Minggu, 24 November 2013

NALAR CINTA ANTARA ALIRAN ISLAM REVIVALIST, AKOMODATIF DAN LIBERAL; SENGKETA PERSEPSI ATAS MASALAH BID’AH[1]



BAB I
PENDAHULUAN
Kolonialisme yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum muslimin di bumi Nusantara – seperti halnya yang juga terjadi di belahan dunia Islam lainnya- tercabik-cabik dan terkotak-kotak dalam berbagai ruang kepentingan. Munculnya istilah Islam priyayi sebagai perbandingan dari Islam santri, Islam tradisional yang dibenturkan dengan Islam moderat  maupun Islam Revivalist dan transformatif  bukan hanya sebatas “setting sejarah” yang sengaja dibuat oleh kolonial belanda untuk memecah belah aspirasi umat Islam, lebih dari itu, kategorisasi tersebut merupakan cerminan nyata dari perbedaan sikap keberagamaan masyarakat yang bersifat konfrontatif.

KEWARGANEGARAAN


Bab I
Pendahuluan
Segala puji bagi tuhan semesta alam yang telah memberikan kita rahmat, hidayah, taufiq, dan maunahnya. Sholawat serta salam semoga tetap kita curahkan keharibaan kita Nabi penuntun sepanjang zaman.
Dalam menentukan dan merealisasikan makna identitas bangsa Indonesia sangatlah banyak yang dapat kita ambil dan kita jadikan sebagai identitas Negara Indonesia. Tapi, secara riil yang sering kita kenal dan kita jadikan acuan sebagai identitas bangsa adalah Bhineka Tunggal Ika dan Pancasiala karena bila kita meninjau dan kita jalankan sangatlah berarti dalam penyatuan bangsa kita yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan berbagai bahasa dan banyak pula agama yang mendampingi kemerdekaan Negara kita tercinta ini.1

Sabtu, 26 Oktober 2013

TEORI KEBENARAN


Suatu kebenaran bisa dipandang dari sudut pandang dan metode yang berbeda. Misalnya dari sudut rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi). Empirisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa hanya pengalaman (lewat indra) merupakan sumber pengetahuan yang benar. Jadi, empirisme bertolak belakang dengan pandangan rasionalisme. Kedua pandangan tersebut melahirkan teori kebenaran, yaitu korespondensi (menurut rasionalisme) dan koherensi (menurut empirisme).
Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

HMI DAN TANTANGAN PERJUANGAN MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADILAN


HMI DAN TANTANGAN PERJUANGAN MEWUJUDKAN
MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADILAN[*]

Untuk memosisikan HMI secara pas dan strategis dalam konteks dinamika politik dan intelektualisme di masa depan, perlu dilakukan pemetaan kritis (critical mapping) menyangkut beberapa aspek yang –baik secara langsung atau tidak langsung-- tidak bisa dipisahkan dari watak historis, gerak dinamis atau “genetika” HMI.

“Genetika” HMI
HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang lahir dari ‘rahim’ Indonesia merdeka yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan melalui revolusi kemerdekaan. Pada saat yang sama, para “founding fathers” HMI juga diinspirasi dan dimotivasi oleh esensi dasar ajaran Islam yang mengandung nilai-nilai luhur kemanusian, menunjung tinggi kemerdekaan dan keadilan. Latar belakang ini-lah yang membentuk watak dasar atau jati diri HMI yang memiliki komitmen keindonesiaan dan keislaman sekaligus.
Sebagai organisasi mahasiswa, fungsi yang paling pas dijalankan oleh HMI adalah sebagai organisasi kader. Proses kaderisasi HMI secara esensial adalah proses pematangan, pendewasaan, penanaman nilai-nilai, pembudayaan dan pencerahan manusia. Kaderisasi juga merupakan proses investasi manusia (human investment). Kaderisasi dalam pengertian dan dimensi yang luas adalah inti dan ruh dari kegiatan-kegiatan HMI dalam rangka menghasilkan sosok manusia Muslim yang memiliki karakter kecendekiawanan, keilmuan, profesionalitas, dan kepemimpinan bagi umat dan bangsa. Mereka inilah yang mengembang tanggungjawab dan tugas suci (mission sacre) untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang universal. Dalam konteks ini, Islam adalah sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi dalam perjuangan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. “Ideologi” HMI bersumber dari nilai-nilai esensial Islam yang universal.

Rabu, 25 September 2013

MELAWAN”JIHAD” PENEBAR TEROR dalam Buku Terorisme: Fundamentalisme Kristen, Yahudi, Islam



TERORISME-FUNDAMENTALIS-KRISTEN-YAHUDI-ISLAM-.jpg             
Judul
:Terorisme: Fundamentalisme Kristen, Yahudi, Islam  


Penulis
:AM Hendropriyono 
Penerbit
: PT Kompas Media Nusantara
Cetak  I
Cetak II   
 : Oktober  2009
 : November 2009
Jumlah Halaman
: XXXII + 488 halaman


















MELAWAN”JIHAD” PENEBAR TEROR
Mohammad Nur Aris Shoim., Jurusan Ilmu Hukum 2011 UIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta

Buku ini dengan memakai teori filsafat Ludwing Wittgenstein, berusaha menemukan akar-akar terorisme, yang antara lain terwujud dalam pola permainan bahasa teror yang khas. Dalam bukunya ini, Hendropriyono, mantan Badan Inteljen Negara (BIN) menyatakan, hanya lewat kajian filsafat, kita bisa menyusun metode, strategi dan taktik yang tepat dalam usaha menumpas terorisme. Kajian sejarah yang juga dilakukan menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia Islam. Gerakan terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis agama-agama samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan indikasi nyata sebagai lahan subur dan strategis bagi tumbuh berkembangnya segala aktifitas yang berbau terorisme. Tak sulit rasanya melihat kenyataan tersebut karena para teroris tak pernah absen dalam melakukan aksi-aksinya. Selain karena faktor pemahaman keagaman yang dogmatis-tekstualitas atau literal-skripturalis yang menyimpang, kemiskinan secara ekonomi dan prilaku kaum elit penguasa yang seenaknya saja mempertontokan kebobrokan moral di depan publik, yang menyulut kekekecewaan massal, menjadi pemicu semakin nekatnya aksi-aksi terorisme yang belakangan ini marak terjadi. Kasus bom bunuh diri di masjid Ad-Dzikro di Cirebon, beberapa waktu lalu, bukan saja akibat dari keprustasian para teroris melihat situasi negeri ini yang semakin kacau balau. Aksi tersebut sekaligus ingin menunjukkan eksistensi mereka bahwa “jihad” di negeri ini belum selesai bahkan semakin menantang bagi para pelakunya. 
Melihat sepak terjang para teroris yang bergerak seperti hantu, setidaknya ada tiga tesis yang berkembang mengenai basis terorisme di Indonesia. Pertama, basis ideologis terorisme berada di Solo, Jawa Tengah. Asumsi ini berdasarkan banyaknya gerakan fundamentalisme Islam yang lahir di Solo dan juga tokoh-tokohnya. Kedua, basis ideologi terorisme di Yogyakarta. Asumsi ini mengacu pada keterbukaan kota ini terhadap penerimaan beragam kultur dan agama. Ketiga adalah Jawa Barat. Alasan ini mengacu pada banyaknya pengangguran dan tingginya angka kemiskinan, padahal dekat dengan ibu kota Jakarta sebagai pusat metropolitan yang megah sekaligus sebagai roda ekonomi. 
Tesis di atas tidaklah salah, juga tidaklah dapat dibenarkan seluruhnya. Perlu penelitian dan pengkajian lebih jauh mengenai basis ideologis para teroris tersebut. Penelitian selama ini menunjukkan bahwa akar terorisme mendapatkan lahan yang subur justru berasal dari lapisan paling bawah (grass root) di negeri ini. Yogyakarta, Solo dan Jawa Tengah, pada umumnya merupakan basis ideologis gerakan fundamentalisme yang cukup solid. Terlebih didukung oleh beberapa tempat latihan yang cukup strategis seperti di hutan Tawang Mangu atau hutan di bawah kaki gunung merapi. Sementara di Jawa Barat, Jakarta dan Bali, merupakan wilayah aksi terorisme yang kerap menjadi lahan aksi para teroris. Bahkan ada indikasi bahwa, Yogyakarta yang kini sedang bergiat melakukan pembangunan pasar-pasar modern, merupakan target dan sasaran empuk para teroris. Hal ini mengacu pada semakin berubahnya tata ruang kota dan pergeseran kultural di Yogyakarta beberapa tahun terakhir ini.
Walau pergerakan terorisme terus mengalami perubahan taktik dan strategi, pelatihan di Aceh dan perampokan salah satu bank di Medan Sumatera Utara, merupakan gerak gerilya para teroris untuk beradu taktik dan strategi dengan aparat keamanan. Fakta ini mengacu pada satu pandangan bahwa, disiang bolong dan dikeramaain kota sekalipun, para teroris nekat melakukan aksi perampokan dan bom bunuh diri. Strategi ini merupakan skenario “jihad” gerilya kota. Artinya apa, hampir diseluruh wilayah di negeri ini, para teroris mengembangan jaringan sel pergerakan dan menjadikannya ladang jihad yang siap meledak kapanpun waktunya dan dimanampun tempatnya.
Lapisan bawah inilah yang menurut hemat penulis merupakan lapisan yang jarang dimasuki oleh para peneliti akar gerakan fundamental keagamaan di negeri ini. Para pengamat dan peneliti terkesan asik menyimpulkan dari sudut pandang fenomenologi, disamping lemahnya peran intelejen. Padahal, lapisan inilah yang paling strategis karena bersentuhan langsung dengan jaringan yang sebenarnya. Ikatan emosional dan spiritual yang kuat menjadikan gerakan bawah tanah terorisme di negeri ini cukup solid dan kuat. Tidak bisa disimpulkan dengan mudah bahwa gerakan mereka telah lemah hanya karena satu bom bunuh diri yang sporadis. Gerakan mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan. Kehidupan permukaan para pelaku teroris yang sering terlihat biasa-biasa saja, layaknya kehidupan masyarakat biasa dimana tempat mereka berbaur. Tetapi dalam perbauran itulah, meminjam istilah Giddens, terjadinya transformasi nilai dan ideologi. Bahkan keluarga dekat para pelaku, pun terkadang tak mengetahui kalau salah satu diantara keluarga mereka adalah pelaku teroris.
Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang perlu kita diskusikan melihat gerak dan perubahan taktik para teroris di negeri ini. Pertama, merekrut dan menempa orang-orang seperti Amrozi dan Imam Samudra paling tidak membutuhkan kurun waktu 20 tahun atau lebih. Ini mengacu pada UU pergerakan fundamentalisme di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, JI dan HT, yang kemudian di copi paste oleh MMI masa kepemimpinan Abu Bakar Ba’asyir dan sekarang sempalannya, Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), serta HTI, yang berkeinginan mendirikan negara yang berideologi Islam. Tentu saja waktu yang tidak singkat menjadikan seorang Amrozi dan Imam Samudera menjadi seorang militan sempurna, yang oleh karib kerabat mereka disebut sebagai ”mujahid Islam” atau “pejuang Islam”. Amrozi dan Imam Samudera adalah produk jihad teroris jilid pertama dari misi perjuangan mengusir orang-orang asing seperti AS, Inggris atau Australia, beserta korporasinya yang menganut paham liberal, sekuler dan kapitalistik dari Indonesia, dan lebih luas, di Asia Tenggara. Bayangkan, betapa beraninya Amrozi dan Imam Samudera menghadapi bedil kematian tanpa rasa khawatir sedikitpun. Sulit rasanya menandingi militansi seperti itu. Sementara kekokohan pendirian mereka yang berani mati mempertahankan ideologinya, membuat ketir nyali aparat-aparat kita yang telah susah payah menangkap dan meringkus mereka, terlebih aparat kita hanya mengandalkan loyalitas kepada bangsa-negara dengan gaji yang tidak sebanding dengan resiko yang sewaktu-waktu menimpa mereka, seperti cacat bahkan kematian.
Kedua, pasca tewasnya Amrozi, Imam Samudera beserta Azhari dan Nurdin M Top, dua gembong arsitek teroris yang terkenal lihai dari Malaisya. Regenerasi teroris telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, yang tak kalah militannya dengan para teroris-teroris top di atas. Penempaan generasi ini pun tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sudah ditempa hampir 10 tahun lebih. Tidak sulit mencari pengganti Amrozi dan Imam Samudera dalam tubuh organisasi teroris. Generasi teroris ini pun semakin termotipasi dan menjadikan ”tokoh-tokoh mujahid” di atas sebagai inspirasi kharismatik perjuangan mereka selanjutnya. Posisi Amrozi dan Imam Samudera diperebutkan oleh generasi-genarasi teroris tersebut karena dianggab menempati posisi istimewa/prestisius.
Sementara generasi lapis ketiga, generasi belia yang ditempa dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun atau lebih, sebagai pengganti lapisan kedua yang akan mencapai kematangan emosional dan spiritualitas untuk menempati posisi ”top mujahid” dilapisan pertama yang telah di tinggalkan oleh Amrozi, Imam Samudera, DR. Azhari, Nurdin M. Top, dan pentolan teroris top lainya. Reproduksi bibit-bibit teroris ini sangatlah terorganisir dan sistematis. Sulit rasanya meraba keberadaan mereka ditengah situasi bangsa yang tengah mengalami sakit. Kondisi karut marutnya wajah negara kita justru memotifasi kembali ambisi gerakan terorisme melakukan aksi-aksinya yang terkadang tidak terantisipasi tempat dan waktunya. Karena kondisi demikianlah yang menjadi tempat ideal berkembangnya sel-sel terorisme.
Kewaspadaan melihat secara peka lingkungan sosial terdekat kita merupakan modal penting agar kita tidak lagi kecolongan. Kelalaian sedikit saja akan berakibat fatal yang dapat menimbulkan korban jiwa dan teror ketakutan. Yang pasti, terorisme secara sosiologis merupakan batu ujian kokoh tidaknya fondasi keberbangsaan maupun keberagamaan kita dewasa ini.

BHINEKA TUNGGAL IKA YANG MULAI TERKIKIS



Oleh :Mohammad Nur Aris Shoim
Dalam sejarah kemerdekaan Bangsa Indonenesia tak lepas dari kebersamaan dan pemersatuaan setiap golongan walau dari berbagai kalangan, berbagai suku, ras, agama yang berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu dikenal dengan istilah bhineka tunggal ika. Kemudian istilah itu menjadi landasan di Negara kita sebagai sarana pemersatu antar golongan, berbagai kalangan dari pelosok-pelosok negeri, sangat menyanjung-nyanjung pemersatuan itu, tapi pada masa sekarang yang penuh dengan konflik ini, Negara yang disanjung-sanjung dengan berbeda-beda Tetapi tetap satu ini harus terkikis karena rezim-rezim tertentu, mereka hanya mementingkan satu golongan saja, dan akhirnya gejolak-gejolak perpecahanpun mulai timbul, peperangan ideologi dimana-mana, peperangan politik,bahkan sekarang terjadi keegoisasian yang hanya mementingkan diri sendiri saja,tanpa ingin tau masyarakat sekitar yang penuh dengan kekurangan dan memerlukan ulur tangan dari kalangan atas.

NILAI STANDART NASIONAL HANYALAH SEBUAH SIMBOL



Oleh :Aris Shoim
as.jpgPemerintah menentukan nilai standart nasioanal tak bisa maksimal dilakukan oleh keseluruhan siswa didik sekarang ini, semua hanyalah simbol saja, dengan nilai standart nasional yang tinggi ternyata hanyalah simbol semata. Kenyataan yang ada sekarang ini adalah siwa didik untuk masa sekarang enggan mengerjakan UNAS dengan hasilnya sendiri. Mereka hanya mengandalkan jawaban yang telah disediakan oleh oknum tertentu, katakanlah tim sukses dari suatu lembaga yang menyelenggaran tes tersebut. Banyak terjadi kasus yang sama diberbagai penjuru Indonesia. Misalnya didaerah Sumatra dengan terang-terangan menyampaikan kunci jawaban yang dilewatkan hanpone kepada peserta UNAS tersebut, apakah hal  seperti ini  bisa menjadikan tolak ukur kelulusan untuk sekarang . Mungkin ini adalah akibat dari penetapan  nilai standart nasional untuk Indonesia yang mempunyai perbedaan mengajar dan perbedaan kelengkapan kegiatan belajar mengajar.