Sabtu, 07 April 2012


Kontroversi Kloning
Pada umumnya, para pemikir Kristen mendekati setiap perkembangan genetika secara baru. Sikap-sikap yang diambil pada masalah tertentu sering berubah-ubah dan kadang-kadang cukup mengejutkan. Hal itu bisa dilihat dalam pelbagai pandangan tentang kloning manusia dan modifikasi genetik yang bisa diwariskan.
            Sebagaimana pada para kaum ahli etika sekuler, Kelompok-kelompok relegius dan para teolog moral memberikan perspektif yang cukup luas dalam hubungan dan implikasi manusia. Sikap-sikap seperti ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Sejumlah kecil gereja, badan resmi, dan teolog individu menentang kloning berdasarkan teologis. Klaim gereja katolik yang mengatakan bahwa cloning manusia tidah bersifat alamiah dengan demikian bertentangan dengan rencana Illahi, sikap seperti ini tidak banyak penganutnya. Penganut katolik Roma berpendapat bahwa hukum alam itu sudah dan bisa difahami oleh pikiran manusia; beberapa denominasi Kristen lainnya memiliki kecondongan tradisionalis sebagaimana yang secara inheren terdapat dalam orientasi hukum alam menurut kaum katolik.dalam hubunganya dengan status embiro, kaum katolik berpendapat bahwa embiro memiliki status manusia  secara penuh sejak berlangsungnya pembuahan. Sedangkan para ahli etika Kristen yang lain menganggap embiro manusia secara lambat laun mendapat status kemanusiaanya sejalan dengan perkembanganya.
            Sekolompok mengamat relegius lainya, dan ini paling banyak pengikutnya menetang kloning tetapi tetapi bukan karena alas an teologis. yang mereka pertimbangkan lebih banyak terkait dengan lemahnya keamanan teknologi untuk diterapkan bagi manusia yang kemungkinan munculnya dampak kloning yang membahayakan keluara dan martabat manusia. Didalam lingkungan  kaum relegius, ada semacam kekhawatiran bahwa seorang anak hasil kloning tidak diperlakukan sebagai seorang pribadi yang unik dan penuh. Masalah yang terkait dengan ini adalah bahwa masyarakat akan condong dalam pengertian yang terlalu menyederhanakan “determinisme genetk”, seorang anak hasil kloning akan mendapatkan beban yang sangat berat dan tidak leluasa dalam mengembangkan identitas individu. Beberapa kelompok dari kelompok ini berpendapat bahwa memiliki dua sumber genetik yang direkombinasikan untuk membentuk sebuah genotip yang unik yang terkait dengan kedua orangtuanya. Beberapa kelompok bahkan mendukung larangan pada berbagai prosedur medis. Kelompok lain, yang yakin bahwa kloning tidak membangkitkan masalah teologis yang mendasar, meskipun demikian tidak ada satu pun pendapat yang meyakini bahwa peristiwa kloning akan menghilangkan hubugannya dengan Tuhan atau tidak memiliki status dan perlindungan hukum yang penuh.
            Dalam kategori ketiga, terdapat ahli-ahli etika yang menerima kloning secara terbatas. Beberapa ahli etika ini mengandaikan bahwa beberapa bentuk kloning tidak dapat terhindarkan dan mereka yakin bahwa yang lebih realistis adalah membuat pengaturan yang dilakukan dengan hati-hati dari pada melakukan pelarangan secara total. Seorang ahli etika islam, Aziz Sachedina, memberikan kesaksian didepan komisi penasihat Bioetika Nasional (Amerika Setikat) dalam dengar pendapat tentang kloning termasuk di dalam golongan ini. Sikap utamanya didasarkan atas tiada larangan yang jelas di dalam islam dan dukungan yang jelas terhadap sains.
            Kalau kloning merupakan contoh bagaimana komunitas relegius menanggapi perkembangan ilmiah yang tak terduga, sebuah laporan yang didasarkan atas karya multidisiplin sebuah kelompok kerja-tentag modifikasi genenik yang dapat diwariskan yang disponsori oleh perhimpunan Amerika demi Kemajuan Sains (AAAS)-menjadi contoh bagaimana para pemikir relegius berupaya mengantisipasi dan boleh jadi membentuk penerapan ilmiah di masa depan. Sebagian besar sumber daya penelitian dan klinik yang terkait dengan terapi gen lebih banyak mengembangkan teknik-teknik dengan sasaran sel tubuh yang tidak bias melakukan reproduksi. Terapi atas sel somatic yang berusaha mengembalikan fungsi sel dalam tubuh yang tidak berfungsi dengan baik, tetapi koreksi seperti ini tidak dapat diwariskan. Modifikasi genetik yang dapat diwariskan (inheritable genetic modification IGM), yang kadang-kadang disebut sebagai terapi luar embiro (germ line therapy), terkait dengan intervensi biomedis yang diharapkan bias mengubah genom yang bias diwariskan pada keturunanya.
            Secara teori, upaya melakukan modifikasi gen yang dapat diwariskan pada generasi yang akan datang lebih menguntungkan dari pada terapi gen somatik. Disini juga terdapat berbagai situasi kapan upaya untuk mencegah kerusakan-kerusakan genetic tidak layak dilakukan setelah proses ini berlangsung dalam tahap-tahap tertentu. Meskipun demikian, disini terdapat beberapa masalah teknis,etis dan relegius yang cukup penting. Haruslah ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa prosedur-prosedur ini aman dan efektif. Upaya-upaya untuk melakukan modifikasi gen yang diturunkan ke generasi-generasi mendatang, berpotensi memunculkan revolusi sosial, teknik-teknik seperti ini bisa memberikan kendali yang luar biasa pada sifat biologis dan pembawaan kepribadian kita.
            Apakah kita memiliki teknologi, kebijaksanaan, komitmen etis, dan kebijakan publik yang  diperlukan untuk bergerak maju dengan modifikasi genetik yang dapat diwariskan? Para peserta dalam telaah AAAS di atas menyimpulkan bahwa modifikasi genetik yang dapat diwariskan sekarang tidak bisa dilaksanakan secara aman dan bertanggung jawab pada manusia. Menurut pengkajian mereka metode yang sekarang dipakai untuk perpindahan gen sometik itu tidak tepat dilakukan bagi terapi embiro karena disini dilakukan pertambahan DNA ke sel. Oleh sebab itu , untuk memastikan tidak terjadi konsekuensi yang tidak diinginkan dalam jangka panjang atau pendek baik bagi individu yang mendapatkan perawatan maupun generasi-generasi selanjutnya, maka diperlukan pengambangan teknologi koreksi atau penggantian gen yang cukup handal.
            Denagan dipandu para teolog-dari tradisi protestan, katolik, dan yahudi-dan para ahli etika dari kelompok kerja AAAS, kelompok ini menyimpulan bahwa modifikasi genetik yang bias diturunkan tidak menghasilkan masalah-masalah mendasar dalam teologi. Para teolog dan ahli etika merasa prihatin tetapi keprihatian tersebut tidak bersifat relegius atau etis. Perubahan seperti pun diizinkan dalam tradisi katolik Roma, yang memperlakuakan embiro sebagai pribadi sejak pembuahan terjadi, asalkan teknologi yang dipakai memenuhi syarat tertentu: adanya prosedur yang jelas dalam terapi; tidak secara langsung atau tidak langsung merusak atau melukai intelek ata kehendak manusia, atau mengganggu bekerjanya fungsi-fungsi mereka; dan tidak terlibat dalam pembuahan bayi tabung, melakuakan experiment terhadap embiro, atau penghancuranya saat melakukan terapi itu.
            Walaupun  para pemikir relegius yang bergbung dalam kelompok kerja ini tidak percaya bahwa pada prinsipnya invertensi masih di izinkan secara teologis, mereka melihat secara mendasar dan dan sangat problematis adalah implikasinya bagi keadilan dan kesetaraan. Upaya memperkenalkan teknologi ini ke dalam masyarakat dan komunis global di mana tidak semua orang mendapatkan layanan kesehatan yang memadahi. Bisa menimbullkan masalah keadilan dan ketidak setaraan baru, oleh sebab itu, sebagian besar, tetapi tidak semua, ahli etika dan teolog menyimpulkan bahwa faktor-faktor ini, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, menunjukkan bahwa sekarang ini  kita tidak berada dalam posisi yang memberikan izin bagi pengembangan dan pemakaian modifikasi genetik yang dapat diwariskan.
            Terdapat juga kekhawatiran bahwa modifikasi genetic yang dapat diwarisakan dapat mengubah sikap terhadap pribadi manusia dan sifat reproduksi manusia. Secara sederhana masunya teknologi, walaupun dengan niat baik, bias merendahkan anak menjadi sebuah artefak, sebuah rancangan bangunan teknologi, paling tidak di dalam si anak atau orangtuanya. Perubahan seperti itu juga bias memperbesar prasangka terhadap orang-orang yang memiliki cacat tubuh.
            Pengetahuan genetika yang semakin besar juga memunginkan upaya-upaya memikirkan berbagai intervensi genetic tidak hanya untuk mengobati atau menyingkirkan penyakit, tetapi juga untuk “meningkatkan” karekteristik manusia normal melebihi yang diperlukanuntuk menjaga atau meningkatkan kesehatan tubuh. Modifikasi getetik yang dapat diwariskan yang ditujukan untuk memperbaikai bentuk atau fungsi-fungsi manusia dianggap cukup proplematis. Berbagai penerapan untuk meningkatkan kualitas bias mendorong dilakukanya untuk memiliki anak-anak yang “sempurna” dengan melakukan “koreksi”pada genom mereka. Dilemanya modifikasi genetik yang bisa diwariskan yang dikembangkan untuk tujuan-tujuan terapi tampaknya cocok untuk meningkatkan fungsi. Maka, upaya untuk melakukan modifikasi genetik yang bias diwariskan untuk mengobati penyakit atau cacat tubuh yang menyulitkan pencegahan dipakainya intervensi untuk tujuan meningkatkan semacam itu; pun jika penggunaan ini dianggap tidak bisa diterima secara etis.
  
                

1 komentar: