Bab
I
Pendahuluan
Era
Reformasi adalah ajang mencari bakat korupsi, bayak sekali pejabat-pejabat kita
yang terjangkit korupsi dan seakan-akan korupsi menjadi ajang bergengsi tuk
peroleh gelar dan mendapat setatus idola, kegemaran pejabat sekarang adalah
korupsi yang dilegalkan dengan undang-undang juga peraturan dengan berbagai
macam cara untuk pelegalanya. Dalam momentum Reformasi mulai bergema tentang
pemberantasan korupsi, hingga akhir-akhir ini banyak yang meneriakkan tentang
anti korupsi baik dari lapisan masyarakat maupun Mahasiswa. Bahkan di UIN
sendiri telah dibuka ajang Gerakan Pemuda Melawan Korupsi (GPMK) dalam bulan
oktober lalu telah mengadakan pertemuan mahasiswa melawan korupsi se-Indonesia.
Bahkan
di UGM juga ada kajian tentang korupsi (PUKAT) yang mengupas tentang korupsi
dan bagaimana pemberantasan dan penanggulanganya, tapi memang para pejabat kita
ini tidak punya rasa malu. Dengan seenaknya memakan uang rakyat dan
melegalkanya dalam bentuk undang-undang dan juga peraturan pemerintah.
Karena
yang dihadapi adalah struktur yang sistemik bahkan membudaya, sehingga
dirasakan adanya gejala bahwa perang dan pemberantasan korupsi mulai dikebiri.
Korupsi hari ini bentuknya semakin licin, canggih, dan legal. Kebudayaan
korupsi dikalangan pejabat ini benar-benar menyandra negri kita tercinta ini.
Bab
II
Definisi
korupsi
Secara
umum dan dalam bentuk yang sederhana korupsi itu seperti halnya ada kekayaan
Negara yang dicuri dengan melawan hokum, itu dalam bentuk sederhana. Misalnya
ada harga aslinya adalah Rp. 100.000,- dinaikkkan menjadi Rp. 200.000,- dengan
memalsukan kwitansinya dan banyak lagi yang lainya, mark-up istilahnya.1
Dalam hal lain adalah penyalahgunaan anggaran, ada anggaran tuk pembuatan wisma
atlet Sea Games tapi dilarikan untuk anggaran belanja yang lain. Yang beritanya
sekarang bisa kita saksikan dimedia-media sekarang ini, yang penanganannya
sangat lambat sekali. Pengalihan-pengalihan anggaran itu dalam bentuk yang
sederhana.
1 : dikutip dari majalah isro’
PUSHAM UII
|
Hancur
sekali Negara kita ini yang tidak selayaknya mengemban amanat malah dipilih tuk
mengemban amanat yang akhirnya akan menghalalkan segala cara tuk mengembalikan
uang yang telah dikeluarkan polisi tersebut. Missal juga seperti pemilihan
Bupati yang ada sekarang ini, dia rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya
sudah menjadi rahasia umum pula setiap calon bupati harus mempunyai modal kurang
lebih 15 milyar tuk memenangkan pemilu padahal masa jabatan hanya 5 tahun dan
gajinya tidak bisa menutupi modal awalnya, terus apa yang terjadi dia juga rela
menggelapkan uang Negara demi mengembalikan modal awalnya tersebut.
Zainal
Arifin Mochtar, SH, LLM, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM mengatakan
dalam wawancara dalam majalah Isro’ yang diterbitkan PUSHAM UII bahwa ada
korupsi yang model purba, ada yang lebih keren, kalau mau kita simpelkan ada
dua korupsi sebenarnya, pertama ada
corruption by needs, korupsi karena kebutuhan, karena gaji rendah makanya dia
korupsi, biasanya pegawai rendahan. Anda kalau mau bikin KTP, terpaksa harus
memasukkan uang pelicin 10.000 sampai 20.000, itu kan penyuapan, tapi korupsi
karena kebutuhan. Kedua, ada corruption
by greeds, korupsi karena keserakahan, gajinya sudah menteri mungkin, sudah
ratusan juta, tapi tidak cukup, dan serakah serta mengambil tempat-tempat lain.
Cara
pembarantasanya kan beda, dua jenis ini, ndak mungkin disamakan, kita setuju
bahwa keduanya harus diperbaiki, pasti harus diobati, tapi caranya harus
berbeda, kalau corruption by needs, mungkin dengan pemberdayaan sekaligus
pencegahan. Orangnya diberdayakan, karan gajinya sedikit maka gajinya
dinaikkan. Akan tetapi kalau by greeds, menurut saya perlu pemberantasan dan
pencegahan, dipenjarakan dengan cara radikal, keras misalnya. Jangan sudah
korupsi sampai trilyunan penjaranya Cuma 3 tahun sampai 4 tahun, harus dikasih
hukuman maksimal. Kita tengok aja kasus wisma atlet ini apakah pelakunya akan
dibebaskan atau dihukum mati seperti yang dilakukan di Cina, atau malah mungkin
dibebaskan seperti yang dilakukan Pengadilan Tipikor belakangan ini. Padahal
sudah banyak yang dirugikan harusnya kan mendapat hukuman yang sangat berat
karena itu masuk kejahatan (musuh manusia), ia telah banyak membunuh
orang-orang miskin yang sangat membutuhkan uang, yang telah dikorupsi para
koruptor tersebut. Dalam kenyataan yang ada sebenarnya Negara kita adalah
Negara yang kaya dan makmur kalau dari temuan BPK, jumlah kebocoran anggaran
kita ini sekitar 20 sampai 30 persen, kebojoran bisa sampai beragam, bisa
korupsi bisa inefisiensi. Inefisiensi itu misalnya pelantikan anggota DPR
emngahbiskan dana 60 milyar atau yang telah terjadi belakangan ini yaitu
resaffel menteri yang menghabiskan banyak juga anggaran Negara. Tapi kalau ada
save bisa ditutup kebocoran anggaran tersebut, bayangkan jika Negara punya 1000
trilyun, 20 persennya sekitar 200 trilyun. Banyak hal yang bisa dilakukan.
Anggaran pendidikan, anggaran apa yang untuk memperbaiki negri, atau membuatkan
tempat tinggal bagi masyarakat yang terlantar, banyak hal yang bisa dilakukan
andai itu bisa di-save.
Maka
sangat penting untuk melakuakan pemberantasan korupsi. Yang paling penting
adalah pemberantasan yang corruption by needs, itu diperdayakan supaya tidak
lagi korup, pada saat yang sama pengawasanya diperbaiki. Yang corruption by
greeds, diperlakukan secara tegas pemberantasnya, diberi hukuman
seberat-beratnya atau mungkin diberi hukuman mati, agar menjadi penjera bagi
koruptor yang lain, pada saat yang sama dicegah, dan dibangun system supaya
tidak korup lagi. 2
Bab
III
Maraknya
legalisasi korupsi dengan peraturan dan UUD
Dengan
perkembangan zaman yang ada sekarang ini banyak pejabat-pejabat yang
meligalisasi korupsi seperti pembuatan undang-undang yang menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Berarti wakil rakyat sekarang ini telah menjual hak-hak
rakyatanya dong. Padahal dia wakil rakyat terus apa yang harus kita lakukan dan
kenapa juga para pembela HAM tidak memperduliakan hal ini. Apakah dia takut
atau tidak ada bayaran tuk membela rakyat yang tak punya uang. Contoh secara
nyata yaitu coba kita membaca undang-undang tentang pelayaran, bayangkan dalam
UU pelayaran itu pihak asing bisa memiliki pelabuhan, dengan konsep sewa
beberapa tahun. Itu pastinya ada kongkalikong antara anggota DPR dan pihak
asing yang membayar DPR dalam beberapa rapat. Bahaya juga kan bila seperti akan
banyak terjadi penyelendupan yang bisa dengan seenaknya keluar masuk ke Negara
kita. Itu semua masuk dalam penjualan kewenangan dan telah melanggar hak
rakyat. Atau mungkin kita membaca tentang UU no 9 tahun 2009 tentang badan
hokum pendidikan, privasi pendidikan/UU ini menjadi legalisasi pemerintah,
dalam UU BHP ini pemerintah masih mewajibkan masyarakat untuk membayar
pendidikan, padahal pemerintah seharusnya memberikan pendidikan
1 : dikutip dari majalah isro’
PUSHAM UII
|
Apalagi
sekarang banyak bermunculan agama dijadikan sebagai kedok untuk memperkaya diri
sendiri dan banyak juga korupsi yang mengatasnamakan agama. Semisal dalam
renovasi pembangunan masjid manyak kita ketahui juga yang terlibat dalam
panitia pembangunan adalah kerabat dekat mereka, dari pembuat pintu, kusen,
atau bahkan mungkin kontraktornya juga dari keluarga sendiri. Bahkan banyak praktek
korupsi yang dilakukan pintu yang harga asalnya sekitar 2 juta ternyata dalam
catatan bisa nyampek 5 juta, apa ini tidak gila, agama seagai sentral
masyarakat ternyata sudah banyak penyelewengan terjadi. Bahkan dalam beberapa
pekan ini telah dilangsungkan Idul Adha (hari raya qurban) ternyata nilai
kesakralanya telah ternodai dengan perbuatan kaumnya yang aslinya sapi yang
berkisar harga 9 juta tipe A1 yang telah disepakati bersama, ternyata yang
nyampek di tempat hanya kapasitas A3 yang berkisar harga 5 juta saja, terus
dikemanakan uang 5 juta itu, padahal itu milik umat, dan yang mngerikan lagi
adalah sapi tersebut mengalami penyakit dalam hatinya yaitu banyak cacing pita
dihati sapi tersebut, dalam kesehatan kan makan daging sapi seperti itu tidak
diperbolehkan, tapi kenapa hal yang seperti ini marak terjadi. Disitu juga
kepentingan yang bermain dan juga kekuasaan yang melegalisasi perbuatan
tersebut.
“ siapa yang punya kepentingan terhadap
kebijakan, kita harus melihat tiga segi emas : penguasa, pengusaha, dan rakyat.
Lebih spesifik kebijakan publik itu semestinya bersesuaian dengan konstitusi.
Publik sebernarnya rakyat itu sendiri dimana lokasi itu ada, maka disitulah
mereka semua dilibatkan. Setelah itu baru tim perumus mendengarkan,
mengabstraksikan apa yang paling menyentuh dari persoalan-persoalan masyarakat.
Namun, saying kebijkan public tidak sesuai dengan teorinya, sekedar procedural
dan politik sekarang diartikan take and
give.” Prof. Dr. san Afri Awang.
Hokum
dalam Negara modern sangatlah penting untuk menjamin keberlangsungan hidup
seorang ataupun kelompok. Adanya jaminan hokum, setidaknya menjadi landasan
yang kuat bagi aparat keamanan, kemana mereka akan berpihak jika ada persoalan.
Hokum berarti rujukan yang final dari benar dan salahnya suatu tindakan.
Hokum harus ditegakkan walaupun langit
runtuh, itulah kira-kira motto penegak hokum sampai hari ini yang bisa dibeli dengan
uang secara kenyataanya.
Bila
hokum tidak diselewengkan oleh para aparat penegak hokum, dia akan menjadi
momok bagi pelanggar hokum, hukum menjadi hebat, karena hkum dirumuskan dalam
pemegang otoritas Negara, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Mereka
terpilih karena mengatas namakan rakyat, mewakili rakrat, dan menyuarakan suara
rakyat yang sangat banyak. Otoritas penguasa tersebut terwujud dalam kekuasaan
politik yang sangat kuat. kebijakan-kebijakan public merekalah yang mengatur
semuanya. Control kebijakan penguasa seringkali macet karena mayoritas Dewan
Perwakilan Rakyat berlatar ideologi politik dan kepentingan yang sama, yaitu memikirkan keuntungan diri
sendiri dan kelompoknya, kompromi politik sudah biasa.
Bahkan
sangat banyak kebijakan-kebijakan hokum yang bermasalah setelah diputuskan dan
itu sangat menyengsarakan rakyat dan menguntungkan salah satu pihak saja, coba
kitakaji bersama tentang UU No 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas, UU No 7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 9 tahun 2009
tentang Badan Hokum Pendidikan, Perpres No 55 tahun 2005 tentang Harga jual
Eceran BBM dalam negeri dan beberapa kebijakan pemerintah yang mendiventasi dan
menjual perusahaan-perusahaan penting Negara.
Munculnya
kebijakan dan peraturan public yang melenceng dari konstitusi memang tidak bisa
dilepaskan dari aktor-aktor yang ada dipemerintahan dan parlemen. Bahkan dalam
rancangan kebijakan atau peraturan, memang konsep yang ada sudah melenceng dari
filosofi dan ketentuan kontitusi. Ada actor-aktor yang sengaja dipersiapkan
secara sistematik untuk mengawal kebijakan-kebijakan dan pengaturan
perundang-undangan demi kepentingan sepihak yang bisa menghasilkan keuntungan
pribadi, bukan keuntungan rakyat, apakah anggota pemerintrahan seperti ini
layak dijadikan wakil rakyat. Ini semua bisa kita nilai dan tengok sedang
ketidakadilah ada didepan mata dan juga melanggar Ham. Tapi, dimana para
manusia yang mengatasnamakan Ham, dia hanya muncul saat ada uang dibelakangnya.
Harus
ada pertanggung jawaban secara umum penyelengara Negara yang bertujuan untuk
melayani rakyat dari segala bentuk penyelenggara Negara , mulai dari eksekutif,
legislative, atau yudikatif. Pada hakekatnya mereka dipilih oleh rakyat untuk
melakukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tapi kenapa setelah dipilih malah
kebijakan yang rumuskan banyak merugikan rakyat. Bahkan masa sekarang ini para
penegak hokum hanya memikirkan uang dan uang saja diotaknya, hal yang untuk
menegakkan keadilan tidak ada dalam benak meraka, seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga yang lain masih mengalami ketergantungan
terhadap anggaran dan politik pada pemerintahan dan wakil rakyat. Sekarang ini
penegakan hokum di Indonesia sudah banyak penyelewengan dan kalah dengan uang
atau dalam kata lain hokum adalah permainan materi semata, apakah hokum di
Indonesia ini bisa dipertahankan padahal kenyataan yang ada, hukum sudah
sepihak dalam menjalankan keadilan.
Bab
IV
Sejauh
mana pemberantasan korupsi dengan lembaga yang ada
Memang
sangat sulit mengatakan sejauh mana
pembernatasan yang sudah dilakukan saat ini, padahal telah banyak
anggaran Negara yang telah terkeluarkan untuk membuat lembaga hokum seperti halnya KPK., Pengadilan
Tipikor, pengawasan pencucian uang kita bikin PPATK, semua tenaga itu telah
kita bikin dan telah kita mengetahui perkembangannya dari awal dibikin sampai
sekarang ada beberapa berita tentang pembubaran KPK, dan pengadilan tipikor.
Jika
memang harus membubarkan pengadilan tipikor yang tak maksimal dalam menjalankan
tugasnya, malah banyak membebaskan para terduga korupsi yang banyak sekali.
Tapi, kita juga harus ingat pula banyak juga yang dapat dipidanakan. Mungkin
bisa lebih dimaksimalkan atau mengambil personel baru yang bukan dari kalangan
polotik pemerintahan. Tapi, dari kalangan biasa yang kompeten dan empunyai
idealism yang tinggi untuk menjalankan keadilan sebenarnya. Walau dalam masa
sekarang ini sanagt sulit menemukan orang yang seperti itu, atau mungkin di
cari tau masalahnya kenapa pengadilan tipikor membebaskan para koruptor,
dikarenakan kekurangan bukti atau ada unsure penyuapan dalam hakim da
kroni-kroninya. Sangat disayangkan bila harus membuang uang yang sangat besar
dalam pembuatanya. Tapi, dibubarkan denga begitu saja.
Dan
sebelum pembubaran pengadilan tipikor kita juga pernah mendengar kabar tenatang
DPR yang akan membubarkan KPK. Ada unsure apakah seperti ini ataukah DPR takut
dengan KPK, karena telah banyak para korupsi yang tertangkap dan terjerat. Pada
saat ini KPK adalah sentral penegakan hokum yang konsisten dalam memperjuangkan
keadialan, berbeda dengan aparat penegak keadialan yang lain, yang hanya
mementingkan kepentingan pribadi saja. Bahkan sekarang sudah menjadi rahasia
umum bahwa polisi atau aparat yang lain dapat kita beli dengan uang. Jika ada
uang maka mereka akan jalan jika tidak ada uang mereka akan diam dan membisu.
Walau banyak ketidakadilan yang harus diberantas.
Apa
yang terjadi dengan KPK sepertinya banyak yang tidak suka dengan kedudukan KPK
dalam pemberantasan korupsi. Seperti halnya sekarang anggaran untuk menjalankan
aktifitas dalam pemberantasan dikurangi. Apakah ini upaya pemerintah agar
pemberantasan korupsi bisa mandek dan tidak menindak pemerintah dengan
mengurangi anggaran dana dan membatasi personel KPK sendiri. Jika ingin Negara
kita bisa maju harus disokonglah dana yang lebih supaya banyak koruptor yang
bisa cepat ditangkap. Dengan pengekangan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap KPK pasti akan banyak pelaku korupsi yang tidak bisa dikontrol dan
makin membudaya.
Kalau
ditanya penyebab kemandegan tersebut yang harus diadili pertama kali adalah
kekuatan politik yang masih mendominasi kata (Budriland) atau menghagemoni
kata (Karl Marx). KPK sendiri telah
dibajak oleh pemerintah yang condong dalam politik pencitraanya. Hanya pandai
pidato tapi tak cakap dalam tindakan, hanya teori realisasi yang tak ada. KPK
sendiri terjebak dalam system DPR, contonya pemilihan KPK itu dilakukan oleh
komisi III, andaikata dalam komisi ini banyak terdiri dari partai-partai besar
missal aja Golkar dan PDI ini menikah selasai sudah. Itu yang membuat betapa
mudahnya terjadi politisasi. Dan bahkan banyak juga anggota KPK dari
partai-partai usungan komisi III tersebut.
Kenapa
presiden tidak tegas dalam pemberantasan korupsi, hemat kami adalah adanya
jebakan politik. Sedangkan partai yang didukung Cuma 31 persen, mudah sekali
ini digoyang oleh partai lain, mau tidak mau dia mencari dukungan dari partai
lain dengan cara menyenangkan partai lain. Itu memang secara teoritik adalah
jebakan system presidensial dengan system partai majemuk (multipartai), mau
tidak mau presiden yang memiliki dukungan politik rendah terpaksa harus menjual
sebagian kewenanganya untuk partai-partai agar kemudian dia didukung. Itu
factor salah satunya, mungkin salah duanya adalah kualitas. Orang yang terpilih
dari proses politik, secara rahasia umum semua adalah hasil menyuap. Dan kami
nggak yakin semua dilakuakan tanpa adanya politik uang.
Bab
V
Adakah
kepercayaan terhadap parlemen
Memang
kita tidak percaya terhadap parlemen tapi, yang menjadi maslah adalah bagaimana
kita bisa memperbaiki system yang telah berlaku pada sekarang ini, ataukah
dengan system pengganti yang seperti apa, kalau misalnya kita sodorkan system
islami misalnya, kalau pribadi kami sendiri sangat setuju, bagus, baik, akan
tetapi untuk mengubah system tersebut kita harus masuk pada undang-undang
dasar, pada saat yang sama mekanisme undang-undang, proses perubahan amandemen
itu harus melalui partai politik lagi, yaitu melalui DPR , padahal hal tersebut
sangat banyak sekali bahkan takut bila diperlakukan system islamis, karena pada kenyataan yang berlaku banyak
dari golongan DPR yang menjadi pelaku korupsi, seperti yang telah kami tuliskan
sebelumnya banyak kasus-kasur pembuatan undang-undang yang hanya mementingkan
salah satu pihak saja yang notabenya yang mempunyai uang banyak.
Coba
bila demokrasi diindonesia saat ini bisa dijalankan secara selaras pasti suara
rakyat bisa dijadikan acuhan untuk pembuatan undang-undang, tapi kenyataan yang
ada malah sebaliknya suara rakyat hanya dijadikan sebagai suara tanpa rupa
saja. Rakyat hanya dijadikan sebagai penonton yang tak boleh mengeluarkan
pendapat ini sudah melnggar HAM. Terus dimana para penegak HAM selama ini. Coba
misalnya rakyat mendesak untuk perubahan atau mendukung hukum islam. Iya, sih
bisa akan tetapi anehnya negeri ini adalah semua diputuskan dengan kontitusi.
Coba mari kita telaah bersama bahwa perubahan undang-undang bukan lah suara
rakyat yang membuat berubah. tapi, persetujuan 2/3 anggota MPR. Yang diterangkan
dalam undang-undang pasal37. Andai saja 2/3 MPR setuju bahwa mari kita rubah
hokum negeri ini menjadi hokum islam misalnya. Menegaskan syari’at islam,
selesai, bisa, ndak ada masalah, karena proses yang dilalui secara
kontitusional, masalahnya kita rasa hal yang seperti itu tidaklah mungkin,
kekuatan partai-partai politik yang terbajak itu mampu menghiyakan proses-prose
itu. Itulah ribetnya. Dan itu menjadi kelemahan parlemen kita yang berkoar-koar
menjunjung tinggi suara rakyat.
Bab
VI
Tanggung
jawab siapa dalam pemberantasan korupsi? KPK saja, atau Aparat Negara
KPK
adalah lembaga formal, polisi juga lembaga formal, seharusnya kewajiban mereka
adalah menegakkan hokum, bukan kewajiban panggilan morala saja, tapi perintah
undang-undang dasar, adalah perintah sejati yang menjalankan dan menegakkan
ketidak adilan adalah pemimpin, seharusnya pemimpinlah yang bertugas penuh atas
adanya tindak korupsi yang banyak terjadi belakangan ini. Dalam bangsa kita
ini, bukan hanya kehendak moral yang dijadikan acuan tapi, kewajibanya yang
harus diutamakan. Dan bila bicara tentang pemberantasan. Maka bukan salah satu
pihak saja yang mempunyai beban atau kewajiban. Tapi, kita semua dan semua
kalangan elit politik yang ada dalam jajaran pemerintahan dan rakyat.
Dari
rakyat paling tidak kita harus mau berfikir dan belajar dari hal-hal yang
sederhana, kadang-kadang kita mau berfikir besar, padahal besar dimata kita
belumtentu besar dimata orang lain, dan begitu pula sebaliknya kecil dimata
kita juga belum tentu kecil dimata orang lain. Kenapa kita tidak berangkat dari
hal-hal yang sederhana. Kita sebagai umat islam sering tidak sama antara
ediologi yang ada dikepala dengan tindakan, kepala kita idealis, tapi kenapa
tindakan kita pragmatis. Kita yang teriak-teriak anti korupsi, tidak boleh
korupsi, tapi ketika bikin SIM tetap aja pakai nyogok,bukan terpaksa, kenapa
tidak mendesakkan. Kami bilang pragmatis tadi, kita tidak tahan diperlakukan
berlama-lama kemudian kita memotong jalan dengan cara nyogok tadi, pragmatis
kebutuhan individu. Kita bicara soal kebutuhan membangun system yang lebih
baik, kalau anda mau berkorban, kenapa tidak tahan dengan berlama-lama.
Bayangkan kalau keudian seluruh orang melakukan itu, nggak ada yang disuap dan
penyuapan tidak akan terjadi.
Atau
karena memang masyarakat kita tidak memahami tentang kaidah-kaidah hokum. Jadi
begini, masyarakat kita khususnya di Indonesia banyak sekali masyrakat yang
tidak mengerti tentang hokum atau undang-undang yang telah dibuat oleh
pemerintah. Semisal adanya undang-undang baru yang diamandemen masyarakat tidak
tau bagaimana menyikapi hal tersebut, karena kurannya sosialisasi tentang
hokum-hukum yang baru dibuat kepada masyarakat awam. Pemerintah terlalu asyik
dengan kepentingannya membuata undang-undang yang banyak menghasilkan uang dan
terlalu lambat dalam memikirkan kepentingan dan keinginan rakyatnya.
Perubahan tatanan kepemimpinan dalam birokrasi
pemerintahan akhir-akhir ini ternyata tak menyisakan harapan bagi masnyarakat.
Ditengah-tengah gencarnya penanganan korupsi, ternyata lambaga pemberantasan
korupsi pun diadili. Korupsi pun banyak merajalela hingga ke daerah-daerah.
Parahnya ditengah keadaan seperti itu, ternyata makna korupsipun mengalami
pelebaran. Sepertihalnya korupsi politik, korupsi seperti ini lebih sistematis
dari pada korupsi yang dilakukan oleh perseorangan. Selain merupakan kejahatan
yang luar biasa, korupsi politik memiliki hubungan dengan ideologis hokum dan
system penegakan hukumnya.hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh budaya
para pemegang posisi kekuasaan di partai politik yang memiliki budaya konsumtif
tinggi. Korupsi poitik memang sulit dideteksi secara hokum. Namun, biasanya hal
ini terkait dengan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Bilamana ada
kebijakan yang jelas-jelas ditolak oleh warga namun tetap ditetapkan oleh
pemerintah, hal ini biasanya ada main mata antara pemerintah dengan pengusaha
untuk memuluskan kerjaan pengusaha tersebut. Jika kita amati secara seksama
banyak sekali kebijakanikebijakan yang ditentang oleh rakyat masih saja
diputuskan atau disahkan. Dinegara ini memang banyak terjadi, namun meski
demikian, tak pernah ada upaya untuk menyelesaikanya. Tak pernah ada upaya
perhatian pemerintaha terhadap nasib rakyat yang kehidupanya dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijkan yang mereka gulirkan.
Bab
VII
Penutup
Dalam
masalah yang sangat rumit tentang kekuasaan yang menjadi kekuatan tuk melakukan
sesuatu baik kedalam keadaan yang positif ataupun negative, ini lah yang kita
rasakan dalam Negara kita saat ini, banyak yang harus diperbaiki dan
dievaluasi, kejadian-kejadian yang telah terjadi harusnya menjadi bahan
kebijakan pemerintah tuk mengambil keputsan yang terbaik. Tapi, ternyata
sangatlah jauh dari keinginan yang diidamkan oleh setiap golongan yang
menempati Indonesia.
Bahkan
banyak sekali kepentingan pribadi, golongan, dan yang terlebih sangat tampak
adalah politik pencitraan dan kebudayaan korupsi dari kalangan pejabat tinggi
hingga rendahan. Baik yang menangani urusan umum, social, nasional, bahkan
sekarang sudah masuk kebidang agama. Yang notabenya adalah pembuat peraturan
dan penetralisasi kehidupan ternyata dia sendiri melakukan pelanggaran yang
telah dilarang syari’at tersebut baik syariat islam ataupun yang lain.
Banyak
hal yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik dari
sekarang, banyak hal pula yang harus dijadikan sebagai pedoman agar Indonesia
ini menjadi lebih makmur dan sejahtera. Sejahtera bagi bangsanya sejahtera pula
bagi rakyatnya.
Mungkin
sekian dari kami, bila banyak kesalahan dalam penulisan mohon di konfirmasi,
supaya adanya kelurusan dalam pemikiran kami. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar