Judul
|
:Terorisme:
Fundamentalisme Kristen, Yahudi, Islam
|
|
|
Penulis
|
:AM
Hendropriyono
|
Penerbit
|
|
Cetak I
Cetak II
|
: Oktober 2009
: November
2009
|
Jumlah Halaman
|
: XXXII + 488
halaman
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MELAWAN”JIHAD”
PENEBAR TEROR
Mohammad Nur Aris Shoim., Jurusan Ilmu Hukum 2011 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Buku ini dengan memakai teori filsafat Ludwing Wittgenstein, berusaha
menemukan akar-akar terorisme, yang antara lain terwujud dalam pola permainan
bahasa teror yang khas. Dalam bukunya ini, Hendropriyono, mantan Badan Inteljen
Negara (BIN) menyatakan, hanya lewat kajian filsafat, kita bisa menyusun
metode, strategi dan taktik yang tepat dalam usaha menumpas terorisme. Kajian
sejarah yang juga dilakukan menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia
Islam. Gerakan terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis
agama-agama samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen.
Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan indikasi nyata sebagai lahan subur dan strategis bagi
tumbuh berkembangnya segala aktifitas yang berbau terorisme. Tak sulit rasanya
melihat kenyataan tersebut karena para teroris tak pernah absen dalam melakukan
aksi-aksinya. Selain karena faktor pemahaman keagaman yang
dogmatis-tekstualitas atau literal-skripturalis yang menyimpang, kemiskinan
secara ekonomi dan prilaku kaum elit penguasa yang seenaknya saja
mempertontokan kebobrokan moral di depan publik, yang menyulut kekekecewaan
massal, menjadi pemicu semakin nekatnya aksi-aksi terorisme yang belakangan ini
marak terjadi. Kasus bom bunuh diri di masjid Ad-Dzikro di Cirebon, beberapa
waktu lalu, bukan saja akibat dari keprustasian para teroris melihat situasi
negeri ini yang semakin kacau balau. Aksi tersebut sekaligus ingin menunjukkan
eksistensi mereka bahwa “jihad” di negeri ini belum selesai bahkan semakin
menantang bagi para pelakunya.
Melihat sepak terjang para
teroris yang bergerak seperti hantu, setidaknya ada tiga tesis yang berkembang
mengenai basis terorisme di Indonesia. Pertama, basis ideologis terorisme
berada di Solo, Jawa Tengah. Asumsi ini berdasarkan banyaknya gerakan
fundamentalisme Islam yang lahir di Solo dan juga tokoh-tokohnya. Kedua, basis
ideologi terorisme di Yogyakarta. Asumsi ini mengacu pada keterbukaan kota ini
terhadap penerimaan beragam kultur dan agama. Ketiga adalah Jawa Barat. Alasan
ini mengacu pada banyaknya pengangguran dan tingginya angka kemiskinan, padahal
dekat dengan ibu kota Jakarta sebagai pusat metropolitan yang megah sekaligus
sebagai roda ekonomi.
Tesis di atas tidaklah salah,
juga tidaklah dapat dibenarkan seluruhnya. Perlu penelitian dan pengkajian
lebih jauh mengenai basis ideologis para teroris tersebut. Penelitian selama
ini menunjukkan bahwa akar terorisme mendapatkan lahan yang subur justru
berasal dari lapisan paling bawah (grass root)
di negeri ini. Yogyakarta, Solo dan Jawa Tengah, pada umumnya merupakan basis
ideologis gerakan fundamentalisme yang cukup solid. Terlebih didukung oleh
beberapa tempat latihan yang cukup strategis seperti di hutan Tawang Mangu atau
hutan di bawah kaki gunung merapi. Sementara di Jawa Barat, Jakarta dan Bali,
merupakan wilayah aksi terorisme yang kerap menjadi lahan aksi para teroris.
Bahkan ada indikasi bahwa, Yogyakarta yang kini sedang bergiat melakukan
pembangunan pasar-pasar modern, merupakan target dan sasaran empuk para
teroris. Hal ini mengacu pada semakin berubahnya tata ruang kota dan pergeseran
kultural di Yogyakarta beberapa tahun terakhir ini.
Walau pergerakan terorisme
terus mengalami perubahan taktik dan strategi, pelatihan di Aceh dan perampokan
salah satu bank di Medan Sumatera Utara, merupakan gerak gerilya para teroris
untuk beradu taktik dan strategi dengan aparat keamanan. Fakta ini mengacu pada
satu pandangan bahwa, disiang bolong dan dikeramaain kota sekalipun, para
teroris nekat melakukan aksi perampokan dan bom bunuh diri. Strategi ini
merupakan skenario “jihad” gerilya kota. Artinya apa, hampir diseluruh wilayah
di negeri ini, para teroris mengembangan jaringan sel pergerakan dan
menjadikannya ladang jihad yang siap meledak kapanpun waktunya dan dimanampun
tempatnya.
Lapisan bawah inilah yang
menurut hemat penulis merupakan lapisan yang jarang dimasuki oleh para peneliti
akar gerakan fundamental keagamaan di negeri ini. Para pengamat dan peneliti
terkesan asik menyimpulkan dari sudut pandang fenomenologi, disamping lemahnya
peran intelejen. Padahal,
lapisan inilah yang paling strategis karena bersentuhan langsung dengan
jaringan yang sebenarnya. Ikatan emosional dan spiritual yang kuat menjadikan
gerakan bawah tanah terorisme di negeri ini cukup solid dan kuat. Tidak bisa
disimpulkan dengan mudah bahwa gerakan mereka telah lemah hanya karena satu bom
bunuh diri yang sporadis. Gerakan mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan.
Kehidupan permukaan para pelaku teroris yang sering terlihat biasa-biasa saja,
layaknya kehidupan masyarakat biasa dimana tempat mereka berbaur. Tetapi dalam
perbauran itulah, meminjam istilah Giddens, terjadinya transformasi nilai dan
ideologi. Bahkan keluarga dekat para pelaku, pun terkadang tak mengetahui kalau
salah satu diantara keluarga mereka adalah pelaku teroris.
Setidaknya ada beberapa
kesimpulan yang perlu kita diskusikan melihat gerak dan perubahan taktik para
teroris di negeri ini. Pertama, merekrut dan menempa orang-orang seperti Amrozi
dan Imam Samudra paling tidak membutuhkan kurun waktu 20 tahun atau lebih. Ini
mengacu pada UU pergerakan fundamentalisme di Timur Tengah seperti Ikhwanul
Muslimin, JI dan HT, yang kemudian di copi paste oleh MMI masa kepemimpinan Abu
Bakar Ba’asyir dan sekarang sempalannya, Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), serta
HTI, yang berkeinginan mendirikan negara yang berideologi Islam. Tentu saja waktu
yang tidak singkat menjadikan seorang Amrozi dan Imam Samudera menjadi seorang
militan sempurna, yang oleh karib kerabat mereka disebut sebagai ”mujahid Islam”
atau “pejuang Islam”. Amrozi
dan Imam Samudera adalah produk jihad teroris jilid pertama dari misi
perjuangan mengusir orang-orang asing seperti AS, Inggris atau Australia,
beserta korporasinya yang menganut paham liberal, sekuler dan kapitalistik dari
Indonesia, dan lebih luas, di Asia Tenggara. Bayangkan, betapa beraninya Amrozi
dan Imam Samudera menghadapi bedil kematian tanpa rasa khawatir sedikitpun. Sulit rasanya menandingi militansi seperti
itu. Sementara kekokohan pendirian mereka yang berani mati mempertahankan
ideologinya, membuat ketir nyali aparat-aparat kita yang telah susah payah
menangkap dan meringkus mereka, terlebih aparat kita hanya mengandalkan
loyalitas kepada bangsa-negara dengan gaji yang tidak sebanding dengan resiko
yang sewaktu-waktu menimpa mereka, seperti cacat bahkan kematian.
Kedua, pasca tewasnya Amrozi, Imam Samudera beserta Azhari dan Nurdin M
Top, dua gembong arsitek teroris yang terkenal lihai dari Malaisya. Regenerasi
teroris telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, yang tak kalah militannya
dengan para teroris-teroris top di atas. Penempaan generasi ini pun tidak
tanggung-tanggung, bahkan ada yang sudah ditempa hampir 10 tahun lebih. Tidak
sulit mencari pengganti Amrozi dan Imam Samudera dalam tubuh organisasi teroris.
Generasi teroris ini pun semakin termotipasi dan menjadikan ”tokoh-tokoh mujahid”
di atas sebagai inspirasi kharismatik perjuangan mereka selanjutnya. Posisi
Amrozi dan Imam Samudera diperebutkan oleh generasi-genarasi teroris tersebut
karena dianggab menempati posisi istimewa/prestisius.
Sementara generasi lapis
ketiga, generasi belia yang ditempa dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun atau
lebih, sebagai pengganti lapisan kedua yang akan mencapai kematangan emosional dan spiritualitas untuk menempati posisi ”top mujahid” dilapisan
pertama yang telah di tinggalkan oleh Amrozi, Imam Samudera, DR. Azhari, Nurdin
M. Top, dan pentolan teroris top lainya. Reproduksi bibit-bibit teroris ini sangatlah terorganisir dan sistematis.
Sulit rasanya meraba keberadaan mereka ditengah situasi bangsa yang tengah
mengalami sakit. Kondisi karut marutnya wajah negara kita justru memotifasi
kembali ambisi gerakan terorisme melakukan aksi-aksinya yang terkadang tidak
terantisipasi tempat dan waktunya. Karena kondisi demikianlah yang menjadi
tempat ideal berkembangnya sel-sel terorisme.
Kewaspadaan melihat secara
peka lingkungan sosial terdekat kita merupakan modal penting agar kita tidak
lagi kecolongan. Kelalaian sedikit saja akan berakibat fatal yang dapat menimbulkan
korban jiwa dan teror ketakutan. Yang pasti, terorisme secara sosiologis
merupakan batu ujian kokoh tidaknya fondasi keberbangsaan maupun keberagamaan
kita dewasa ini.