Minggu, 24 November 2013

NALAR CINTA ANTARA ALIRAN ISLAM REVIVALIST, AKOMODATIF DAN LIBERAL; SENGKETA PERSEPSI ATAS MASALAH BID’AH[1]



BAB I
PENDAHULUAN
Kolonialisme yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum muslimin di bumi Nusantara – seperti halnya yang juga terjadi di belahan dunia Islam lainnya- tercabik-cabik dan terkotak-kotak dalam berbagai ruang kepentingan. Munculnya istilah Islam priyayi sebagai perbandingan dari Islam santri, Islam tradisional yang dibenturkan dengan Islam moderat  maupun Islam Revivalist dan transformatif  bukan hanya sebatas “setting sejarah” yang sengaja dibuat oleh kolonial belanda untuk memecah belah aspirasi umat Islam, lebih dari itu, kategorisasi tersebut merupakan cerminan nyata dari perbedaan sikap keberagamaan masyarakat yang bersifat konfrontatif.
 Ada golongan yang di satu sisi, pemahamannya akan agama terhiasi oleh formalisme religius, sedang di sisi lain, kehidupan mereka dipenuhi oleh hal-hal mistik yang tidak sehat. Takhayul dan “animisme” mewarnai nalar mereka sehingga mengaburkan sikap orisinil Islam yang kreatif dan mendesak keimanan serta daya nalar kritis ke ruang ortodoksi yang sempit. Golongan tersebut kemudian dikenal dengan nama Islam lokal-tradisional, karena kegigihannya dalam menjaga nilai-nilai luhur yang bersifat lokal semisal Islam kejawen, abangan dan kebathinan. 
Didorong oleh keprihatinan melihat kenyataan tersebut, tampillah beberapa golongan hendak  menawarkan obat yang  bermacam-macam pula bahan racikannya, ada yang  mencoba mencekoki pikiran umat dengan romantisme klasik, mengingatkan memori mereka pada kejayaan Islam di masa silam kemudian berusaha untuk membentuk pola hidup masyarakat persis dengan pola hidup seribu tahun yang telah berlalu.  Kelompok ini disebut sebagai kelompok revivalist. Sesuai dengan arah perjuangannya yang ingin menghidupkan kembali perasaan keagaamaan yang kukuh.
Mereka beranggapan bahwa sumber penyakit yang diderita umat terletak pada hilangnya intisari ajaran Islam dari jiwa mereka, disebabkan adanya tumpukan debu-debu budaya dan peradaban yang sekian lama menempel pada doktrin-dotrin agama, sehingga membersihkan semua itu dan memurnikan kembali ajaran agama adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan mereka. Menurut golongaan ini, Islam yang murni adalah potret kehidupan Rasulullah SAW beserta para shahabatnya diilhat dari segala Aspek. -Tak kurang dan tak lebih-. Inilah yang mereka pahami sebagai Sunnah, implikasinya, Segala amalan ang tidak “dicopy” dari kehidupan beliau adalah Bid’ah yang tercela[3].
Munculnya golongan revivalist tentu menciptakan goncangan-goncangan hebat di tubuh umat Islam Indonesia, aspirasi mereka terpecah menjadi dua gelombang besar yang saling tarik menarik. kaum Revivalist menyeru untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah dan dengan keras menolak amalan-amalan -yang menurut mereka- tak berdasar pada keduanya semacam tarekat, tahlilan, serta ritual-ritual kebudayaan lainnya. Sedang kaum lokalis-tradisionalis yang merasa terusik dengaan dakwaan mereka berusaha mempertahankan kepercayaan lokalnya sekuat tenaga. Pergulatan pemikiran semacam ini sering pula berbuntut kekerasan antara pihak-pihak radikal dari kedua golongan. Hal itu cukup berlangsung lama, sampai munculnya corak Islam Indonesia yang baru yaitu Islam akomodatif.
Apa itu Islam Akomodatif? Berdasarkan corak pemikirannya yang berpangkal pada salah satu kaidah fikih “al-Muhafadzatu ‘ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdu bil Jadidi al-Ashlah” artinya: “memegang teguh prinsip lama yang masih relevan dan menerima prinsip baru yang lebih baik”, Islam Akomodatif adalah kelompok yang memiliki kesamaan visi dengan Islam revivalist dalam rangka membangun kepribadian umat kembali setelah lama rapuh di era kolonial, namun demikian mereka juga memiliki kesamaan pandangan dengan islam lokal dalam hal menjaga tradisi leluhur, mereka mengakomodasi pemikiran-pemikiran modern dan berbagai tradisi lokal yang bisa berkompromi dengan ajaran Agama.
Pada perkembangan selanjutnya, pergulatan pemikiran Islam didominasi oleh kedua aliran, Revivalist dan Akomodatif. Di satu sisi, Revivalist menstempel kelompok akomodatif sebagai neotradisionalis yang paham keagamaannya masih berbau “kemenyan”, sama dengan Islam lokal. Sebaliknya, golongan kedua menuduh golongan pertama sebagai neokhawarij, aliran fundamentalis yang tumbuh di masa awal Islam dan sangat menyukai radikalisme dalam bertindak. Gesekan dan benturan semacam ini akhirnya menjadi salah satu sebab munculnya aliran yang ketiga, yaitu Islam Liberal. Sebuah aliran yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara keimanan terhadap Islam dan modernitas.[4]
Mereka menganggap sumber penyakit umat Islam yang sebenarnya terletak pada kebodohan yang seakan terorganisir oleh berbagai pihak, oleh kaum penjajah yang di masa kolonial tak banyak memberikan kesempatan kepada bangsa pribumi untuk mengenyam pendidikan bermutu. Oleh Kemelaratan ekonomi dan sistem perbudakan yang membentuk mental pengemis pada jiwa masyarakat. Dan semua itu berbanding lurus dengan sikap para agamawan yang apatis, rendah kepekaan dalam membaca keterpurukan umat bahkan cenderung menyukai praktek-praktek keagamaan yang irasional dan membenamkan diri dalam hal-hal mistik. Tak ayal lagi, Berkembang-biaknya aliran tarekat, ajaran sufisme dan klenikisme seakan candu yang mereka cekoki ke dalam tenggorokan umat Islam sekian lamanya. Akibatnya, umat Islam kehilangan daya berinovasi dan bertransformasi karena telah cukup puas dengan tradisi Taklid buta dalam beragama, berbudaya hingga berpolitik. Nah, melihat kenyataan kaumnya terlena dalam iklim yang tidak sehat ini, muncullah golongan Liberalis, mengklaim dirinya sebagai kaum modernis dan menawarkan obat bermerk modernisasi.
Umat Islam –menurut mereka- tidak akan pernah bangun dari keterpurukannya dengan sekedar bernostalgia, mengingat kekayaan yang sudah tertimbun debu sejarah, dan mencoba menghidupkan kembali pola kehidupan lama. Dalam hal ini, mereka berseberangan arah dengan kaum revivalist. Untuk merebut kembali kejayaan Islam, - Seperti halnya bangsa barat yang telah melesat perlahan-lahan pasca perang salib-  langkah pertama yang harus dilakukan kaum muslimin adalah menyadari kemunduran mereka lalu bangkit dan melepaskan kefanatikan terhadap budaya-budaya lokal yang sejatinya hanya mengaburkan substansi ajaran agama. Oleh sebab itu, demi mengejar ketertinggalan, umat Islam harus mengikuti jejak bangsa barat dalam hal merombak tata berpikir yang tidak rasional dan menggantinya dengan tata berpikir yang rasional, inilah yang mereka sebut Modernisasi namun sering disalah artikan sebagai westernisasi.[5]
Terkait dengan fokus pembahasan dari tulisan ini, apa menariknya menghubungkan eksistensi ketiga aliran dengan persoalan Bid’ah..?  Lantas adakah relevansi antara pergulatan pemikiran ketiga aliran dengan masalah Bid’ah itu sendiri..? nah, justru dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menganggap penting dan menarik untuk mengkaji nalar ketiga golongan, Islam Revivalist, Akomodatif dan Liberal. sebab meski ketiganya menolak praktek Bid’ah dalam ajaran Islam namun interpretasi mereka terhadap teks agama yang menjelaskan kedudukan bid’ah berbeda. Sehingga terdapat  ragam model keberagamaan di masyarakat.
Satu hal yang penulis akui bahwasanya membahas ragam model keberagamaan umat Islam di Indonesia dewasa ini -terutama sekali kajian terhadap gesekan-gesekan ideologi- dapat dibilang sudah tak semenarik dulu  lagi, seiring dengan semakin membuminya semangat toleransi dan paham pluralisme. Perbedaan pandangan dan fanatisme sektarian yang dapat menggiring ke arah disintegrasi element-element masyarakat dalam segala aspek  hingga yang berakibat pada konfrontasi fisik seperti yang pernah terjadi pada tahap awal era modernisme (1920-an) sudah tak sedemikian panas lagi.
Namun demikian, studi terhadap akar keberagamaan masyarakat yang beragam sangat diperlukan untuk memahami perbedaan ideologi masing-masing golongan, apa penyebab terjadinya perbedaan itu, dan dimanakah letak titik persamaannya, sehingga di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip Pluralisme yang menerima keberagaman dan Humanisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dapat dikawal dengan baik. Dan inilah tujuan sederhana yang menurut kami membuat kajian terhadap perbedaan persepsi menyangkut Bid’ah ini menjadi cukup menarik.
A.    Perumusan masalah
Dengan berdasarkan prolog di atas, ada beberapa hal yang menjadi rumusan masalah yang hendak kami bahas di sini, terkait:
1.      Apa fenomena yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pandangan antara tiga  aliran (Revivalist, Akomodatif dan Liberalis) ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Bid’ah ?
3.      Bagaimana penjelasan Nash-Nash Syar’i tentang Bid’ah?
4.      Bagaimana esensi bid’ah dan batasan-batasannya menurut aliran Revivalist, Akomodatif dan Liberalis?

B.     Kerangka Teori
Dalam setiap studi ilmiah, selalu ada pendekatan yang dilakukan peneliti terhadap objek yang hendak ditelitinya, hal itu penting untuk mengetahui seluk beluk objek secara mendetail sebelum membangun sebuah kesimpulan. Sehingga hasil dari penelitian tidak hanya berdasarkan hipotesa-hipotesa awal namun juga diperkuat oleh bangunan data yang valid. Pendekatan semacam ini kemudian dikenal dengan sebutan teori analisis.
Begitu pula dengan kami yang akan mengkaji nalar tiga aliran besar islam di Indonesia dalam memahami masalah bid’ah, tentu terlebih dahulu membutuhkan metode  untuk dapat mendekati dan memahami kerangka berpikir setiap golongan, dan metode yang penulis anggap pas adalah dengan menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuan -yang sebagaimana dikatakan oleh Peter Berger dan Thomas Luchmann- adalah sebuah cara menganalis suatu kenyataan berdasarkan pada kenyataan-kenyataan yang hidup sehari-hari di masyarakat. Kenyataan disini didefinisikan sebagai suatu kualitas yang dimiliki oleh fenomena-fenomena nyata. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai pengakuan bahwa setiap fenomena memiliki karakteristik yang spesifik. Sehingga di sini terdapat relevansi antara kenyataan dan pengetahuan.[6]
Oleh sebab itu tugas pokok dari sosiologi pengetahuan dalam kajian kami ini adalah menguraikan fenomena-fenomena nyata yang melatar belakangi dasar pemikiran ketiga aliran dan menekuni segala sesuatu yang dianggap pengetahuan oleh setiap aliran. Adakalanya fenomena yang nampak dari perilaku mereka memiliki kesamaan karakter yang lebih spesifik lagi. Yaitu kecenderungan psikologis yang sama terhadap suatu objek, namun pergolakan antara emosional, latar sosial dan budaya beserta kapasitas keilmuan menyebabkan ketiga golongan  berbeda haluan dalam menyikapi sesuatu. Begitu pula dalam menyikapi hal-hal baru yang sangat berpotensi untuk mendapat label Bid’ah.

BAB II
PECINTA BUTA, PECINTA TERPELAJAR DAN PECINTA KRITIS
Mengapa sepenggal judul dari tulisan ini menggunakan redaksi “ Nalar Cinta” ? cukup provokatif mungkin, namun sebenarnya saya terinspirasi dengan pendapat seorang Farid Essack dalam bukunya “ The Qur’an, a short introduction”. Dimana ia mengklasifikasikan umat islam di saat berinteraksi dengan Al-Qur’an ke dalam tiga golongan. pertama, golongan pecinta  buta. kedua,  golongan pecinta yang berpendidikan. Dan ketiga, golongan pecinta yang kritis. Essack mengibaratkan teks Qur’an sebagai objek materi yang unik dan cantik sehingga banyak orang tergila-gila dan jatuh hati padanya, namun dalam mengungkapkan perasaan cintanya, jelas di antara satu pecinta dengan pecinta lainnya terdapat perbedaan ekspresi.
Setelah direnungi lebih dalam, memang cukup menarik ilustrasi “pecinta” yang digunakan oleh Essack, bahkan kalau akan diperlebar lagi, sebenarnya bukan hanya terbatas pada interaksi dengan Al-Qur’an, akan tetapi, di dalam menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan, mereka juga terbagi menjadi tiga  kelompok.
Kelompok yang pertama, adalah para pecinta buta. dalam pandangan mereka, Islam ibarat kekasih yang kehadiran dan keanggunannya dapat menerbangkan segala potensi, nalar dan kesadaran. tubuh sang kekasih adalah simbol kesempurnaan dan bola matanya menjadi pompa eksternal yang mengalirkan darah ke seluruh badan. jangankan seekor lalat, setitik debupun tidak boleh mengotorinya, apalagi “tangan asing” yang hendak menyentuhnya. perasaan cinta buta yang seperti ini terkadang tumbuh dari kekaguman pertama kali, yaitu disaat pikiran mereka dihimpit rasa penat dengan segala macam problem kehidupan dan dahaga spiritualnya merasakan haus yang tidak terkira,  dalam mimpi, sang kekasih datang menghampiri.  Dengan mengenakan kain sutera yang begitu indah, dan leher yang dibalut kalung berlian, ia berikan senyuman dan segelas air dingin yang dapat menghilangkan rasa haus mereka selama-lamanya. kehadiran sang kekasih saat itu begitu membekas sehingga potret keanggunannya slalu tersimpan kuat dalam memori. lantas ketika mereka terbangun, mereka menemukan sang kekasih -di tempat yang berbeda- telah menanggalkan baju suteranya serta semua berliannya dan hanya mengenakan pakaian yang sederhana, mereka merasa kecewa.
Pecinta buta slalu akan merasa cemburu ketika melihat sang kekasih merasa nyaman berinteraksi dengan lingkungan dan tradisi yang asing  atau  berbicara dengan bahasa asing dan bergaul dengan orang asing. demi menjaga kecantikan sang kekasih, dengan terdorong oleh rasa fanatisme dan cintanya yang buta, mereka lebih menghendak sang kekasih  tetap seperti dulu, mengenakan busana dari kain sutera, berkalung berlian serta berbudaya dengan budaya keluarga asalnya.
Kelompok yang kedua, adalah para pecinta terpelajar. yaitu mereka yang ingin menjelaskan pada dunia mengapa kekasihnya begitu mempesona dan memikat siapa saja. mereka ingin mendapatkan pengakuan universal atas kecantikan kekasihnya, sehingga mereka akan menjelaskan sedemikian rinci keindahan, keutamaaan dan kemolekannya. tentunya dengan dalil-dalil yang logis dan empiris. Namun mereka berbeda  dengan kelompok pecinta buta. mereka tidak terjebak oleh “kekaguman pertama kali”, dan tidak begitu silau dengan penampilan luar sang kekasih. golongan ini mencoba untuk lebih mengenal kepribadian sang kekasih, lingkungan tempat ia berada (kemarin, kini dan  esok) . Mereka juga berusaha memahami, watak,  potensi, semangat, pola pikir dan cita-cita sang kekasih.
Ketika mereka merasakan kegerahan sang kekasih setelah sekian lama terkungkung dalam busana suteranya, mereka menuruti kemauannya untuk menggunakan baju yang baru meskipun  itu pemberian orang asing. ketika mereka melihat sang kekasih begitu bersemangat berinteraksi dengan budaya asing, mereka memberi ruang yang sebebas-bebasnya. Mereka ikut bahagia di saat kekasihnya diterima semua kalangan yang berbeda warna dan busana, dan mereka semakin bangga dengan fleksibelitas sang kekasih.
Golongan yang ketiga adalah para pecinta yang kritis, seperti dua golongan sebelumnya, mereka juga terpikat dengan keindahan sang kekasih, dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, namun mereka memahami bahwa perasaan cinta itu subjektif,  mereka setia kepada sang kekasih namun kurang berminat untuk meng”kampanye”kan perasaannya itu kepada orang lain, cukuplah keromantisan dirasakan oleh mereka dengan sang kekasih saja, tidak penting orang lain mengetahuinya. Di sana ada begitu banyak objek selain kekasihnya yang membuat  orang tergila-gila dan jatuh cinta,  meskipun hati mereka berkata hanya kekasihnya saja yang tercantik dan terindah.
Realitas kehidupan yang begitu kompleks dan terus berkembang ini menyebabkan objektifitas sikap para pecinta kritis menuntut sang kekasih untuk slalu mengikuti perkembangan zaman.,berinteraksi dengan semua orang, agar  hubungan  harmonis antara sang kekasih dengan para pecintanya dapat terjaga.
Para pecinta kritis tidak mau melihat kekasihnya  semacam fosil yang tidak bernyawa, atau bagaikan pahatan patung yang diabadikan, lalu dikagumi kemolekannya di alam ide tanpa bisa memberikan konstribusi materialistis di alam nyata, mereka tidak  akan pernah rela bila sang kekasih yang oleh banyak orang disebut “ the way of life” hanya memberikan solusi berupa “obat bius” untuk memecahkan segala problem kemanusiaan di era tekhnologi ini. Ketika semua orang kehausan, mereka tidak akan sudi bila sang kekasih datang hanya dengan membawa “air laut”. gambaran ideal mereka menghendaki sang kekasih tampil sebagai “problem solving” ditengah arus globalisasi ini.
Namun demikian, apresiasi cinta golongan ketiga ini bukanlah tanpa celah untuk dikritisi ketika mereka tak mampu menyeimbangkan antara sikap subjektifnya sebagai seorang pecinta dan sikap objektifnya sebagai seorang yang kritis. Dampaknya, mereka sering menundukkan cita-cita sang kekasih yang bersifat primer dibawah keinginan mereka yang bersifat sekunder. semisal, hanya karena ingin sang kekasih tak terlihat fundamentalis, mereka sering memaksanya mengenakan busana “vulgar” dan bergaya hidup seperti gaya para wanita lainnya, padahal semua itu tidak disukainya.. Ironis memang, karena sikap eksploitatif ini menunjukkan ketidak dewasaan mereka.

BAB III
         RAGAM PERSEPSI MENGENAI BID’AH
A.    Bid’ah Dalam Teks Agama
Dalam kaitannya dengan Bid’ah, jelas perbedaan ekspresi cinta ketiga golongan umat Islam ini mempengaruhi  daya nalar dan sikap mereka terhadap Bid’ah. ada yang menganggap segala amalan baru sebagai hal yang tercela, ada pula yang selektif dengan memilah dan memilih dan ada pula yang terkesan acuh tak acuh. Kaum revivalist yang fanatik dalam beragama mewakili golongan yang pertama. Kubu Islam akomodatif termasuk ke dalam yang golongan kedua sedang komunitas Islam liberal yang memiliki karakter kritis dalam setiap pemikirannya mewakili golongan yang terakhir.
Ada banyak sekali dalil tekstual yang menerangkan Bid’ah dan konsekwensinya, kesemuanya mengacu pada hadist Nabi Saw yang bertebaran di berbagai kitab Hadits. Beberapa diantaranya akan kami sebutkan berikut ini:
-  (فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد {صلى الله عليه وسلم} وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة)
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sedang perkara yang paling buruk adalah segala perbuatan baru, dan setiap bid’ah pastilah sesat” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim[7]).
-  (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد  - الحديث-)
Barang siapa yang memperbaharui urusan kami ini (agama)  dengan (mencampurkan) sesuatu yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak” (Hadits diriwayatkan oleh Abi Daud[8])
Pada tataran semantik, Ketiga golongan (revivalist, akomodatif dan liberalis) sama-sama menangkap kesatuan makna denotatif dari kedua hadits di atas, akan tetapi mereka berbeda pandangan dalam menginterpretasikannya sehingga pesan teks yang diserap juga berbeda.
B. Bid’ah Menurut Aliran Islam Revivalist   
Aliran rervivalist juga dikenal dengan julukan kelompok literalis. Hal itu dikarenakan rasa fanatikya yang begitu dalam terhadap pemahaman tekstual (yang tersurat dalam al-Qur’an dan Hadits) sehingga mendorong mereka untuk meyakini bahwasanya Teks adalah wadah / takaran / standard bagi setiap persoalan umat yang terus berkembang. Menurut mereka, doktrin yang mereka produksi dari  teks  sudah bersifat  “taken for granted” alias tidak boleh diutak-atik dan diganggu gugat. Bagi mereka, pemahaman keberagaamaan mereka adalah representasi dari pemahaman Tuhan karena murni Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits. tak ayal lagi, segala amalan yang bersebarangan dengan ajaran mereka adalah bid’ah bahkan sampai syirik, karena yang jelas amalan itu tidak disinggung secara eksplisit oleh al-Qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw.  Sedangkan orang-orang yang menjalankan amalan itu mereka anggap sebagai ahli bid’ah, kafir atau bahkan musyrik yang halal darahnya.
Ketika ada orang bertanya kepada mereka:  “bilamana semua yang  tidak ada pada zaman Rasul Saw, kalian hukumi Bid’ah, lantas bagaimana dengan sarana transportasi seperti mobil, kereta, pesawat terbang?”  mereka akan balik bertanya: “bukankah Rasul Saw telah berpesan agar kalau urusan agama, dikembalikan kepadanya, sedangkan urusan dunia, kita yang lebih tahu, lantas apakah anda kira tekhnologi adalah bagian dari agama?”  ya, memang terlihat konyol pertanyaan tersebut, karena bid’ah menurut kaum revivalist bukan segala sesuatu yang baru, namun segala pembaharuan yang berkaitan dengan urusan agama seperti Ibadah, Muamalah, Siyasah termasuk budaya, paham dan kepercayaan yang tak ada di zaman Nabi saw.
Dari kalangan Islam revivalist, muncul beberapa pergerakan radikal, hal ini dikarenakan perasaan cinta mereka terhadap agama yang begitu dalam tidak dibarengi dengan pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga sifat cemburu, curiga dan egois adalah ciri khas kaum revivalist radikal ini.  mereka cemburu ketika ada “pernikahan” antar agama dengan budaya yang beragam, sehingga memberikan stempel bid’ah bukan  pekerjaan sulit ketika mereka menganggap pengamalan budaya setempat telah mengkaburkan ajaran agama yang asli. demikian pula disaat ada gerakan pemikiran yang inovatif,  lagi-lagi stempel bid’ah bukan harga mahal bagi mereka.
Namun demikian bila kita membaca pola beragama masyarakat Indonesia saat ini, dapat dipastikan kelompok radikal hanyalah sebagian kecil dari golongan Islam Revivalist, sebagian besar dari mereka justru bisa bersikap santun, teguh pendirian, dan taat mengamalkan norma-norma agama. mereka pintar beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berada, bergaul dengan baik dan tak sedikit pula yang memegang peranan penting di masyarakat. Meski tegas dalam menjalankan prinsip dan suka mempelihatkan atribut agama, Mereka jauh dari kesan radikal, dua hal yang kontraditif memang, namun demikianlah sentimen publik saat ini,  bahkan mereka yang sering diperlakukan tidak adil oleh pandangan umum di masyarakat ketika mereka terlihat menggunakan atribut kebanggaannya. Lirikan dengan kesan penghinaan atau bahkan tuduhan “teroris” yang tidak mendasar merupakan sebuah noda hitam yang  mengotori semangat pluralisme di negeri ini.
C.     Bid’ah Menurut Aliran Islam Akomodatif
Bagi golongan ini , Islam yang mereka cintai bersifat dinamis dan fleksibel (shalih likuli zaman wa makan). agama adalah “isi” yang bersumber dari teks (al-Qur’an dan al-Hadits) akan tetapi dalam mengaplikasikannya, agama membutuhkan keberagaman konteks (lokaliltas budaya dan potensi lingkungan) sebagai wadahnya. Hal yang sedemikian itulah yang disebut sebagai akulturasi.[9]
Ekspresi cinta aliran Islam akomodatif terhadap agamanya tercermin dalam tiga prinsip dasar yang mereka pegang teguh: tawazun (pertimbangan) tasamuh (toleransi) dan I’tidal (objektif). oleh sebab itu, di dalam mengkaji setiap persoalan, mereka slalu menggunakan penalaran (dirayah) atas essensi yang sebenarnya untuk dibahas dalam bingkai wawasan keislaman. contohnya ketika menyikapi amalan-amalan  baru yang oleh golongan pecinta buta atau kelompok Revivali st telah di “labeli” Bid’ah, mereka tidak serta-merta ikut menjustifikasi sebelum  mengkajinya terlebih dahulu,  mereka berusaha menemukan hal-hal yang substantif dalam amalan tersebut kemudian mencoba mencari rujukan pada Al-Qur’an dan Hadits. Jika substansi amalan itu punya landasan yang kuat, maka dalam konteks yurisprudensi Islam, hal itu bukanlah  bid’ah,  namun jika tidak mereka temukan suatu dalil yang kuat, maka amalan Itu tertolak alias bid’ah, atau bila mengacu pada pemahaman leterladge dari kata bid’ah yang secara mutlak mengacu pada segala macam pembaharuan, mereka membedakan antara pembahauran yang membawa maslahat dan yang membawa mudhara’ menurut takaran Syariat.[10]
Golongan ini memahami perbedaan antara normativitas agama dan historisitasnya, mereka juga membedakan antara  ibadah Muqayyadah yaitu ibadah yang prakteknya baik isi, cara dan waktu pelaksanaannya telah diatur oleh Shahib as-syari’ah ( Allah Swt dan Rasulullah Saw) dengan ibadah Mutlaqah yaitu ibadah yang isinya bersumber dari Shabib as-Syari’ah,  akan tetapi cara dan waktu pelaksanaannya (kemasannya) tidak ditentukan. Sehingga kita bebas mengamalkannya dengan cara masing-masing. Contoh ibadah yang pertama adalah melaksanakan Shalat sedangkan contoh ibadah yang kedua adalah berbakti kepada orang tua. Bagaimana cara kita berbakti? tentu tergantung kemasan konteks yang berbeda-beda bukan!?
Menurut sebagian dari mereka, fenomena-fenomena seperti acara tahlilan, ziarah kubur dan pembacaan shalawat ad-Diba’i, al-Habsyi, Barzanji atau Burdah al-Bushiri yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat dengan bentuk yang seperti sekarang ini, memang tidak pernah ada di zaman Nabi, akan tetapi substansinya mendapat legitimasi dari beliau, sehingga semua itu bisa dikategorikan sebagai ibadah mutlaqah. tahlil misalnya, isinya tidak ada yang menyimpang dari syariat mulai dari pembacaan istighfar, tahmid hingga tahlil, bahkan semua amalan itu adalah anjuran Nabi Saw. Masalah memberi makan para jama’ah, kalau diniyati shodaqoh yang pahalanya untuk si mayyit, agama tidak melarangnya.  lalu dengan masalah 7 hari, 40 hari, haul dll? nah, disini mereka  membedakan  antara kultur dan ajaran agama, antara kacang dan isi memang tidak bisa dipisahkan, keduanya satu paket, tapi harus dipilah saat hendak dimakan.
Kategorisasi ibadah mutlaqah dan muqayyadah yang dibawa oleh Islam akomodatif ini bukanlah tanpa hujatan dari kaum revivalist, hanya saja aliran Islam akomodatif beralasan bila contoh-contoh ibadah mutlaqah dikatakan bid’ah, lantas bagaimana hukum membaca mushaf al-Qur’an? bagaimana hukum Shalat Tarawih berjamaah? Adzan dua kali ketika di saat pelaksanaan Shalat Jum’at? dan membaca syi’ir shalawat para Shahabat Nabi?
Beranikah aliran revivalist menklaim Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan shahabat lainnya sebagai ahli Bid’ah? sedangkan Rasul Saw sendiri telah mengakui kapasitas mereka dalam berijtihad sebagaimana sabdanya:
أصحابي كالنجوم بأيهم إقتديتم إهتديتم
para shahabatku laksana bintang-bintang..kepada siapapun kalian meminta petunjuk, kalian akan mendapatkannya.”
Ada juga dari kalangan Islam akomodatif yang membagi Bid’ah menjadi Dua: 1) Hasanah. 2) Sayyia’h . seperti telah disinggung sebelumnya,  pengklasifikasian semacam ini berdasarkan pada makna Bid’ah secara leksikal yaitu memperbaharui sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Alasan yang dikemukakan oleh mereka adalah perkataan sayyidina umar  tentang hukum tarawikh berjamaah, yaitu:
نعمة البدعة هذه
Paling nikmatnya bid’ah adalah hal ini (tarawikh berjama’ah)”.
Lantas bagaimana dengan redaksi hadits (كل بدعة ضلالة) yang mengindikasikan kesesatan segala bentuk Bid’ah secara mutlak? mereka beranggapan bahwa lafadz   كل dalam hadits di atas adalah lafadz umum yang keumuman jangkauannya telah dibatasi.[11] karena jika tidak demikian, maka ruang gerak umat Islam akan sedemikian sempit dan akan mendatangkan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan mereka, sedang agama datang bukan sebagai pengekang akan tetapi  untuk memberi kemudahan. hal ini sesuai dengan sabda Rasul Saw:
يسرو ولا تعسروا
Permudahlah, jangan kau persulit…”
Lantas bila lafadz (كل) di atas dibatasi keumumannya, apa yang menjadi Mukhassis/ sesuatu yang mengkhususkan?  jawabannya adalah akal. Sebagian dari aliran akomodatif menganalogikan kasus dalam hadits dengan kasus dalam ayat:
وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة غصبا
Akal dapat memberlakukan kata (كل) dalam ayat di atas sebagai shighat ‘am yang berlaku khusus. sebab bila berlaku umum maka maknanya akan mencakup seluruh perahu baik yang bagus maupun yang rusak. bila begitu, apa gunanya Nabi Khidir melubangi perahu yang bagus!?  Sedang para bajak laut juga akan mengambil perahu yang rusak.[12]
D.    Bid’ah Menurut Aliran Islam Liberal 
Bila kita membicarakan masalah bid’ah dalam pandangan Islam Liberal mungkin informasi yang akan didapat tak sebanyak yang kita peroleh dari dua golongan sebelumnya (Revivalist dan Akomodatif), mengapa? Karena memang kecenderungan arah perjuangan mereka berbeda. Mereka lebih suka mendiskusikan isu-isu seputar feminisme, teologi inklusifisme, hak asasi manusia dan isu global lainnya sehingga persoalan tentang Bid’ah atau masalah Furu’I lainnya tidak sedemikian penting untuk mereka kaji. Namun demikian, bukan berarti mereka mengesampingkan begitu saja masalah yang slalu di daur ulang oleh kedua golongan sebelumnya ini, sikap normatif dari Komunitas Islam liberal juga sama dengan sikap Islam Revivalist dan akomodatif hanya saja dalam menentukan Bid’ah atau tidaknya suatu perbuatan, Islam Liberal berbeda dengan golongan yang pertama, mereka kurang suka hanya bertumpu pada teks. mereka juga kurang tertarik mendialogkan teks dengan teks atau dengan penghayatan keagamaan para ulama salaf seperi kecenderungan golongan kedua. Sebaliknya mereka justru lebih suka mendialogkan antara teks dengan realita yang terus berkembang. Dalam hal ini akal budi menjadi Hakimnya. Apa yang menurutnya akan membawa kemashlahatan umum itu bukanlah bid’ah sedang yang menimbulkan kemudharatan, adalah Bid’ah. Pemahaman non-literal inilah yang oleh Komaruddin Hidayat disebut sebagai Kontekstualisasi Ajaran Islam.[13] 

BAB IV
KESIMPULAN
Andai kita pertemukan ketiga golongan antara pecinta buta, pecinta terpelajar dan pecinta kritis dalam satu forum diskusi tentang bid’ah, mungkin, kelompok yang terakhir hanya akan menjadi penonton setia. menyimak perdebatan seru antara dua saudaranya sambil sesekali tersenyum geli mengamati pola pikir si pecinta buta, ia sedikit terusik dengan kata-kata “kafir” dan “bid’ah” yang begitu mudah terlontar dari lisan si pecinta buta. Tapi pecinta kritis tidak bergeming, sebab dirinya merasa capek berdiskusi tentang tema Bid’ah, ia merasa sudah ada pecinta berpengalaman yang lebih bersemangat membahas masalah ini.
Pengandaian diatas bukan untuk menyudutkan salah satu pihak, karena semua itu bermula dari kejadian nyata. seorang sahabat - yang menurut saya merupakan representasi dari golongan pecinta kritis- suatu saat  pernah saya tanyakan pendapatnya tentang Bid’ah, mungkin dia tidak menyadari bahwa pertanyaan tersebut merupakan pancingan saya untuk mengetahui pola berpikirnya. Menurutnya bila bid’ah dimaknai sebagai bentuk akulturasi ataupun modernisasi yang membawa kemaslahatan bagi umat maka hukumnya wajib. kaget dengan pernyataan itu, saya ajukan beberapa dalil tekstual, namun dia malah mengemukakan satu kaedah fiqh : al-ashlu fil ‘ibadati al-hurmatu illa ma dalla ad-dalilu ‘ala hillihi, wal-ashlu fi al-mu’amalati al-hillu illa ma dalla ad-dalilu ‘ala hurmatihi. yang artinya; asal mula hukum dalam beribadah adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, sedangkan asal mula hukum dalam bermu’amalah adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya,  lalu dia mengutip penggalan hadits yang berbunyi “ma raahu al-muslimuna hasanan fahua ‘indallahi hasanun”yang artinya: “apa yang oleh umat isam dipandang bagus, maka bagus pula menurut Allah SWT”
Kemudian dia melanjutkan perkataannya “ saya tadi mengatakan jika Bid’ah dimaknai  sebagai  akulturasi atau modernisasi yang membawa mashlahat, maka wajib hukumnya… bukankah begitu!? Akulturasi  adalah bagian dari interaksi sosial, modernisasi adalah sebuah keniscayaan. Jika keduanya membawa kemashlahatan, semua orang akan menganggap baik, dan tuhan pun akan memandang baik. Oleh sebab itu, apa alasan anda menyalahkan pendapat saya?
Diam-diam saya mengagumi nalar pemikirannya namun karena terdesak oleh rasa malu, saya terus bertanya “Apakah anda mengingkari hadits Nabi tentang bid’ah, apakah anda mengingkari kebenaran Nabi??”
 “ jangan tergesa-gesa menuduh, saya yakin setiap pribadi Muslim cinta akan Nabinya, cinta kepada al-Qur’an, Sunnah, dan para pejuang Islam. Begitu pula saya, anda dan juga mereka, namun jangan paksakan penafsiran anda terhadap agama kepada orang lain. biarkan setiap orang mengekspresikan perasaan cintanya dengan caranya masing-masing”  jawabnya dengan nada santai, namun terkesan hendak mengakhiri diskusi.
Ya, benar juga apa yang dikatakan seorang sahabat di atas, selagi tidak ada tindakan radikal yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, selagi tidak ada perbuatan yang mengusik ketenangan manusia lain, biarlah kaum revivalist, akomodatif dan liberalis berislam sesuai dengan penafsiran mereka masing-masing, toh, penafsiran mereka yang berbeda-beda tetap berpangkal pada satu dasar pemikiran yang sama yaitu kecintaan yang tulus kepada agama. Akhirnya, satu hal yang perlu kita sadari bersama jika paham pluralisme yang dibumikan di negeri kita ini adalah untuk memahami bahwa perbedaan pandangan adalah sunnatullah, sedang menghargainya adalah salah satu bukti bahwa kita telah benar-benar memahami pluralitas itu sendiri. Tanpa tebang pilih dan tanpa pandang bulu.




DAFTAR PUSTAKA

- al-Ghazaly, Muhammad. Musykilatun fi Thariq al-Hayat al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Bashir.
- Alwy al-Maliki, Muhammad Bin, as-Sayyid. Mafahim yajib an tushahhah. Makkah: Maktabah al-Mukarramah
- Berger, Peter L dan Luchmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES
- El-Abdu Lillah Abdullah. 1412 H. Sullam Munawraq fi Ilmi al-Manthiq. Pasuruan: Pustaka Sidogiri
- Essack, Farid . The Qur’an, A short Introduction.
- Hidayat, Komaruddin. 2003. Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina.
- Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Al-Jami’ baina as-Shahihain, Bukhari wa Muslim. Maktabah Syamilah
- Imam Abi Daud. Sunan Abu Daud. Maktabah Syamilah.
- Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Visi dan Tradisi Baru Islam. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
- Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Yogyakarta: PT. Mizan Pustaka.
- Qodir, Zuly. 2010. Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
-.Shofan, Moh. 2011. Plularisme Menyelamatkan Agama-Agama. Yogyakarta: Samudera Biru.



[1] Tulisan ini disusun dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) yang diadakan oleh panitia milad HMI Cabang Yogyakarta yang ke 65 di Gedung Pusat Kebudayaan Lafran Pane
[2] Penulis adalah Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Adab semester 5 yang konsen menggeluti pemikiran -pemikiran Islam kontemporer terutama pada kajian bidang Teologi Islam, Linguistik Arab, Sejarah dan Budaya Islam, Hukum Islam, Fiqh dan Ushul Fiqh
[3] Muhammad al-Ghazaliy. Musykilat fi Thariq al-Hayat al-Islamiyah. Bab Al-Itrhraf wa at-Tatharruf
[4] Dr. Zuly Qodir, Islam Liberal, Variasi-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
[5] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. hlm 179.
[6] Peter L. Berger dan Thomas Luchmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 21-22
[7] Al-Jami’ baina Shahihain, Bukhari wa Muslim. Juz 2, hlm 274. 
[8] Sunan Abi Daud. Juz 12, bab fi luzumi as-sunnah, hal 210.
[9]  Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit wahyu di bumi.
[10]  Muhammad Bin Alwiy al-Maliki, Mafahim yajib an thusahha, hlm 111.
[11] El-Abdu lillah Abdillah, Sullam al-Munawwaraq fi ‘Ilmi al-Manthiq, hlm 36.
[12] Tafsir al-Alusy, Surah al-Kahf.
[13] Dr. Zuly Qodir, Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, hlm 175.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar