ketika menerima suatu musibah. Bagi dirinya, jabatan pemimpin (khalifah) bukan suatu anugerah yang harus dibanggakan, melainkan amanah rakyat yang harus ia tunaikan dengan jujur, adil, dan bijaksana. Tepat sekali apa yang dikatakan seorang ahli politik nasional, Andi Mallarangeng, “The state that never sleep” (negara yang tak pernah tidur) untuk kinerja pemerintah yang tak mengenal lelah bekerja keras demi merealisasikan kemaslahatan umat, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera.

Kesan pemimpin adalah sosok yang kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala kebijakan menyangkut nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim (otoriter) akan membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak negara yang sejahtera karena dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian runtuh dan sengsara karena dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang dzalim. Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah kaidah fiqh: “Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan masyarakatnya.” Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin, bukanlah nafsu kekuasaan yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama, maka ia termasuk pemimpin yang tidak jujur.

Ketidakjujuran seorang pemimpin terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak rakyatnya. Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya pribadi. Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik mereka dalam bentuk korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin seperti ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara keseluruhan. Di dunia, ia akan dijerat oleh hukum negara atas tindakannya yang berbuat aniaya semasa berkuasa.

F.      KESIMPULAN
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.   
Dalam Islam, pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.
1.      Seluruh manusia menjadi pemimpin sekaligus menjadi pemelihara dan pengurus terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.
2.      Pemimpin atau pengurus harus berbuat baik kepada apa yang dipimpinnya atau diurusinya, karena semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah.
3.      Pemimpin atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang ditempuhnya sewaktu di dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar