Minggu, 07 Oktober 2012

Perbedaan antara badan hukum publik dengan badan hukum perdata, terletak pada bagaimana cara pendiriannya badan hukum tersebut, seperti yang diatur di dalam Pasal 1653 KUHPerdata yaitu ada tiga macam, yakni :
  1. badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara).
  2. badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum.
  3. badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan).
Untuk membedakan kedua jenis badan hukum tersebut, dicari kriteria keduanya yaitu pada badan hukum perdata ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan pada badan hukum publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum.
Di kalangan sarjana Jerman, mereka berpendapat bahwa perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum perdata terletak pada, apakah badan hukum tersebut mempunyai kekuasaan sebagai penguasa? Dan badan hukum itu dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, yaitu jika badan hukum tersebut dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut (wewenang).
Tetapi, menurut de heersende’ leer, kriteria yang ada di Indonesia tidak mempergunakan kriteria dari Jerman. Di Indonesia yang dipergunakan adalah :
  1. yang berdasarkan terjadinya.
  2. lapangan pekerjaan dari badan hukum itu, yaitu apakah lapangan pekerjaan itu untuk kepentingan umum atau tidak.
Jika untuk kepentingan umum, maka badan hukum itu adalah badan hukum publik, tapi jika untuk perseorangan adalah badan hukum perdata.
Menurut Soenawar Soekowati di Indonesia untuk menentukan perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum perdata, dapat digunakan dari gabungan pendapat dari de heersende’ leer dan para sarjana Jerman, untuk saling melengkapi serta ketentuan dalam Pasal 1653 KUHPerdata. Soenawar Soekowati beranggapan bahwa badan hukum yang didirikan dengan konstruksi hukum publik, belum tentu merupakan badan hukum publik dan juga belum tentu mempunyai wewenang publik. Sebaliknya juga, badan hukum yang didirikan oleh orang-orang swasta, namun dalam stelsel hukum tertentu badan tersebut mempunyai kewenangan publik. Jadi untuk dapat memecahkan masalah tersebut, dalam stelsel hukum Indonesia dapat digunakan kriteria, yaitu :
  1. dilihat dari cara pendiriannya atau terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, juga meliputi ckiteria berikut ;
  2. lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum publik ; demikian pula dengan kriteria.
  3. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik.
Jika ketiga kriteria diatas terdapat pada suatu badan atau badan hukum, maka dapat disebut badan politik.

Kamis, 03 Mei 2012

BAGI WARISAN SEBELUM MENINGGAL



Makalah Kewarisan Islam
Hukum Pembagian Harta Warisan
Makalah untuk memenuhi tugas
Mata kuliyah Kewarisan Islam
Dosen pengampu Bapak Riayanta SHI. MSI.








oleh :
Mohammad Nur Aris Sho’im (11340144)
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYRIA’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
 A.  PENDAHULUAN
Ucapan Hamdallah senantiasa selalu kita haturkan kepada Tuhan seru sekalian alam. Karena atas limpahan nikmatnya kita dapat menghirup udara yang senantiasa menghiasi kehidupan kita. Sholawat serta salam semoga tetap kita kucurkan kepada manusia yang telah membebaskan kita dari dunia kebodohan. Dan semoga kita mendapatkan syafaat-Nya di hari kiamat kelak, salam sejahtera juga patut kita sampaikan kepada ulama-ulama yang gigih dalam ijtihatnya sehingga bisa member kejelasan pada kita tentang ilmu-ilmu yang sulit difahami.
Dimasa yang serba canggih dan penuh dengan keaneka ragaman dalam perbikir dan berkarya banyak sekali tantangan hidup yang harus kita jalani. Dari yang ringan kita rasakan sampai pada pemikiran yang sangat memusingkan kita. Itulah kehidupan yang harus kita jalani, sehingga seiring dengan kedewasaan kita dalam menjalankan amanah kehidupan tak kunjung pula kita sebagai maka mahasiswa ilmu hukum UIN sering dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh masyarakat dari segi agama hingga hukum yang dipakai oleh pemerintah.
Tak hanya itu kita sebagai mahasiswa UIN dianggap oleh masyarakat mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, begitu juga tentang masalah pembagian harta warisan yang dikira sangat rumit oleh kaum abangan. Dan juga Banyak masyarakat yang sering menanyakan tentang hukum membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah khawatir jika dibagikan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali silaturahim di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan. Pertanyaannya adalah apakah alasan tersebut bisa membenarkan tindakan tersebut? Bagaimana syariat Islam memandang masalah ini? Bagaimana hubungannya dengan hukum-hukum Islam terkait dengan pembagian warisan?
B.  PEMBAHASAN
Dalam masalah ini banyak sekali yang harus kita gali dan kita rinci dulu masalah yang ada  dalam beberapa pengamatan  kami, mari kita pilah-pilah dulu masalah diatas dan kita golongkan dahulu dalam menentukan hukumnya sepaya lebih spesifik dan masuk akal. Sehingga setelah kita pilah maka menjadi tiga jenis harta :
1.      Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. Baik diberikan kepada kerabat, keluarga, atau kepada yang lain. Tanpa mengharapkan imbalan sesuatu apapun.
2.      Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. Baik barupa benda maupun hutang, atau berupa hak atas harta, seperti hak usaha, maupun hak jinayah dan qishash.[1] Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
3.      Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. Dalam keabsahan wasiat oleh semua ulama mazhab sepakat hukumnua diperbolehkan oleh syariat islam.[2] Wasiat juga dianggap sah jika diucapaka atau diperbuat dalam keadaan sehat dan bebas dari sakit; ataupun dalam keadaan sakit yang yang membawa pada kematian.
Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, dan dengan dasar perbedaan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut:
Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:
Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut dinamakan Hibah (harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. [3]
Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya: Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1.  Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: sebagai sarana silaturahim.
2.        Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3.        Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4.        Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
  1. Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
  2. Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
  3. Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).
Masalah berikutnya ;Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya. Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan ulama hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
C.  PENUTUP
Memang sangat rumit sekali pemahaman tentang tatacara pembagian warisan yang sesungguhnya. Tapi, bagi bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya pasti akan mendapat kemudahan dan juga kelancaran dalam pembelajaran. Kami juga masih ingat bahwa bapak riyanta pernah mengatakan pula pembagian harta sebelum meninggal dunia itu bisa dikatakan hibah yang wajib diterima oleh ahli waris atau bisa disebut dengan hibah wajibah. Memang sangat penting bagi kita untuk memahami ilmu kewarisan. Karena, Rosullah pernah bersabda bahwa ilmu faroid adalah ilmu yang paling utama dan juga termasuk separo dari ilmu dunia yang pertama kali hilang dari ummatku ( HR. Ibn Majah).
Betapa pentingnya ilmu tentang warisan, sehingga tercantum dalam hadist bahwa ilmu yang petama kali akan hilang adalah ilmu tentang warisan. Dengan jalan meninggalnya para ahli faroid. Mari kita bersemangat dan memacu hati dan pikiran kita untuk memegang teguh ilmu yang kita pelajari dan harus kita singkirkan rintangan-rintangan yang ada dengan berjalan dengan rajin dan selalu diulang-ulang. Dengan semangat dan doa disertai usaha yang sungguh-sungguh tanpa pantang menyerah dan dengan keyakinan yang ada dalam hati tanpa ragu dan bimbang yakin usaha yang kita inginkan pasti sampai pada tujuan. Waallahu a’lam.


[1]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta Lentera 2008 hal : 535
[2]  Ibid hal : 504
[3] Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327.

Kamis, 26 April 2012

SISTEM NEGARA


SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
Dalam mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia
                                   Disusun Oleh Kelompok I Hukum Tata Negara:

1.       Abdul Qodir Jaelani            11340129
2.       Aini Rahmania                     11340116
3.       Idawati                                  11340124
4.       M. Nur Aris Shoim              11340144
5.       Evi Dwi Nurmala                 11340135
6.       Isti’anah                                11340173
7.       Nurhuda Okta Ditama        11340136
8.       Mar’atus Sholehah              11340185
9.       Dedi Purwanto                     11340172
10.   Muarif Abas Hasan             11340127
11.  Marga Tramuna Kahfi        11340132

                                    Dosen:
 Udiyo Basuki, S.Hum, LL.M, M.Hum.

PRODI ILMU HUKUM
 FAKULTAS  SYARI’AH  DAN  HUKUM 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA  YOGYAKARTA  2012


KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Tugas Pengantar Hukum Indonesia dengan specifikasi pembahasan hukum tata negara  yang berjudul: “Sistem Pemerintahan Negara”, yang merupakan salah satu tugas kelompok,di semester 2 (dua) di Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penyelesaian tulisan Tugas Makalah ini penulis menyadari bahwa tiada manusia di dunia ini yang sempurna (No body is perfect ), karena itu dalam penulisan Tugas Akhir ini pasti mempunyai kekurangan-kekurangan.
Dari sini penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan hasil diskusi kami yang berbentuk Makalah Pengantar Hukum Indonesia dengan specifikasi system pemerintahan negara tersebut. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, Bapak Udiyo Basuki, S.Hum, M.Hum, sebagai pengampu mata kuliah pengantar hukum Indonesia, serta kawan-kawan kelas c, yang telah membantu kami baik secara tersirat, maupun tersurat,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat kelas pada umumnya.
Penulis
Kelompok I
Hukum Tata Negara








DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 2
BAB   I   :  PENDAHULUAN............................................................................................. 3
A.    Latar Belakang........................................................................................................... 3
B.     Identifikasi Masalah.................................................................................................. 3
C.     Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
BAB II   :  PEMBAHASAN................................................................................................ 4
A.    Sistem Pemerintahan.................................................................................................. 4
1.      Bentuk Pemerintahan..................................................................................... 4
2.      Sistem Pemerintahan...................................................................................... 5
3.      Jenis-Jenis Pemerintahan................................................................................ 6
4.      Komprasi Sistem Pemerintahan Parlementer dengan Sistem Pemerintah Presidensial           8
B.     Sistem Pemerintahan di Indonesia............................................................................. 10
1)      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pra Amandemen.... 10
2)      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pasca  Amandemen            11
BAB III   : PENUTUP.......................................................................................................... 15
a.       Kesimpulan.................................................................................................... 15
b.      Daftar Pustaka............................................................................................... 16

     









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Umumnya sejarah ketatanegaraan suatu negara, konstitusi digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan demikian, dinamika ketatanegaraan suatu bangsa atau negara ditentukan pula oleh bagaimana dinamika perjalanan sejarah konstitusi negara yang bersangkutan. Karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem pemerintahannya, bentuk negaranya, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan hak-hak warga negara dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan antar unsur pemegang kekusaan Negara seperti kekuasaan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.
Secara konstitusional UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah system pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai politik.
B. Identifikasi Masalah
Untuk memperkaya wawasan dan pemahaman pembaca tentangSistem Pemerintahan Negara (Sebuah tulisan yang  menggunakan pendekatan yuridis normatif, digunakan untuk mengkaji atau menganalisis data skunder yang berupa bahan-bahan hukum. Spesifikasi penulisan ini dipergunakan adalah deskriptif Analitis.),, maka dapat disimpulkan beberapa pokok antara lain:
  1. Sistem Pemerintahan di Indonesia sebelum dan sesudah UUD 1945 di amandemen.
  2. Problem system Presidensial di tengah system Multi partai di Indonesia.
C. Rumusan Masalah
 Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalan yang muncul dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh konstelasi politik di DPR terhadap system Presidensial Indonesia?
 2. Bagaimana penerapan sistem Presidensial yang ideal di tengah sistem multi partai yang dianut oleh Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    SISTEM PEMERINTAHAN
1.Bentuk Pemerintahan
            Pemerintahan berasal dari kata perintah, dimana kata perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.
            Apabila dalam suatu negara kekuasaan pemerintahan, dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurus pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti luas selain eksekutif termasuk lembaga yang membuat peraturan perundang-undangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif). Menurut W.S. Sayre : Goverenment is best at the organized agency of the state, expressing and exercing is authority. Maksudnya pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaanya.
Menurut C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan :
Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.
            Maksudnya pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga, harus mempunyai kekuatan financial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan Negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
            Berdasarkan uraian diatas dapatlah dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahn negara. Sehingga bentuk pemerintahan khusus menyatakan struktur organisasi dan fungsi pemerintahan saja dengan tidak menyinggung struktur daerah, maupun bangsanya. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan melukiskan bekerjanya organ- organ tertinggi itu sejauh organ-organ itu mengikuti ketentuan yang tetap.
Mengenai bentuk pemerintahan (regerings vormen) berkaitan dengan pilihan :
a. Bentuk Kerajaan (Monarkhi)
b. Bentuk Republik (Republic)
Masih berdasar pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan Yang Berbentuk Republik”, dari kalimat tersebut tergambar bahwa the faunding fathers Indonesia sangat menekankan pentingnya konsepsi Negara Kesatuan sebagai definisi hakiki negara Indonesia (hakikat negara Indonesia). Bentuk dari negara kesatuan Indonesia tersebut adalah republik. Jadi jelaslah bahwa konsep bentuk negara yang diartikan disini adalah republik merupakan pilihan lain dari kerajaan (monarkhi) yang telah ditolak oleh para anggota BPUPKI mengenai kemungkinan penerapannya untuk Indonesia modern.
2. Sistem Pemerintahan.
                        Menurut S. Pamuji dalam bukunya Teori Sistem dan Pengetrapannya dalam Managemen dikatakan bahwa suatu sistem adalah kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Yang kemudian disempurnakan menjadi suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen, yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Menurut Carl J. Friedich, sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional baik antara bagian-bagian yang akibatnya menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.
            Melihat pengertian antara sistem dan pemerintahan diatas maka system pemerintahan pada dasarnya adalah berbicara tentang bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara tersebut, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
            Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi menganut sistem perlementer  atau presidensial  ataupun bentuk variasi yang disebabkan situasi atau kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semu (quasi), misalnya quasi parlementer maupun quasi presidensial.
Bagaimanakah dengan sistem pemerintahan yang ada di Indonesia? Sebagaimana diketahui, UUD 1945 berlaku dalam periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang. Dengan adanya perubahan konstitusi yang diguankan Indonesia ini jelas mempengaruhi sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Indonesia pun pernah mencoba mempraktekkan sistem pemerintahan parlementer karena pluralisme dan wilayahnya yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau kecil membutuhkan pemerintahan yang kuat dan stabil.
Kemudian diterapkanlah sistem pemerintahan presidensial dibawah UUD 1945 yang cenderung executive heavy sudah terselesaikan melalui amandemen UUD 1945. Sehingga jelaslah bahwa pasca amandemen UUD 1945 menetapkan menganut sistem presidensial dalam sistem pemerintahan.
 Menurut Sri Soementri, ciri-ciri pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 pasca amandemen antara lain pertama, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, kedua, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena lembaga ini tidak lagi sebagai pelaksanan kedaulatan rakyat.
3. Jenis-Jenis Sistem Pemerintahan.
a.      Sistem Parlementer.
                        Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.
                        Bertolak dari sejarah ketatanegaraan, sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-samakepada parlemen. Karena itulah Inggris dikenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen tidak lagi mempercayai kabinet.
b.      Sistem Presidensial
            Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen.
Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (dewan menteri). Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut checking power with power.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsure yaitu:
a. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
c. Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege). Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misal, sistem pemerintahan presidensial di USA.
Dengan demikian, pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi suatukeseluruhan yang tak lebih baik dari anggotanya yang paling rendah, dan semua menjadi buruk daripada anggota terendahnya.
Adapun ciri-ciri dari sistem presidensial adalah:
a. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD;
b. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer;
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif,
d. Sebagai imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
4.      Komprasi Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial.
            Sebab-sebab timbulnya perbedaan antara dua sistem pemerintahan tersebut diatas adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara itu berlainan.
TABEL 1
KELEMAHAN DAN KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Pemerintahan Presidensial
a. Latar belakang timbulnya
 Timbul dari bentuk negara Monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggungjawaban menteri.
Sehingga fungsi Raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Misalnya, Kerajaan Inggris, Perancis dan Belanda.
b. Keuntungan
Penyesuaian antara pihak eksekutif dan
legislatif mudah dapat dicapai
c. Kelemahan
1. Pertentangan antara eksekutif dan legislatif bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan cabinet harus mengundurkan diri, dan akibatnya pemerintahan tidak stabil;
2. Sebaliknya , seorang Presiden dapat pula membubarkan leguslatif;
3. Pada sistem parlemen dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi mosi tidak percaya dari beberapa partai politik, sering terjadi pertukaran (pergantian) kabinet.
a. Latar belakang timbulnya
Timbul dari keinginan untuk melepaskan
diri dari dominasi Kekuasaan Raja, dengan mengikuti ajaran Montesquieu dengan ajaran Trias Politica. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas Raja George III (Inggris).
b. Keuntungan
Pemerintah untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil.
c. Kelemahan
1. Kemungkinan terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif;
2. Untuk memilih Presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan pandangan lembaga itu berlainan.

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sistem komparatif adalah perpaduaan antara kedua sistem diatas yang mengambil beberapakeuntungan dan kelemahan dari kedua sistem tersebut yang sesuai dengan latar belakang sejarah politik suatu negara. Jadi, sistem pemerintahan ini, selain memiliki presiden sebagai kepala negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, untuk memimpin kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Adapun ciri-ciri dari sistem ini adalah:
            a. Dalam sistem ini eksekutif terdiri dari presiden dan perdana menteri.
b. Presiden tidak memiliki posisi yang dominan, artinya presiden hanya sebagai lambang dalam suatu pemerintahan.
c. Kabinet tidak dipimpin oleh presiden melainkan oleh perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
d. Presiden dapat membubarkan parlemen.

B.     Sistem Pemerintahan di Indonesia
1.      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pra Amandemen
Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut system pemerintahan presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah presiden sedangkan para menteri hanyalah pembantu presiden, artinya presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal tersebut itu tertuang dengan tegas di dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, yaitu :
a. Pasal 4 ayat (1) berbunyi ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar.” Sesuai dengan ayat selanjutnya mengatakan bahwa “Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.”
b. Pasal 17 ayat (1) berbunyi ” Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara” sedangkan ayat (2) berbunyi ” Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden”. Diperkuat dalam penjelasan yang mengatakan bahwa ”Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada dewan, akan tetapi tergantung daripada presiden. Mereka ialah pembantu presiden.”
c. Penjelasan UUD 1945 BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara
mengatakan bahwa :
1. Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair)
2. Kekuasaan-kekuasaan dalam pasal ini adalah konsekuensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara, yaitu pasal 10,11,12,13,14,15.

Walaupun Indonesia secara konstitusional menganut system pemerintahan presidensial, ternyata banyak pasal-pasal dalam UUD 1945 yang bernuansakan parlementer, pasal tersebut antara lain:
a. Pasal 3 berbunyi : ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
b. Pasal 5 ayat (1) berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
c.Pasal 6 ayat (2) berbunyi : ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
d. Pasal 10 berbunyi : ”Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.”
e. Pasal 21 ayat (1) berbunyi : ”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan Undang-undang.
Dan ayat (2) jika rancangan itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Berdasarkan uraian diatas maka Presiden sangat besar kekuasaannya (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan eksekutif juga menguasai cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945. Padahal dalam sistem pemerintahan presidensial, pemisahan kekuasaan merupakan ciri mutlak yang membedakan dengan sistem pemerintahan parlementer.
Apalagi jika dilihat dari pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang secara tidak langsung sebenarnya bertanggungjawab kepada DPR, karena anggota MPR adalah terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan yang mana besarnya anggota DPR jauh lebih besar daripada utusan daerah dan golongan. Walaupun pertanggung jawaban ini bukan terhadap keanggotaan MPR melainkan MPR sebagai lembaga. DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden, dan sebaliknya. Dengan demikian sistem pemrintahan Indonesia menurut UUD 1945 pra amandemen adalah sistem pemerintahan quasi presidensial.
2.      Sistem Pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 Pasca Amandemen.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dengan mengatas namakan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokratisasi yang kita kenal dengan Reformasi tersebut kemudian dimanifestasikan dengan perubahan UUD 1945 melalui Amandemen UUD 1945, dimana UUD 1945 merupakan panduan sistem ketatanegaran Indonesia. Amandemen UUD 1945
sebenarnya selain merupakan manifestasi dari gerakan reformasi adalah hal yang seharusnya dilakukan melihat banyaknya kelemahan UUD 1945 dan juga sifatnya yang sementara jika dilihat dari historis pembuatannya.
Kelemahan tersebut dapat dilihat dari kewenangan eksekutif yang terlalu besar (executive heavy) dan kurangnya checks and balances, materi muatannya yang masih umum sehingga multi tafsir. Akan tetapi perubahan paradigma tersebut terjadi pada amandemen ketiga dan keempat yang mengubah secara fundamental system pemerintahan yang berimplikasi pada kedudukan MPR dan asas kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, tampak perubahan drastis antara amandemen pertama yang bertujuan melakukan demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga yang mengubah sistem pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan sistem pemerintahan, karena esensi demokratisasi adalah persamaan dan kebebasan politik yang tidak identik dengan sistem presidensial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa kesepakatan tentang sistem pemerintahan presidensial justru berujung pada perubahan sistem ketatanegaraan. Pertanyaannya, mengapa harus menggunakan sistem pemerintahan presiensiil murni, mengapa tidak menggunakan sistem pemerintahan parlementer murni?.
Menurut Ali Masykur Musa,  perlu kiranya sebelum memilih, untuk memperinci beberapa kelebihan dan kekuarangan dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer ini.
Pertama, dalam sistem pemerintahan presidensial stabilitas kekuasaan eksekutif sangat dijamin akibat adanya penentuan masa jabatan yang ditetapkan oleh UUD yang sangat dimilikinya, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer stabilitas eksekutif sangat tergantung dari ada atau tidaknya mosi atau kepercayaan parlemen.
 Kedua, dalam sistem pemerintahan presidensial pemilihan kepala pemerintahannya dianggap lebih demokratis karena dipilih langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan, sedangkan dalam system pemerintahan parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen, hal ini dianggap tidak demokratis karena tidak dapat menampung aspirasi langsung warga masyarakat.
Ketiga, dalam sistem pemerintahan presidensial terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam keanggotaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai sebuah ancaman bagi terjadinya tirani pemerintahan yang dapat mengekang atau membatasi kebebasan individu.
Keempat, akibat adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam system pemerintahan presidensial, maka hal ini dianggap dapat menimbulkan kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan, di saat terjadi ketidaksesuaian diantara keduanya. Namun terjadi sebaliknya pada sistem pemerintahan parlementer; potensi kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan sangat minimal, karena tidak ada pemisahan jabatan atau keanggotaan diantara eksekutif dan legislatif.
 Kelima, adanya penentuan masa jabatan yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan UUD yang ada dalam system pemerintahan presidensial, menyebabkan adanya kekakuan atau ketidak elastisan pemerintahan yang dapat merespon situasi dan kondisi temporal yang terjadi, hal ini kondisinya berlainan dengan sistem pemerintahan parlementer, dimana masa jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, sehingga masa jabatan pemerintahan sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, yang berarti sewaktu-waktu dapat mengganti pemerintahan sesuai dengan kebutuhan atau situasi yang ada.
Keenam, karena hanya ada satu pemenang yang akan menguasai pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensial, berakibat pada makin minimalnya kemungkinan untuk membentuk koalisi atau pembagian kekuasaan pada kelompok oposisi (kalah) yang ada. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi, terutama di sebuah negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Lain halnya dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem ini terjadi pembagian kekuasaan atau terjadi koalisi diantara partai yang ada, sehingga dapat menampung sebagian besar aspirasi warga masyarakat.

Sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montersquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya
ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Selain itu, para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Hukum yang berlaku secara umum dalam sistem pemerintahan presidensial adalah adanya pemisahan kekuasaan menetapkan semua lembaga negara berada di bawah UUD 1945, sehingga UUD 1945 pun bersifat normatif closed yaitu hanya dapat diubah oleh badan yangberwenang dan melalui cara yang telah ditentukan oleh UUD tersebut.
Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa terdapat 8 (delapan) lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945 (atributif), dengan kata lain kedelapan lembaga negara ini menerima secara langsung kewenangan konstitusionalnya dari UUD 1945 (supremacy of law). Kedelapan lembaga negara tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY).


















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Agar tercipta stabilitas sistem presidensial di Indonesia, maka ada 3 hal yang perlu dibenahi dalam sistem presidensial kita, yaitu:
a. perlunya penyederhanaan partai politik melalui produk perundang-undangan, hal ini dimaksudkan agar konstelasi politik di DPR melalui hasil pemilu dapat memperkuat stabilitas pemerintahan dan memperdalam demokrasi;

b. perlunya pelembagaan koalisi,hal ini niscaya dilakukan karena tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR, untuk itu pelembagaan koalisi di DPR agar memudahkan proses check and balance antara pemerintah dan DPR melalu dukungan partai di DPR;

c. perlunya pelembagaan oposisi, tradisi oposisi formal yang telah konsisten dirintis dengan PDI-P harus dilembagakan dalam produk perundang-undangan. Melemahnya oposisi formal tidak saja mengancam mekanisme check and balances, tetapi juga menyumbat kanalisasi gerakan oposisi informal ke oposisi formal.
Ketiganya bisa tercapai dengan mendasain sistem pemilihan umum dan sistem pemilihan presiden yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat tanpa mengurangi kekhasan dan esensi demokrasi Indonesia.


























DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Kamus Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,Jakarata: Pusat Bahasa Depdiknas,2001.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta :UII Press, 2003.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta
D. Mutiara’as, Ilmu Tata Negara Umum, Jakarta: Pustaka Islam, 1955.
Firmanzah, Mengelola Partai Politik,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi),Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983,
Hadisoeprapto Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: liberty, 2008.
Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Latif Abdul dan Ali hasbi, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,2010.
J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Jakarta, sinar grafika, 2010
Samad sofyan, Negara dan Masyarakat, Yogyakarta, pustaka Pelajar,2010.
Marzuki Suparman, Tragedi politik hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2011.
M.Ilham Habib, Tesis (Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia), Semarang, UNDIP, 2009.