Kontroversi Kloning
Pada
umumnya, para pemikir Kristen mendekati setiap perkembangan genetika secara
baru. Sikap-sikap yang diambil pada masalah tertentu sering berubah-ubah dan
kadang-kadang cukup mengejutkan. Hal itu bisa dilihat dalam pelbagai pandangan
tentang kloning manusia dan modifikasi genetik yang bisa diwariskan.
Sebagaimana pada para kaum ahli
etika sekuler, Kelompok-kelompok relegius dan para teolog moral memberikan
perspektif yang cukup luas dalam hubungan dan implikasi manusia. Sikap-sikap
seperti ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Sejumlah kecil gereja,
badan resmi, dan teolog individu menentang kloning berdasarkan teologis. Klaim gereja
katolik yang mengatakan bahwa cloning manusia tidah bersifat alamiah dengan demikian
bertentangan dengan rencana Illahi, sikap seperti ini tidak banyak penganutnya.
Penganut katolik Roma berpendapat bahwa hukum alam itu sudah dan bisa difahami
oleh pikiran manusia; beberapa denominasi Kristen lainnya memiliki kecondongan
tradisionalis sebagaimana yang secara inheren terdapat dalam orientasi hukum
alam menurut kaum katolik.dalam hubunganya dengan status embiro, kaum katolik
berpendapat bahwa embiro memiliki status manusia secara penuh sejak berlangsungnya pembuahan.
Sedangkan para ahli etika Kristen yang lain menganggap embiro manusia secara
lambat laun mendapat status kemanusiaanya sejalan dengan perkembanganya.
Sekolompok mengamat relegius lainya,
dan ini paling banyak pengikutnya menetang kloning tetapi tetapi bukan karena
alas an teologis. yang mereka pertimbangkan lebih banyak terkait dengan
lemahnya keamanan teknologi untuk diterapkan bagi manusia yang kemungkinan
munculnya dampak kloning yang membahayakan keluara dan martabat manusia.
Didalam lingkungan kaum relegius, ada
semacam kekhawatiran bahwa seorang anak hasil kloning tidak diperlakukan
sebagai seorang pribadi yang unik dan penuh. Masalah yang terkait dengan ini
adalah bahwa masyarakat akan condong dalam pengertian yang terlalu menyederhanakan
“determinisme genetk”, seorang anak hasil kloning akan mendapatkan beban yang
sangat berat dan tidak leluasa dalam mengembangkan identitas individu. Beberapa
kelompok dari kelompok ini berpendapat bahwa memiliki dua sumber genetik yang
direkombinasikan untuk membentuk sebuah genotip yang unik yang terkait dengan
kedua orangtuanya. Beberapa kelompok bahkan mendukung larangan pada berbagai
prosedur medis. Kelompok lain, yang yakin bahwa kloning tidak membangkitkan
masalah teologis yang mendasar, meskipun demikian tidak ada satu pun pendapat
yang meyakini bahwa peristiwa kloning akan menghilangkan hubugannya dengan
Tuhan atau tidak memiliki status dan perlindungan hukum yang penuh.
Dalam
kategori ketiga, terdapat ahli-ahli etika yang menerima kloning secara
terbatas. Beberapa ahli etika ini mengandaikan bahwa beberapa bentuk kloning
tidak dapat terhindarkan dan mereka yakin bahwa yang lebih realistis adalah
membuat pengaturan yang dilakukan dengan hati-hati dari pada melakukan
pelarangan secara total. Seorang ahli etika islam, Aziz Sachedina, memberikan
kesaksian didepan komisi penasihat Bioetika Nasional (Amerika Setikat) dalam
dengar pendapat tentang kloning termasuk di dalam golongan ini. Sikap utamanya
didasarkan atas tiada larangan yang jelas di dalam islam dan dukungan yang
jelas terhadap sains.
Kalau kloning merupakan contoh
bagaimana komunitas relegius menanggapi perkembangan ilmiah yang tak terduga, sebuah
laporan yang didasarkan atas karya multidisiplin sebuah kelompok kerja-tentag
modifikasi genenik yang dapat diwariskan yang disponsori oleh perhimpunan
Amerika demi Kemajuan Sains (AAAS)-menjadi contoh bagaimana para pemikir
relegius berupaya mengantisipasi dan boleh jadi membentuk penerapan ilmiah di
masa depan. Sebagian besar sumber daya penelitian dan klinik yang terkait
dengan terapi gen lebih banyak mengembangkan teknik-teknik dengan sasaran sel
tubuh yang tidak bias melakukan reproduksi. Terapi atas sel somatic yang
berusaha mengembalikan fungsi sel dalam tubuh yang tidak berfungsi dengan baik,
tetapi koreksi seperti ini tidak dapat diwariskan. Modifikasi genetik yang
dapat diwariskan (inheritable genetic
modification IGM), yang kadang-kadang disebut sebagai terapi luar embiro (germ line therapy), terkait dengan
intervensi biomedis yang diharapkan bias mengubah genom yang bias diwariskan
pada keturunanya.
Secara teori, upaya melakukan
modifikasi gen yang dapat diwariskan pada generasi yang akan datang lebih
menguntungkan dari pada terapi gen somatik. Disini juga terdapat berbagai
situasi kapan upaya untuk mencegah kerusakan-kerusakan genetic tidak layak
dilakukan setelah proses ini berlangsung dalam tahap-tahap tertentu. Meskipun
demikian, disini terdapat beberapa masalah teknis,etis dan relegius yang cukup
penting. Haruslah ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa prosedur-prosedur ini
aman dan efektif. Upaya-upaya untuk melakukan modifikasi gen yang diturunkan ke
generasi-generasi mendatang, berpotensi memunculkan revolusi sosial,
teknik-teknik seperti ini bisa memberikan kendali yang luar biasa pada sifat biologis
dan pembawaan kepribadian kita.
Apakah kita memiliki teknologi,
kebijaksanaan, komitmen etis, dan kebijakan publik yang diperlukan untuk bergerak maju dengan
modifikasi genetik yang dapat diwariskan? Para peserta dalam telaah AAAS di
atas menyimpulkan bahwa modifikasi genetik yang dapat diwariskan sekarang tidak
bisa dilaksanakan secara aman dan bertanggung jawab pada manusia. Menurut
pengkajian mereka metode yang sekarang dipakai untuk perpindahan gen sometik
itu tidak tepat dilakukan bagi terapi embiro karena disini dilakukan
pertambahan DNA ke sel. Oleh sebab itu , untuk memastikan tidak terjadi
konsekuensi yang tidak diinginkan dalam jangka panjang atau pendek baik bagi
individu yang mendapatkan perawatan maupun generasi-generasi selanjutnya, maka
diperlukan pengambangan teknologi koreksi atau penggantian gen yang cukup
handal.
Denagan dipandu para teolog-dari
tradisi protestan, katolik, dan yahudi-dan para ahli etika dari kelompok kerja
AAAS, kelompok ini menyimpulan bahwa modifikasi genetik yang bias diturunkan
tidak menghasilkan masalah-masalah mendasar dalam teologi. Para teolog dan ahli
etika merasa prihatin tetapi keprihatian tersebut tidak bersifat relegius atau
etis. Perubahan seperti pun diizinkan dalam tradisi katolik Roma, yang memperlakuakan
embiro sebagai pribadi sejak pembuahan terjadi, asalkan teknologi yang dipakai
memenuhi syarat tertentu: adanya prosedur yang jelas dalam terapi; tidak secara
langsung atau tidak langsung merusak atau melukai intelek ata kehendak manusia,
atau mengganggu bekerjanya fungsi-fungsi mereka; dan tidak terlibat dalam
pembuahan bayi tabung, melakuakan experiment terhadap embiro, atau penghancuranya
saat melakukan terapi itu.
Walaupun para pemikir relegius yang bergbung dalam
kelompok kerja ini tidak percaya bahwa pada prinsipnya invertensi masih di
izinkan secara teologis, mereka melihat secara mendasar dan dan sangat
problematis adalah implikasinya bagi keadilan dan kesetaraan. Upaya
memperkenalkan teknologi ini ke dalam masyarakat dan komunis global di mana
tidak semua orang mendapatkan layanan kesehatan yang memadahi. Bisa
menimbullkan masalah keadilan dan ketidak setaraan baru, oleh sebab itu,
sebagian besar, tetapi tidak semua, ahli etika dan teolog menyimpulkan bahwa faktor-faktor
ini, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, menunjukkan bahwa
sekarang ini kita tidak berada dalam
posisi yang memberikan izin bagi pengembangan dan pemakaian modifikasi genetik
yang dapat diwariskan.
Terdapat juga kekhawatiran bahwa
modifikasi genetic yang dapat diwarisakan dapat mengubah sikap terhadap pribadi
manusia dan sifat reproduksi manusia. Secara sederhana masunya teknologi,
walaupun dengan niat baik, bias merendahkan anak menjadi sebuah artefak, sebuah
rancangan bangunan teknologi, paling tidak di dalam si anak atau orangtuanya.
Perubahan seperti itu juga bias memperbesar prasangka terhadap orang-orang yang
memiliki cacat tubuh.
Pengetahuan genetika yang semakin
besar juga memunginkan upaya-upaya memikirkan berbagai intervensi genetic tidak
hanya untuk mengobati atau menyingkirkan penyakit, tetapi juga untuk
“meningkatkan” karekteristik manusia normal melebihi yang diperlukanuntuk
menjaga atau meningkatkan kesehatan tubuh. Modifikasi getetik yang dapat diwariskan
yang ditujukan untuk memperbaikai bentuk atau fungsi-fungsi manusia dianggap
cukup proplematis. Berbagai penerapan untuk meningkatkan kualitas bias
mendorong dilakukanya untuk memiliki anak-anak yang “sempurna” dengan melakukan
“koreksi”pada genom mereka. Dilemanya modifikasi genetik yang bisa diwariskan yang
dikembangkan untuk tujuan-tujuan terapi tampaknya cocok untuk meningkatkan
fungsi. Maka, upaya untuk melakukan modifikasi genetik yang bias diwariskan
untuk mengobati penyakit atau cacat tubuh yang menyulitkan pencegahan
dipakainya intervensi untuk tujuan meningkatkan semacam itu; pun jika
penggunaan ini dianggap tidak bisa diterima secara etis.
MANTEB NIH
BalasHapus