BAB I
PENDAHULUAN
Kolonialisme
yang berkepanjangan menyebabkan kehidupan kaum muslimin di bumi Nusantara –
seperti halnya yang juga terjadi di belahan dunia Islam lainnya- tercabik-cabik
dan terkotak-kotak dalam berbagai ruang kepentingan. Munculnya istilah Islam
priyayi sebagai perbandingan dari Islam santri, Islam tradisional yang
dibenturkan dengan Islam moderat maupun
Islam Revivalist dan transformatif bukan
hanya sebatas “setting sejarah” yang sengaja dibuat oleh kolonial belanda untuk
memecah belah aspirasi umat Islam, lebih dari itu, kategorisasi tersebut
merupakan cerminan nyata dari perbedaan sikap keberagamaan masyarakat yang
bersifat konfrontatif.
Ada golongan yang di
satu sisi, pemahamannya akan agama terhiasi oleh formalisme religius, sedang di
sisi lain, kehidupan mereka dipenuhi oleh hal-hal mistik yang tidak sehat.
Takhayul dan “animisme” mewarnai nalar mereka sehingga mengaburkan sikap
orisinil Islam yang kreatif dan mendesak keimanan serta daya nalar kritis ke
ruang ortodoksi yang sempit. Golongan tersebut kemudian dikenal dengan nama
Islam lokal-tradisional, karena kegigihannya dalam menjaga nilai-nilai luhur
yang bersifat lokal semisal Islam kejawen, abangan dan kebathinan.
Didorong oleh
keprihatinan melihat kenyataan tersebut, tampillah beberapa golongan
hendak menawarkan obat yang bermacam-macam pula bahan racikannya, ada
yang mencoba mencekoki pikiran umat
dengan romantisme klasik, mengingatkan memori mereka pada kejayaan Islam di
masa silam kemudian berusaha untuk membentuk pola hidup masyarakat persis
dengan pola hidup seribu tahun yang telah berlalu. Kelompok ini disebut sebagai kelompok
revivalist. Sesuai dengan arah perjuangannya yang ingin menghidupkan kembali
perasaan keagaamaan yang kukuh.
Mereka
beranggapan bahwa sumber penyakit yang diderita umat terletak pada hilangnya
intisari ajaran Islam dari jiwa mereka, disebabkan adanya tumpukan debu-debu
budaya dan peradaban yang sekian lama menempel pada doktrin-dotrin agama,
sehingga membersihkan semua itu dan memurnikan kembali ajaran agama adalah
satu-satunya jalan untuk menyembuhkan mereka. Menurut golongaan ini, Islam yang
murni adalah potret kehidupan Rasulullah SAW beserta para shahabatnya diilhat
dari segala Aspek. -Tak kurang dan tak lebih-. Inilah yang mereka pahami
sebagai Sunnah, implikasinya, Segala amalan ang tidak “dicopy” dari kehidupan
beliau adalah Bid’ah yang tercela[3].
Munculnya
golongan revivalist tentu menciptakan goncangan-goncangan hebat di tubuh umat
Islam Indonesia, aspirasi mereka terpecah menjadi dua gelombang besar yang saling
tarik menarik. kaum Revivalist menyeru untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah
dan dengan keras menolak amalan-amalan -yang menurut mereka- tak berdasar pada
keduanya semacam tarekat, tahlilan, serta ritual-ritual kebudayaan lainnya.
Sedang kaum lokalis-tradisionalis yang merasa terusik dengaan dakwaan mereka
berusaha mempertahankan kepercayaan lokalnya sekuat tenaga. Pergulatan
pemikiran semacam ini sering pula berbuntut kekerasan antara pihak-pihak
radikal dari kedua golongan. Hal itu cukup berlangsung lama, sampai munculnya
corak Islam Indonesia yang baru yaitu Islam akomodatif.
Apa itu Islam
Akomodatif? Berdasarkan corak pemikirannya yang berpangkal pada salah satu
kaidah fikih “al-Muhafadzatu ‘ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdu bil Jadidi
al-Ashlah” artinya: “memegang teguh prinsip lama yang masih relevan dan
menerima prinsip baru yang lebih baik”, Islam Akomodatif adalah kelompok yang
memiliki kesamaan visi dengan Islam revivalist dalam rangka membangun
kepribadian umat kembali setelah lama rapuh di era kolonial, namun demikian
mereka juga memiliki kesamaan pandangan dengan islam lokal dalam hal menjaga
tradisi leluhur, mereka mengakomodasi pemikiran-pemikiran modern dan berbagai
tradisi lokal yang bisa berkompromi dengan ajaran Agama.
Pada perkembangan
selanjutnya, pergulatan pemikiran Islam didominasi oleh kedua aliran,
Revivalist dan Akomodatif. Di satu sisi, Revivalist menstempel kelompok
akomodatif sebagai neotradisionalis yang paham keagamaannya masih berbau
“kemenyan”, sama dengan Islam lokal. Sebaliknya, golongan kedua menuduh
golongan pertama sebagai neokhawarij, aliran fundamentalis yang tumbuh
di masa awal Islam dan sangat menyukai radikalisme dalam bertindak. Gesekan dan
benturan semacam ini akhirnya menjadi salah satu sebab munculnya aliran yang
ketiga, yaitu Islam Liberal. Sebuah aliran yang mencoba melakukan rekonsiliasi
antara keimanan terhadap Islam dan modernitas.[4]
Mereka
menganggap sumber penyakit umat Islam yang sebenarnya terletak pada kebodohan
yang seakan terorganisir oleh berbagai pihak, oleh kaum penjajah yang di masa
kolonial tak banyak memberikan kesempatan kepada bangsa pribumi untuk mengenyam
pendidikan bermutu. Oleh Kemelaratan ekonomi dan sistem perbudakan yang
membentuk mental pengemis pada jiwa masyarakat. Dan semua itu berbanding lurus
dengan sikap para agamawan yang apatis, rendah kepekaan dalam membaca
keterpurukan umat bahkan cenderung menyukai praktek-praktek keagamaan yang
irasional dan membenamkan diri dalam hal-hal mistik. Tak ayal lagi,
Berkembang-biaknya aliran tarekat, ajaran sufisme dan klenikisme seakan candu
yang mereka cekoki ke dalam tenggorokan umat Islam sekian lamanya. Akibatnya,
umat Islam kehilangan daya berinovasi dan bertransformasi karena telah cukup
puas dengan tradisi Taklid buta dalam beragama, berbudaya hingga berpolitik.
Nah, melihat kenyataan kaumnya terlena dalam iklim yang tidak sehat ini,
muncullah golongan Liberalis, mengklaim dirinya sebagai kaum modernis dan
menawarkan obat bermerk modernisasi.
Umat Islam
–menurut mereka- tidak akan pernah bangun dari keterpurukannya dengan sekedar
bernostalgia, mengingat kekayaan yang sudah tertimbun debu sejarah, dan mencoba
menghidupkan kembali pola kehidupan lama. Dalam hal ini, mereka berseberangan
arah dengan kaum revivalist. Untuk merebut kembali kejayaan Islam, - Seperti
halnya bangsa barat yang telah melesat perlahan-lahan pasca perang salib- langkah pertama yang harus dilakukan kaum
muslimin adalah menyadari kemunduran mereka lalu bangkit dan melepaskan
kefanatikan terhadap budaya-budaya lokal yang sejatinya hanya mengaburkan
substansi ajaran agama. Oleh sebab itu, demi mengejar ketertinggalan, umat
Islam harus mengikuti jejak bangsa barat dalam hal merombak tata berpikir yang
tidak rasional dan menggantinya dengan tata berpikir yang rasional, inilah yang
mereka sebut Modernisasi namun sering disalah artikan sebagai westernisasi.[5]
Terkait dengan
fokus pembahasan dari tulisan ini, apa menariknya menghubungkan eksistensi
ketiga aliran dengan persoalan Bid’ah..?
Lantas adakah relevansi antara pergulatan pemikiran ketiga aliran dengan
masalah Bid’ah itu sendiri..? nah, justru dari pertanyaan-pertanyaan tersebut,
penulis menganggap penting dan menarik untuk mengkaji nalar ketiga golongan,
Islam Revivalist, Akomodatif dan Liberal. sebab meski ketiganya menolak praktek
Bid’ah dalam ajaran Islam namun interpretasi mereka terhadap teks agama yang
menjelaskan kedudukan bid’ah berbeda. Sehingga terdapat ragam model keberagamaan di masyarakat.
Satu hal yang
penulis akui bahwasanya membahas ragam model keberagamaan umat Islam di
Indonesia dewasa ini -terutama sekali kajian terhadap gesekan-gesekan ideologi-
dapat dibilang sudah tak semenarik dulu
lagi, seiring dengan semakin membuminya semangat toleransi dan paham
pluralisme. Perbedaan pandangan dan fanatisme sektarian yang dapat menggiring
ke arah disintegrasi element-element masyarakat dalam segala aspek hingga yang berakibat pada konfrontasi fisik
seperti yang pernah terjadi pada tahap awal era modernisme (1920-an) sudah tak
sedemikian panas lagi.
Namun demikian,
studi terhadap akar keberagamaan masyarakat yang beragam sangat diperlukan
untuk memahami perbedaan ideologi masing-masing golongan, apa penyebab
terjadinya perbedaan itu, dan dimanakah letak titik persamaannya, sehingga di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip Pluralisme yang menerima
keberagaman dan Humanisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dapat
dikawal dengan baik. Dan inilah tujuan sederhana yang menurut kami membuat
kajian terhadap perbedaan persepsi menyangkut Bid’ah ini menjadi cukup menarik.
A. Perumusan
masalah
Dengan
berdasarkan prolog di atas, ada beberapa hal yang menjadi rumusan masalah yang
hendak kami bahas di sini, terkait:
1. Apa
fenomena yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pandangan antara tiga aliran (Revivalist, Akomodatif dan Liberalis)
?
2. Apa
yang dimaksud dengan Bid’ah ?
3. Bagaimana
penjelasan Nash-Nash Syar’i tentang Bid’ah?
4. Bagaimana
esensi bid’ah dan batasan-batasannya menurut aliran Revivalist, Akomodatif dan
Liberalis?
B. Kerangka
Teori
Dalam setiap
studi ilmiah, selalu ada pendekatan yang dilakukan peneliti terhadap objek yang
hendak ditelitinya, hal itu penting untuk mengetahui seluk beluk objek secara
mendetail sebelum membangun sebuah kesimpulan. Sehingga hasil dari penelitian
tidak hanya berdasarkan hipotesa-hipotesa awal namun juga diperkuat oleh
bangunan data yang valid. Pendekatan semacam ini kemudian dikenal dengan
sebutan teori analisis.
Begitu pula
dengan kami yang akan mengkaji nalar tiga aliran besar islam di Indonesia dalam
memahami masalah bid’ah, tentu terlebih dahulu membutuhkan metode untuk dapat mendekati dan memahami kerangka
berpikir setiap golongan, dan metode yang penulis anggap pas adalah dengan
menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuan -yang sebagaimana dikatakan oleh
Peter Berger dan Thomas Luchmann- adalah sebuah cara menganalis suatu kenyataan
berdasarkan pada kenyataan-kenyataan yang hidup sehari-hari di masyarakat.
Kenyataan disini didefinisikan sebagai suatu kualitas yang dimiliki oleh
fenomena-fenomena nyata. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai pengakuan
bahwa setiap fenomena memiliki karakteristik yang spesifik. Sehingga di sini
terdapat relevansi antara kenyataan dan pengetahuan.[6]
Oleh sebab itu
tugas pokok dari sosiologi pengetahuan dalam kajian kami ini adalah menguraikan
fenomena-fenomena nyata yang melatar belakangi dasar pemikiran ketiga aliran
dan menekuni segala sesuatu yang dianggap pengetahuan oleh setiap aliran.
Adakalanya fenomena yang nampak dari perilaku mereka memiliki kesamaan karakter
yang lebih spesifik lagi. Yaitu kecenderungan psikologis yang sama terhadap
suatu objek, namun pergolakan antara emosional, latar sosial dan budaya beserta
kapasitas keilmuan menyebabkan ketiga golongan
berbeda haluan dalam menyikapi sesuatu. Begitu pula dalam menyikapi
hal-hal baru yang sangat berpotensi untuk mendapat label Bid’ah.
BAB II
PECINTA BUTA, PECINTA TERPELAJAR DAN
PECINTA KRITIS
Mengapa
sepenggal judul dari tulisan ini menggunakan redaksi “ Nalar Cinta” ? cukup
provokatif mungkin, namun sebenarnya saya terinspirasi dengan pendapat seorang
Farid Essack dalam bukunya “ The Qur’an, a short introduction”. Dimana
ia mengklasifikasikan umat islam di saat berinteraksi dengan Al-Qur’an ke dalam
tiga golongan. pertama, golongan pecinta buta. kedua, golongan
pecinta yang berpendidikan. Dan ketiga, golongan pecinta yang kritis. Essack
mengibaratkan teks Qur’an sebagai objek materi yang unik dan cantik sehingga
banyak orang tergila-gila dan jatuh hati padanya, namun dalam mengungkapkan
perasaan cintanya, jelas di antara satu pecinta dengan pecinta lainnya terdapat
perbedaan ekspresi.
Setelah
direnungi lebih dalam, memang cukup menarik ilustrasi “pecinta” yang digunakan
oleh Essack, bahkan kalau akan diperlebar lagi, sebenarnya bukan hanya terbatas
pada interaksi dengan Al-Qur’an, akan tetapi, di dalam menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan, mereka juga terbagi menjadi
tiga kelompok.
Kelompok yang
pertama, adalah para pecinta buta. dalam pandangan mereka, Islam ibarat kekasih
yang kehadiran dan keanggunannya dapat menerbangkan segala potensi, nalar dan
kesadaran. tubuh sang kekasih adalah simbol kesempurnaan dan bola matanya
menjadi pompa eksternal yang mengalirkan darah ke seluruh badan. jangankan
seekor lalat, setitik debupun tidak boleh mengotorinya, apalagi “tangan asing”
yang hendak menyentuhnya. perasaan cinta buta yang seperti ini terkadang tumbuh
dari kekaguman pertama kali, yaitu disaat pikiran mereka dihimpit rasa penat
dengan segala macam problem kehidupan dan dahaga spiritualnya merasakan haus
yang tidak terkira, dalam mimpi, sang kekasih datang menghampiri.
Dengan mengenakan kain sutera yang begitu indah, dan leher yang dibalut
kalung berlian, ia berikan senyuman dan segelas air dingin yang dapat
menghilangkan rasa haus mereka selama-lamanya. kehadiran sang kekasih saat itu
begitu membekas sehingga potret keanggunannya slalu tersimpan kuat dalam
memori. lantas ketika mereka terbangun, mereka menemukan sang kekasih -di
tempat yang berbeda- telah menanggalkan baju suteranya serta semua berliannya
dan hanya mengenakan pakaian yang sederhana, mereka merasa kecewa.
Pecinta buta
slalu akan merasa cemburu ketika melihat sang kekasih merasa nyaman
berinteraksi dengan lingkungan dan tradisi yang asing atau
berbicara dengan bahasa asing dan bergaul dengan orang asing. demi
menjaga kecantikan sang kekasih, dengan terdorong oleh rasa fanatisme dan
cintanya yang buta, mereka lebih menghendak sang kekasih tetap seperti
dulu, mengenakan busana dari kain sutera, berkalung berlian serta berbudaya
dengan budaya keluarga asalnya.
Kelompok yang
kedua, adalah para pecinta terpelajar. yaitu mereka yang ingin menjelaskan pada
dunia mengapa kekasihnya begitu mempesona dan memikat siapa saja. mereka
ingin mendapatkan pengakuan universal atas kecantikan kekasihnya, sehingga
mereka akan menjelaskan sedemikian rinci keindahan, keutamaaan dan
kemolekannya. tentunya dengan dalil-dalil yang logis dan empiris. Namun mereka
berbeda dengan kelompok pecinta buta. mereka tidak terjebak oleh
“kekaguman pertama kali”, dan tidak begitu silau dengan penampilan luar sang
kekasih. golongan ini mencoba untuk lebih mengenal kepribadian sang kekasih,
lingkungan tempat ia berada (kemarin, kini dan
esok) . Mereka juga berusaha memahami, watak, potensi, semangat,
pola pikir dan cita-cita sang kekasih.
Ketika mereka
merasakan kegerahan sang kekasih setelah sekian lama terkungkung dalam busana
suteranya, mereka menuruti kemauannya untuk menggunakan baju yang baru
meskipun itu pemberian orang asing. ketika mereka melihat sang kekasih
begitu bersemangat berinteraksi dengan budaya asing, mereka memberi ruang yang
sebebas-bebasnya. Mereka ikut bahagia di saat kekasihnya diterima semua
kalangan yang berbeda warna dan busana, dan mereka semakin bangga dengan
fleksibelitas sang kekasih.
Golongan yang
ketiga adalah para pecinta yang kritis, seperti dua golongan sebelumnya, mereka
juga terpikat dengan keindahan sang kekasih, dengan kecantikan dan kemolekan
tubuhnya, namun mereka memahami bahwa perasaan cinta itu subjektif, mereka
setia kepada sang kekasih namun kurang berminat untuk meng”kampanye”kan
perasaannya itu kepada orang lain, cukuplah keromantisan dirasakan oleh mereka
dengan sang kekasih saja, tidak penting orang lain mengetahuinya. Di sana ada
begitu banyak objek selain kekasihnya yang membuat orang tergila-gila dan jatuh cinta,
meskipun hati mereka berkata hanya kekasihnya saja yang tercantik dan
terindah.
Realitas
kehidupan yang begitu kompleks dan terus berkembang ini menyebabkan
objektifitas sikap para pecinta kritis menuntut sang kekasih untuk slalu
mengikuti perkembangan zaman.,berinteraksi dengan semua orang, agar
hubungan harmonis antara sang kekasih dengan para pecintanya dapat
terjaga.
Para pecinta
kritis tidak mau melihat kekasihnya semacam fosil yang tidak bernyawa,
atau bagaikan pahatan patung yang diabadikan, lalu dikagumi kemolekannya di
alam ide tanpa bisa memberikan konstribusi materialistis di alam nyata, mereka
tidak akan pernah rela bila sang kekasih
yang oleh banyak orang disebut “ the way of life” hanya memberikan
solusi berupa “obat bius” untuk memecahkan segala problem kemanusiaan di era
tekhnologi ini. Ketika semua orang kehausan, mereka tidak akan sudi bila sang
kekasih datang hanya dengan membawa “air laut”. gambaran ideal mereka
menghendaki sang kekasih tampil sebagai “problem solving” ditengah arus
globalisasi ini.
Namun demikian,
apresiasi cinta golongan ketiga ini bukanlah tanpa celah untuk dikritisi ketika
mereka tak mampu menyeimbangkan antara sikap subjektifnya sebagai seorang
pecinta dan sikap objektifnya sebagai seorang yang kritis. Dampaknya, mereka
sering menundukkan cita-cita sang kekasih yang bersifat primer dibawah
keinginan mereka yang bersifat sekunder. semisal, hanya karena ingin sang
kekasih tak terlihat fundamentalis, mereka sering memaksanya mengenakan busana
“vulgar” dan bergaya hidup seperti gaya para wanita lainnya, padahal semua itu
tidak disukainya.. Ironis memang, karena sikap eksploitatif ini menunjukkan
ketidak dewasaan mereka.
BAB III
RAGAM PERSEPSI MENGENAI BID’AH
A. Bid’ah
Dalam Teks Agama
Dalam kaitannya
dengan Bid’ah, jelas perbedaan ekspresi cinta ketiga golongan umat Islam ini
mempengaruhi daya nalar dan sikap mereka terhadap Bid’ah. ada yang
menganggap segala amalan baru sebagai hal yang tercela, ada pula yang selektif
dengan memilah dan memilih dan ada pula yang terkesan acuh tak acuh. Kaum
revivalist yang fanatik dalam beragama mewakili golongan yang pertama. Kubu
Islam akomodatif termasuk ke dalam yang golongan kedua sedang komunitas Islam
liberal yang memiliki karakter kritis dalam setiap pemikirannya mewakili
golongan yang terakhir.
Ada banyak
sekali dalil tekstual yang menerangkan Bid’ah dan konsekwensinya, kesemuanya
mengacu pada hadist Nabi Saw yang bertebaran di berbagai kitab Hadits. Beberapa
diantaranya akan kami sebutkan berikut ini:
- (فإن خير الحديث كتاب
الله وخير الهدى هدى محمد {صلى الله عليه وسلم} وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة
ضلالة)
“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan
adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, sedang
perkara yang paling buruk adalah segala perbuatan baru, dan setiap bid’ah
pastilah sesat” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim[7]).
- (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد - الحديث-)
“Barang siapa yang memperbaharui urusan
kami ini (agama) dengan (mencampurkan)
sesuatu yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak” (Hadits
diriwayatkan oleh Abi Daud[8])
Pada tataran
semantik, Ketiga golongan (revivalist, akomodatif dan liberalis) sama-sama
menangkap kesatuan makna denotatif dari kedua hadits di atas, akan tetapi
mereka berbeda pandangan dalam menginterpretasikannya sehingga pesan teks
yang diserap juga berbeda.
B. Bid’ah
Menurut Aliran Islam Revivalist
Aliran rervivalist
juga dikenal dengan julukan kelompok literalis. Hal itu dikarenakan rasa
fanatikya yang begitu dalam terhadap pemahaman tekstual (yang tersurat dalam
al-Qur’an dan Hadits) sehingga mendorong mereka untuk meyakini bahwasanya Teks
adalah wadah / takaran / standard bagi setiap persoalan umat yang terus
berkembang. Menurut mereka, doktrin yang mereka produksi dari
teks sudah bersifat “taken for granted” alias tidak boleh
diutak-atik dan diganggu gugat. Bagi mereka, pemahaman keberagaamaan mereka adalah
representasi dari pemahaman Tuhan karena murni Berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan Hadits. tak ayal lagi, segala amalan yang bersebarangan dengan ajaran
mereka adalah bid’ah bahkan sampai syirik, karena yang jelas amalan itu tidak
disinggung secara eksplisit oleh al-Qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Saw. Sedangkan orang-orang yang menjalankan amalan itu mereka anggap
sebagai ahli bid’ah, kafir atau bahkan musyrik yang halal darahnya.
Ketika ada orang
bertanya kepada mereka: “bilamana semua yang tidak ada pada zaman
Rasul Saw, kalian hukumi Bid’ah, lantas bagaimana dengan sarana transportasi
seperti mobil, kereta, pesawat terbang?” mereka akan balik bertanya:
“bukankah Rasul Saw telah berpesan agar kalau urusan agama, dikembalikan
kepadanya, sedangkan urusan dunia, kita yang lebih tahu, lantas apakah anda
kira tekhnologi adalah bagian dari agama?” ya, memang terlihat konyol
pertanyaan tersebut, karena bid’ah menurut kaum revivalist bukan segala sesuatu
yang baru, namun segala pembaharuan yang berkaitan dengan urusan agama seperti
Ibadah, Muamalah, Siyasah termasuk budaya, paham dan kepercayaan yang tak ada
di zaman Nabi saw.
Dari kalangan
Islam revivalist, muncul beberapa pergerakan radikal, hal ini dikarenakan
perasaan cinta mereka terhadap agama yang begitu dalam tidak dibarengi dengan
pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga sifat cemburu, curiga dan egois
adalah ciri khas kaum revivalist radikal ini. mereka cemburu ketika ada
“pernikahan” antar agama dengan budaya yang beragam, sehingga memberikan
stempel bid’ah bukan pekerjaan sulit ketika mereka menganggap pengamalan
budaya setempat telah mengkaburkan ajaran agama yang asli. demikian pula disaat
ada gerakan pemikiran yang inovatif,
lagi-lagi stempel bid’ah bukan harga mahal bagi mereka.
Namun demikian
bila kita membaca pola beragama masyarakat Indonesia saat ini, dapat dipastikan
kelompok radikal hanyalah sebagian kecil dari golongan Islam Revivalist,
sebagian besar dari mereka justru bisa bersikap santun, teguh pendirian, dan
taat mengamalkan norma-norma agama. mereka pintar beradaptasi dengan lingkungan
tempat mereka berada, bergaul dengan baik dan tak sedikit pula yang memegang
peranan penting di masyarakat. Meski tegas dalam menjalankan prinsip dan suka
mempelihatkan atribut agama, Mereka jauh dari kesan radikal, dua hal yang
kontraditif memang, namun demikianlah sentimen publik saat ini, bahkan mereka yang sering diperlakukan tidak
adil oleh pandangan umum di masyarakat ketika mereka terlihat menggunakan
atribut kebanggaannya. Lirikan dengan kesan penghinaan atau bahkan tuduhan
“teroris” yang tidak mendasar merupakan sebuah noda hitam yang mengotori semangat pluralisme di negeri ini.
C. Bid’ah
Menurut Aliran Islam Akomodatif
Bagi golongan
ini , Islam yang mereka cintai bersifat dinamis dan fleksibel (shalih likuli
zaman wa makan). agama adalah “isi” yang bersumber dari teks (al-Qur’an dan
al-Hadits) akan tetapi dalam mengaplikasikannya, agama membutuhkan keberagaman
konteks (lokaliltas budaya dan potensi lingkungan) sebagai wadahnya. Hal yang
sedemikian itulah yang disebut sebagai akulturasi.[9]
Ekspresi cinta
aliran Islam akomodatif terhadap agamanya tercermin dalam tiga prinsip dasar
yang mereka pegang teguh: tawazun (pertimbangan) tasamuh
(toleransi) dan I’tidal (objektif). oleh sebab itu, di dalam mengkaji
setiap persoalan, mereka slalu menggunakan penalaran (dirayah) atas
essensi yang sebenarnya untuk dibahas dalam bingkai wawasan keislaman.
contohnya ketika menyikapi amalan-amalan baru yang oleh golongan pecinta
buta atau kelompok Revivali st telah di “labeli” Bid’ah, mereka tidak
serta-merta ikut menjustifikasi sebelum mengkajinya terlebih dahulu, mereka berusaha menemukan hal-hal yang
substantif dalam amalan tersebut kemudian mencoba mencari rujukan pada
Al-Qur’an dan Hadits. Jika substansi amalan itu punya landasan yang kuat, maka
dalam konteks yurisprudensi Islam, hal itu bukanlah bid’ah, namun
jika tidak mereka temukan suatu dalil yang kuat, maka amalan Itu tertolak alias
bid’ah, atau bila mengacu pada pemahaman leterladge dari kata bid’ah yang
secara mutlak mengacu pada segala macam pembaharuan, mereka membedakan antara
pembahauran yang membawa maslahat dan yang membawa mudhara’ menurut takaran
Syariat.[10]
Golongan ini
memahami perbedaan antara normativitas agama dan historisitasnya, mereka juga
membedakan antara ibadah Muqayyadah yaitu ibadah yang
prakteknya baik isi, cara dan waktu pelaksanaannya telah diatur oleh Shahib
as-syari’ah ( Allah Swt dan Rasulullah Saw) dengan ibadah Mutlaqah yaitu
ibadah yang isinya bersumber dari Shabib as-Syari’ah, akan tetapi
cara dan waktu pelaksanaannya (kemasannya) tidak ditentukan. Sehingga kita
bebas mengamalkannya dengan cara masing-masing. Contoh ibadah yang pertama
adalah melaksanakan Shalat sedangkan contoh ibadah yang kedua adalah berbakti
kepada orang tua. Bagaimana cara kita berbakti? tentu tergantung kemasan
konteks yang berbeda-beda bukan!?
Menurut sebagian
dari mereka, fenomena-fenomena seperti acara tahlilan, ziarah kubur dan
pembacaan shalawat ad-Diba’i, al-Habsyi, Barzanji atau Burdah al-Bushiri yang
sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat dengan bentuk yang seperti
sekarang ini, memang tidak pernah ada di zaman Nabi, akan tetapi substansinya
mendapat legitimasi dari beliau, sehingga semua itu bisa dikategorikan sebagai
ibadah mutlaqah. tahlil misalnya, isinya tidak ada yang menyimpang dari syariat
mulai dari pembacaan istighfar, tahmid hingga tahlil, bahkan semua amalan itu
adalah anjuran Nabi Saw. Masalah memberi makan para jama’ah, kalau diniyati
shodaqoh yang pahalanya untuk si mayyit, agama tidak melarangnya. lalu dengan masalah 7 hari, 40 hari, haul
dll? nah, disini mereka membedakan antara kultur dan ajaran agama,
antara kacang dan isi memang tidak bisa dipisahkan, keduanya satu paket, tapi
harus dipilah saat hendak dimakan.
Kategorisasi ibadah
mutlaqah dan muqayyadah yang dibawa oleh Islam akomodatif ini
bukanlah tanpa hujatan dari kaum revivalist, hanya saja aliran Islam akomodatif
beralasan bila contoh-contoh ibadah mutlaqah dikatakan bid’ah, lantas bagaimana
hukum membaca mushaf al-Qur’an? bagaimana hukum Shalat Tarawih berjamaah? Adzan
dua kali ketika di saat pelaksanaan Shalat Jum’at? dan membaca syi’ir shalawat
para Shahabat Nabi?
Beranikah aliran
revivalist menklaim Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan shahabat lainnya sebagai
ahli Bid’ah? sedangkan Rasul Saw sendiri telah mengakui kapasitas mereka dalam
berijtihad sebagaimana sabdanya:
أصحابي
كالنجوم بأيهم إقتديتم إهتديتم
“para shahabatku laksana
bintang-bintang..kepada siapapun kalian meminta petunjuk, kalian akan
mendapatkannya.”
Ada juga dari
kalangan Islam akomodatif yang membagi Bid’ah menjadi Dua: 1) Hasanah. 2)
Sayyia’h . seperti telah disinggung sebelumnya, pengklasifikasian semacam ini berdasarkan
pada makna Bid’ah secara leksikal yaitu memperbaharui sesuatu yang belum pernah
ada sebelumnya. Alasan yang dikemukakan oleh mereka adalah perkataan sayyidina
umar tentang hukum tarawikh berjamaah, yaitu:
نعمة
البدعة هذه
“Paling nikmatnya bid’ah adalah
hal ini (tarawikh berjama’ah)”.
Lantas bagaimana
dengan redaksi hadits (كل بدعة ضلالة)
yang mengindikasikan kesesatan segala bentuk Bid’ah secara mutlak? mereka
beranggapan bahwa lafadz كل
dalam hadits di atas adalah lafadz umum yang keumuman jangkauannya telah
dibatasi.[11]
karena jika tidak demikian, maka ruang gerak umat Islam akan sedemikian sempit
dan akan mendatangkan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan mereka, sedang
agama datang bukan sebagai pengekang akan tetapi untuk memberi kemudahan.
hal ini sesuai dengan sabda Rasul Saw:
يسرو
ولا تعسروا
“Permudahlah, jangan kau
persulit…”
Lantas bila
lafadz (كل) di atas dibatasi keumumannya, apa yang
menjadi Mukhassis/ sesuatu yang mengkhususkan? jawabannya adalah
akal. Sebagian dari aliran akomodatif menganalogikan kasus dalam hadits dengan
kasus dalam ayat:
وكان
وراءهم ملك يأخذ كل سفينة غصبا
Akal dapat
memberlakukan kata (كل) dalam ayat di atas
sebagai shighat ‘am yang berlaku khusus. sebab bila berlaku umum maka
maknanya akan mencakup seluruh perahu baik yang bagus maupun yang rusak. bila
begitu, apa gunanya Nabi Khidir melubangi perahu yang bagus!? Sedang para bajak laut juga akan mengambil
perahu yang rusak.[12]
D. Bid’ah
Menurut Aliran Islam Liberal
Bila kita
membicarakan masalah bid’ah dalam pandangan Islam Liberal mungkin informasi
yang akan didapat tak sebanyak yang kita peroleh dari dua golongan sebelumnya
(Revivalist dan Akomodatif), mengapa? Karena memang kecenderungan arah
perjuangan mereka berbeda. Mereka lebih suka mendiskusikan isu-isu seputar
feminisme, teologi inklusifisme, hak asasi manusia dan isu global lainnya
sehingga persoalan tentang Bid’ah atau masalah Furu’I lainnya tidak sedemikian
penting untuk mereka kaji. Namun demikian, bukan berarti mereka mengesampingkan
begitu saja masalah yang slalu di daur ulang oleh kedua golongan sebelumnya
ini, sikap normatif dari Komunitas Islam liberal juga sama dengan sikap Islam
Revivalist dan akomodatif hanya saja dalam menentukan Bid’ah atau tidaknya
suatu perbuatan, Islam Liberal berbeda dengan golongan yang pertama, mereka
kurang suka hanya bertumpu pada teks. mereka juga kurang tertarik mendialogkan
teks dengan teks atau dengan penghayatan keagamaan para ulama salaf seperi
kecenderungan golongan kedua. Sebaliknya mereka justru lebih suka mendialogkan
antara teks dengan realita yang terus berkembang. Dalam hal ini akal budi
menjadi Hakimnya. Apa yang menurutnya akan membawa kemashlahatan umum itu
bukanlah bid’ah sedang yang menimbulkan kemudharatan, adalah Bid’ah. Pemahaman
non-literal inilah yang oleh Komaruddin Hidayat disebut sebagai Kontekstualisasi
Ajaran Islam.[13]
BAB IV
KESIMPULAN
Andai kita
pertemukan ketiga golongan antara pecinta buta, pecinta terpelajar dan pecinta
kritis dalam satu forum diskusi tentang bid’ah, mungkin, kelompok yang terakhir
hanya akan menjadi penonton setia. menyimak perdebatan seru antara dua
saudaranya sambil sesekali tersenyum geli mengamati pola pikir si pecinta buta,
ia sedikit terusik dengan kata-kata “kafir”
dan “bid’ah” yang begitu mudah
terlontar dari lisan si pecinta buta. Tapi pecinta kritis tidak bergeming,
sebab dirinya merasa capek berdiskusi tentang tema Bid’ah, ia merasa sudah ada
pecinta berpengalaman yang lebih bersemangat membahas masalah ini.
Pengandaian
diatas bukan untuk menyudutkan salah satu pihak, karena semua itu bermula dari
kejadian nyata. seorang sahabat - yang menurut saya merupakan representasi dari
golongan pecinta kritis- suatu saat pernah saya tanyakan pendapatnya
tentang Bid’ah, mungkin dia tidak menyadari bahwa pertanyaan tersebut merupakan
pancingan saya untuk mengetahui pola berpikirnya. Menurutnya bila bid’ah
dimaknai sebagai bentuk akulturasi ataupun modernisasi yang membawa
kemaslahatan bagi umat maka hukumnya wajib. kaget dengan pernyataan itu, saya
ajukan beberapa dalil tekstual, namun dia malah mengemukakan satu kaedah fiqh :
al-ashlu fil ‘ibadati al-hurmatu illa ma dalla ad-dalilu ‘ala hillihi,
wal-ashlu fi al-mu’amalati al-hillu illa ma dalla ad-dalilu ‘ala hurmatihi.
yang artinya; asal mula hukum dalam beribadah adalah haram kecuali ada dalil
yang membolehkannya, sedangkan asal mula hukum dalam bermu’amalah adalah halal
kecuali ada dalil yang mengharamkannya,
lalu dia mengutip penggalan hadits yang berbunyi “ma raahu
al-muslimuna hasanan fahua ‘indallahi hasanun”yang artinya: “apa yang oleh
umat isam dipandang bagus, maka bagus pula menurut Allah SWT”
Kemudian dia
melanjutkan perkataannya “ saya tadi mengatakan jika Bid’ah dimaknai
sebagai akulturasi atau modernisasi yang membawa mashlahat, maka wajib
hukumnya… bukankah begitu!? Akulturasi
adalah bagian dari interaksi sosial, modernisasi adalah sebuah
keniscayaan. Jika keduanya membawa kemashlahatan, semua orang akan menganggap
baik, dan tuhan pun akan memandang baik. Oleh sebab itu, apa alasan anda
menyalahkan pendapat saya?
Diam-diam saya
mengagumi nalar pemikirannya namun karena terdesak oleh rasa malu, saya terus
bertanya “Apakah anda mengingkari hadits Nabi tentang bid’ah, apakah anda
mengingkari kebenaran Nabi??”
“ jangan tergesa-gesa menuduh, saya yakin
setiap pribadi Muslim cinta akan Nabinya, cinta kepada al-Qur’an, Sunnah, dan
para pejuang Islam. Begitu pula saya, anda dan juga mereka, namun jangan
paksakan penafsiran anda terhadap agama kepada orang lain. biarkan setiap orang
mengekspresikan perasaan cintanya dengan caranya masing-masing” jawabnya dengan nada santai, namun terkesan
hendak mengakhiri diskusi.
Ya, benar juga
apa yang dikatakan seorang sahabat di atas, selagi tidak ada tindakan radikal
yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, selagi tidak ada perbuatan yang
mengusik ketenangan manusia lain, biarlah kaum revivalist, akomodatif dan
liberalis berislam sesuai dengan penafsiran mereka masing-masing, toh,
penafsiran mereka yang berbeda-beda tetap berpangkal pada satu dasar pemikiran
yang sama yaitu kecintaan yang tulus kepada agama. Akhirnya, satu hal yang
perlu kita sadari bersama jika paham pluralisme yang dibumikan di negeri kita
ini adalah untuk memahami bahwa perbedaan pandangan adalah sunnatullah, sedang
menghargainya adalah salah satu bukti bahwa kita telah benar-benar memahami
pluralitas itu sendiri. Tanpa tebang pilih dan tanpa pandang bulu.
DAFTAR
PUSTAKA
- al-Ghazaly, Muhammad. Musykilatun fi Thariq al-Hayat al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Bashir.
- Alwy al-Maliki, Muhammad Bin, as-Sayyid. Mafahim yajib an tushahhah. Makkah: Maktabah al-Mukarramah
- Berger, Peter L dan Luchmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.
Jakarta: LP3ES
- El-Abdu Lillah Abdullah. 1412 H. Sullam Munawraq fi Ilmi al-Manthiq.
Pasuruan: Pustaka Sidogiri
- Essack, Farid . The Qur’an, A short Introduction.
- Hidayat, Komaruddin. 2003. Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina.
- Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Al-Jami’ baina as-Shahihain, Bukhari wa
Muslim. Maktabah Syamilah
- Imam Abi Daud.
Sunan Abu Daud. Maktabah Syamilah.
- Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan; Membangun
Visi dan Tradisi Baru Islam. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
- Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Yogyakarta: PT. Mizan Pustaka.
- Qodir, Zuly. 2010. Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.
-.Shofan, Moh. 2011. Plularisme Menyelamatkan Agama-Agama. Yogyakarta: Samudera Biru.
[1] Tulisan ini disusun dalam rangka mengikuti
Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) yang diadakan oleh panitia milad HMI Cabang
Yogyakarta yang ke 65 di Gedung Pusat Kebudayaan Lafran Pane
[2] Penulis adalah Kader Himpunan Mahasiswa Islam
Komisariat Adab semester 5 yang konsen menggeluti pemikiran -pemikiran Islam kontemporer
terutama pada kajian bidang Teologi Islam, Linguistik Arab, Sejarah dan Budaya
Islam, Hukum Islam, Fiqh dan Ushul Fiqh
[6] Peter L. Berger dan Thomas Luchmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 21-22
[13] Dr. Zuly Qodir, Islam
Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, hlm 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar