A.
PENDAHULUAN
Gelar pemimpin umat, bangsa, negara adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu
memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat, rakyat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang
dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan,
kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan
jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para
anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga
harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan
terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia
memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat
realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria
yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi
mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi
demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka
tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di
kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan
seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang
terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara
menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu
melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan
suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan
mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.
Jangan hanya mementingkan partai atau golongannya sendiri dan tidak
mementingkan rakyatnya, semisal kebijakan kenaikan BBM atau tidak menaikan BBM.
Seharusnya pemerintah harus jeli dalam mengambil sikap tersebut, boleh
mengambil kebijakan untuk menaikan BBM. tapi, harus ada solusi yang terbaik
bagi pemerintah jangan solusi yang asal-asalan saja. Dampak dari keniakan BBM
adalah sangat terasa bagi masyarakat. Soalnya bila BBM dinaikan. Maka, akan
terjadi kenaikan bahan baku yang lain secara bersamaan.
Paling tidak dengan dinaikan BBM upah pekerja juga harus dinaikan pula
supaya ada keseimbangan antara kedua belah pihak. Jangan hanya BBM aja yang
naik upah pekerjanya tidak dinaikan. Bisa kacau nantinya, disamping tidak
kesiapan dari rakyat yang notabenya kekeruangan dalam keseharian juga akan
berdampak pengangguran yang semakin meningkat. Itu belum rakyat yang lain
semisal petani, nelayan, sopir angkot, buruh, dan yang lainya. Akan terjadi
ketidak seimbangan dalam kebijakan tersebut walau akan adanya BLT menurut kami
itu bukan solusi. Tapi, itu adalah sarana untuk memiskinkan dan memperburuk
keadaan rakyat yang kurang mampu di Indonesia tercinta ini. Memang ada juga
segi positifnya tapi, untuk sekarang ini masih banyak segi negatifnya yang akan
ditimbulakan oleh kebijakan tersebut.
B.
DEFINISI
PEMIMPIN
Pemimpin
atau pemelihara yang dalam hadis yang
akan kami jabarkan disebut dengan kata “ra’in” adalah
pemelihara yang selalu berusaha untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap
anggota yang berada dalam pemeliharaannya. Ia adalah orang yang diberikan
kepercayaan untuk mengurus dan memelihara segala sesuatu yang menjadi beban
atau tugas yang harus dilaksanakannya (ra’iyyah).
Dari definisi di atas, tidak ada seorang pun yang tidak menjadi ra’in (pemimpin), meskipun ranah ra’iyyah yang diembannya berbeda-beda. Masing-masing dari mereka memiliki tanggung jawab untuk berbuat baik dan menciptakan kemaslahatan bagi semua yang berada di bawah pemeliharaannya. Kepala negara bertanggung jawab kepada rakyatnya, kepala sekolah bertanggung jawab kepada staff guru dan murid-muridnya, kepala keluarga bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya, dan lain sebagainya. Bahkan seorang anak, tukang, pedagang, petani, atau pelayan sekalipun, mereka bertanggung jawab kepada wilayah pemeliharaannya (ra’iyyah). Apabila seorang ra’in tersebut dapat mengemban dan menjalankan fungsinya untuk menjaga dan memelihara ra’iyyahnya, maka ia benar-benar telah menjalankan amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Kata ra’iyyah (yang dipimpin) kemudian diambil menjadi kosa-kata dalam Bahasa Indonesia dengan arti rakyat. Maka tersebutlah ada pemimpin (ra’in) dan ada rakyat (ra’iyyah).
Berdasarkan analisis empiris dapat
dikemukakan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya pemimpin dalam perkembangan
masyarakat baik modern maupun tradisional yaitu:
- Sebagai polarisasi dari terbentuknya suatu
kelompok yang berawal dari bersatunya individu-individu yang memiliki
perbedaan-perbedaan kemudian membentuk suatu komunitas tertentu karena
adanya suatu sikap saling membutuhkan satu sama lain dalam rangka mencapai
kehidupan yang aman, tentram, damai dan lebih baik sesuai dengan jalan
kebenaran
- Sebagai pencerminan kemampuan seseorang yang
dapat dilihat melalui kepribadian, komitmen, kemampuan intelektual,
integritas, kepekaan terhadap perubahan situasi, kondisi, zaman serta
tempat dan kemampuannya dalam mencapai tujuan-tujuan sehingga orang dapat
memberikan penilaian terhadap dia dan menjadikan reputasinya naik menjadi
orang yang dipercaya sebagai pemimpin.
Sebagai jawaban dari faktor-faktor
situasional dan kondisional seperti keturunan, kejiwaan ataupun lingkungan yang
memungkinan seseorang dipercaya untuk membina sebuah komunitas masyarakat dalam
mencapai suatu tujuan tertentu.
C.
PEMBAHASAN
HADIS
عن بن عمررضي
الله عنه, سمعت رسو ل الله صلى الله عليه وسلم يقول: كلكم راع, ومسئول عن رعيته,
الإمام راع, ومسئول عن رعيته, والرجل راع في أهله, ومسئول عن رعيته, والمرأة راعية
في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها, والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته.
Diberitakan
dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Kamu semua adalah pemelihara (pemimpin) dan bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Seorang imam adalah pemelihara, ia bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Seorang suami adalah pemelihara keluarganya, ia bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemelihara di dalam rumah
suaminya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya. Seorang pembantu adalah
pemelihara harta majikannya, ia bertanggung jawab kepada pemeliharaannya.”
Perawi berkata, “Aku menyangka bahwa Rasulullah sungguh bersabda, “Seorang
lelaki (anak) adalah pemelihara harta ayahnya, ia bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya. Kamu semua adalah pemelihara dan bertanggung jawab kepada
pemeliharaannya.” (HR. Mutafaq’alaih, al-Bukhari: 844 dan Muslim: 3408)
Ada juga untuk periwayatan
yang lain semisal :
Riwayat Abu Daud
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن عبد
الله بن دينار عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال « ألا
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذى على الناس راع عليهم وهو مسئول عنهم
والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهى
مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه فكلكم راع وكلكم مسئول عن
رعيته
Riwayat al-Turmuzi
حدثنا قتيبة حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر عن النبى -صلى
الله عليه وسلم- قال « ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذى على الناس راع
ومسئول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت
بعلها وهى مسئولة عنه والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم
مسئول عن رعيته
Riwayat Ahmad ibn Hanbal
حدثنا إسماعيل أنا أيوب عن نافع عن بن
عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : كلكم راع وكلكم مسؤول فالأمير الذي على
الناس راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسؤول والمرأة راعية
على بيت زوجها وهي مسئولة والعبد راع على مال سيده وهو مسؤول ألا فكلكم راع وكلكم
مسؤول
D.
KATA
KUNCI
Bicara soal “pemimpin”, persepsi
yang selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan
dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin
bukan hanya mereka. Sesungguhnya semua orang adalah pemimpin, sebagaimana
ditegaskan dalam hadis di atas. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat
(pemerintah) sampai pada tingkatan kepemimpinan di rumah tangga. Bahkan dalam
klausa hadis kullukum ra'in tersirat bahwa kepemimpinan itu berlaku pula
dalam setiap individu untuk memimpin, mengarahkan, dan menuntun dirinya pada
jalan kebaikan dan kebenaran. Atau setidaknya setiap individu harus
mengendalikan hawa nafsu, dan mengontrol perilaku atau anggota badannya, yang
kesemuanya itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Apatah lagi memang, setiap manusia
diciptakan oleh Allah di dunia telah di-"lantik" sebagai seorang
pejabat yang memiliki tugas ganda –sebagaimana disebutkan pada latar belakang
di atas- yaitu hamba Allah sekaligus menjadi khalifah-Nya. Hal ini kembali
mempertegas bahwa manusia sejak ia dilahirkan sudah menjadi pemimpin yang
diakui.
Karena itulah, pemimpin dapat
dimaknai sebagai orang yang diberikan amanah dan kepercayaan oleh Allah untuk
melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya yang kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Dengan demikian, setiap orang harus
berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dalam segala tindakannya tanpa
didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu sesuai dengan
makna kata ra'in dalam hadis tersebut; memelihara, mengawasi, dan atau
melayani. Terlebih lagi bagi orang yang sudah dipercayakan untuk menjadi
pemimpin dalam sebuah kelompok, organisasi, atau wilayah tertentu.
Hanya saja, kata pemimpin dalam
bahasa Arab sering digunakan dalam beberapa term, yaitu:
a.
Term راع
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
term al-ra'in pada dasarnya berarti penggembala yang bertugas memelihara
binatang, baik dengan memberikan makanannya maupun dengan melindunginya dari
bahaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut juga dimaknai
"pemimpin", karena tugas pemimpin sebenarnya hampir sama dengan tugas
penggembala yaitu memelihara, mengawasi, dan melindungi orang-orang yang
dipimpinnya.
Ini berarti bahwa ketika kata
pemimpin disebut dengan term al-ra'in maka itu lebih dikonotasikan
pada makna tugas dan tanggung jawab pemimpin tersebut. Lebih jauh lagi, term ri'ayah
yang merupakan salah satu bentukan dari akar kata رعى hanya ditemukan satu kali dalam al-Qur'an,
yakni pada QS. Al-Hadi:
27. Di dalam ayat tersebut, kata ri'ayah dihubungkan dengan kata
ganti/dhamir ها yang merujuk kepada kata رهبانية . menurut al-Asfahani, kata ini berarti
takut yang disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti.
Sehingga seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kesadaran
akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya dilaksanakan penuh hati-hati,
disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan orang yang dipimpinnya.
b.
Term خليفة
Kata khalifah berasal dari
akar kata خلف yang berarti "di belakang". Dari akar kata tersebut,
lahir beberapa kata yang lain, seperti خليفة (pengganti), khilaf (خلاف )
"lupa atau keliru", dan khalafa (خلف).
Khusus untuk kata khalifah,
secara kebahasaan berarti "pengganti". Makna ini mengacu kepada arti
asal, yaitu "di belakang". Disebut khalifah karena yang
menggantikan selalu berada di belakang atau datang di belakang, sesudah yang
digantikan.
Di dalam al-Qur'an sendiri, kata khalifah
disebut pada dua konteks. Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam
as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan khalifah di
atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep
yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang menugaskannya. Kedua, di dalam konteks
pembicaraan tentang Nabi Daud as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa Daud
menjadi khalifah yang diberi tugas untuk mengelola wilayah yang
terbatas.
Melihat penggunaan kata khalifah
di dalam kedua ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kata ini lebih dikonotasikan
pada pemimpin yang diberi kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah di bumi.
Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu, seorang khalifah tidak boleh berbuat
sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya.
c.
Term أمير
Kata amir merupakan bentuk isim
fa'il dari akar kata amara yang berarti "memerintahkan atau
menguasai". Namun pada dasarnya kata amara memiliki lima makna
pokok, yaitu "antonim kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan,
tanda, dan sesuatu yang menakjubkan. Hanya saja, bila merujuk ke al-Qur'an, kata amir tidak
pernah ditemukan di sana, yang ada hanya kata ulil amri yang mengarah
kepada makna pemimpin, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil
amri tersebut. Ada yang menafsirkan dengan "kepala Negara, pemerintah,
dan ulama". Bahkan orang-orang Syi'ah mengartikan ulil amri dengan imam-imam
mereka yang maksum. Namun,
sekalipun di dalam al-Qur'an tidak pernah ditemukan, ternyata kata amir
itu sendiri sering digunakan dalam beberapa hadis. Misalnya saja, hadis riwayat
al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang
etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling
pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka
bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua
memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang
suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada
anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati,
gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst. Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin.
Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih
berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang
dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata
ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan
dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang
penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya. Tapi
cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan
binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang.
Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan
tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus
mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang
disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain,
seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya
sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain.
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan
adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila
orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi
standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih
jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang
majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah
minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab.
Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin
negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius
untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka
presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung
jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak
pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan
teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari
standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.
E.
TANGGUNG
JAWAB PEMIMPIN
Seorang
pemimpin, baik sebagai kepala negara, raja, gubernur, walikota, bupati, camat,
kepala desa, maupun yang lainnya. didaulat penuh oleh rakyat untuk mengemban
amanah sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa
menegakkan supremasi hukum dengan adil dan bijaksana, memberikan hak-hak
rakyat, menjamin kemerdekaan berpendapat, berserikat, menjalankan ibadah
menurut keyakinan mereka masing-masing. Mereka juga harus mendukung setiap
langkah yang positif untuk membangun bangsa yang beradab, adil, dan sejahtera.
Selain
itu, ia juga harus memperhatikan tuntutan nurani rakyat, menjaga keamanan dan
kenyamanan mereka dari segala gangguan dan ancaman, baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar wilayah kekuasaannya. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang
dimilikinya, ia harus mempertanggung-jawabkan semuanya itu di hadapan Allah
s.w.t.. Demikian beratnya tugas seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz, salah
seorang Khalifah Dinasta Umayah yanga arif dan bijaksana, ketika didaulat
sebagai Khalifah, kalimat yang pertama kali ia katakan adalah “inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un”, kalimat istirja’ yang diucapkan ketika menerima suatu
musibah. Bagi dirinya, jabatan pemimpin (khalifah) bukan suatu anugerah yang
harus dibanggakan, melainkan amanah rakyat yang harus ia tunaikan dengan jujur,
adil, dan bijaksana. Tepat sekali apa yang dikatakan seorang ahli politik
nasional, Andi Mallarangeng, “The state that never sleep” (negara yang tak
pernah tidur) untuk kinerja pemerintah yang tak mengenal lelah bekerja keras
demi merealisasikan kemaslahatan umat, mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,
aman, dan sejahtera.
Kesan
pemimpin adalah sosok yang kharismatik bagi rakyatnya, ditangannyalah, segala
kebijakan menyangkut nasib rakyat ditentukan. Pemimpin yang adil tentu akan
membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Sedangkan pemimpin yang dzalim
(otoriter) akan membawa mereka kepada kesengsaraan yang berkepanjangan. Banyak
negara yang sejahtera karena dipimpin oleh presiden yang adil, tetapi kemudian
runtuh dan sengsara karena dilimpahkan kepada generasi penerusnya yang dzalim.
Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dicantumkan dalam sebuah kaidah fiqh:
“Kebijakan seorang imam harus berdasarkan pada kemaslahatan masyarakatnya.”
Dengan demikian, barometer kebijakan seorang pemimpin, bukanlah nafsu kekuasaan
yang bersifat politis, melainkan amanat rakyat yang diembankan kepadanya. Apabila
seorang pemimpin tidak memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan ia menzalimi
mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan bersama,
maka ia termasuk pemimpin yang tidak jujur.
Ketidakjujuran
seorang pemimpin terlihat dari perilakunya yang lalai dalam menunaikan hak-hak
rakyatnya. Ia sering memanipulasi kepentingan mereka demi kepentingannya
pribadi. Bahkan ia tak segan memeras keringat rakyat dan memakan harta milik
mereka dalam bentuk korupsi dan kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin
seperti ini akan menanggung dosa umat dan bangsa secara keseluruhan. Di dunia,
ia akan dijerat oleh hukum negara atas tindakannya yang berbuat aniaya semasa
berkuasa.
F.
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang sempurna, di
antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik
yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah) maupun hubungan dengan
manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di
pemerintahan.
Karena kepemimpinan merupakan suatu
amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan
tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana.
Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan
dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan
keaktifan.
Dalam Islam, pemimpin adalah abdi
masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang
setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh
dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi
dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika
manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan
berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi
pemimpin demi keuntungan materi semata.
1.
Seluruh manusia menjadi pemimpin
sekaligus menjadi pemelihara dan pengurus terhadap apa yang menjadi tanggung
jawabnya.
2.
Pemimpin atau pengurus harus berbuat
baik kepada apa yang dipimpinnya atau diurusinya, karena semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabnya di hadapan Allah.
3. Pemimpin
atau penguasa adalah pemelihara umat yang harus dengan jujur melaksanakan
amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan di segala bidang.
Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang ditempuhnya sewaktu di
dunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah
merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah
akan melaknatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar