Jumat, 30 Maret 2012

Bab I
Pendahuluan
Dengan limpahan kenikmatan dari Sang Esa yang tak mengharap imbalan atas rohmat tersebut, sholawat serta salam semoga selalu terhaturkan pada junjungan kita Nabi yang menjadi rajanya para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga kita tetap menjadi ummatnya yang setia dan selalu mencintai beliau, karena hanya beliulah satu-satunya Nabi yang memberikan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Surat An Nisaa' yang terdiri dari 176 ayat itu, adalah surat Madaniyyah yang terpanjang dalam al-qur’an sesudah surat Al Baqarah. Dinamakan An Nisaa' karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surat-surat yang lain. Surat yang lain yang banyak juga membicarakan tentang wanita adalah surat At Thalaq.
Dalam hubungan ini biasa disebut surat An Nisaa' dengan sebutan: Surat An Nisaa' Al Kubraa (surat An Nisaa' yang besar), sedang surat Ath Thalaq disebut dengan sebutan: Surat An Nisaa' Ash Shughraa (surat an Nisaa' yang kecil).

Pokok-pokok isinya, ialah:

1. Keimanan:
Syirik (dosa yang paling besar); akibat kekafiran di hari kemudian.

2. Hukum-hukum:

Kewajiban para washi dan para wali; hukum poligami; mas kawin; memakan harta anak yatim dan orang-orang yang tak dapat mengurus hartanya; pokok-pokok hukum warisan; perbuatan-perbuatan keji dan hukumannya, wanita-wanita yang haram dikawini; hukum-hukum mengawini budak wanita; larangan memakan harta secara bathil; hukum syiqaq dan nusyuq; kesucian lahir batin dalam sembahyang; hukum suaka; hukum membunuh seorang Islam; shalat khauf; larangan melontarkan ucapan-ucapan buruk; masalah pusaka kalalah.


3. Kisah-kisah:
Kisah-kisah tentang Nabi Musa A.S. dan pengikut-pengikutnya.

4. Dan lain-lain

Asal manusia adalah satu; keharusan menjauhi adat-adat zaman jahiliyah dalam perlakuan terhadap wanita; norma-norma bergaul dengan isteri; hak seseorang sesuai dengan kewajibannya; perlakuan ahli kitab terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepadanya; dasar-dasar pemerintahan; cara mengadili perkara; keharusan siap-siaga terhadap musuh; sikap-sikap orang munafik dalam menghadapi peperangan; berperang di jalan Alllah adalah kewajiban tiap-tiap mukallaf; norma dan adab dalam peperangan; cara menghadapi orang-orang munafik;dan juga derajat orang-orang mu’min yang berjihad dalam menegakkan agama Allah.

Bab II
Pembahasan


“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.s.An Nisa’ ayat 58).
Dalam ayat ini yang dibahas adalah masalah pemerintahan, yang menjadi titik tekan dalam ayat ini adalah masalah amanat yang diberikan atau yang diemban para pemimpin sangatlah berat, dengan memikul amanat rakyat semoga para pemimpin yang memimpin suatu kaum atau negara bisa menjalankan amanat dengan baik yang notabenya adalah mensejahterakan rakyat. Dan menyampaikan hak baik berupa shodaqoh, kebijakan, zakat, dan lain-lain yang tak bias kami sebutkan satu persatu, semua amanat itu harus sampai pada rakyat. Contoh kecil dalam Negara Indonesia adalah apabila pemerintah memberikan bantuan kepada masyarkat hendaklah secara menyeluruh, jangan hanya yang kenal-kenal aja di kasih bantuan, tapi cobalah kroscek ke masyarakat bawah yang notabenya sangat membutuhkan bantuan tersebut, karena banyak masyrakat yang membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Yang paling aneh dalam Negara kita ini banyak penyelewengan hak-hak rakyat yang tak sampai pada masyarakat kecil, ada sih yang sampai itu pun sangant jauah dari setandar, bahkan banyak juga yang kurang dari bajat anggaran yang telah ditentukan di pemerintahan pusat. Apakah hal seperti ini dinamakan menyampaikan amanat, tentu tidak kan terus bagaimana kita mencari solusi pada masa sekarang ini yang banyak maling uang rakyat(korupsi) yang terjadi dimana-mana di tingkat daerah lah seperti di desa sudah banyak uang rakyat yang tak tersalurkan dengan jujur dan terang-terangan, terus menuju ke tinggat kabupaten sekarang juga marak bupati-bupati yang menjadi terdakwa korupsi, merembet ke tingkat propinsi lebih banyak lagi gubernur kita yang janji-janjinya saat mencalonkan ingin memberantas korupsi, tapi kenyataan yang ada dia malah menjadi koruptor paling awal sendiri ini sangat tidak sesuai dengan kenyataan, malah sekarang yang marak korupsi di tingkat atas seperti kementrian, DPR, MPR, bahkan sekarang yang paling marak adalah para hakim-hakim tripikor yang tersandang kong-kalikong dengan para koruptor, tak lama juga kita telah menyaksikan pembebasan pada seorang walikota yang telah terbukti bersalah, e…. ternyata malah dibebaskan begitu saja, setelah diselidiki ternyata sang hakim tersebut pernah menjadi terdakwa korupsi juga.
Kita juga sering mendengar berita bahwa KPK akan dibubarkan oleh DPR, apakah hal yang seperti ini tidak menyinggung dan merugikan rakyat, tim pemberantas korupsi mau di bubarkan e….malah yang membubarkan adalah DPR yang banyak tersandang korupsi. Mungkin dia takut dengan KPK karena kejahatanya akan segera terunggap. Malaysia bisa menjadi yang berhasil dalam kepemimpinannya karena KPK sudah semenjak tahun 1960 didirikan, yang bisa mengontrol pemerintahan disana, sedangkan Indonesia berdiri baru beberapa tahun belakangan ini sekitar 2005-2006, masak mau di bubarkan ya konyol sekali jika dirasa, bener ndak?
Cobalah kita merujuk pada Negara Cina walaupun dia Negara komunis tapi korupsi tidak ada disana, karena korupsi di cina hukumanya adalah mati, maka pejabat disana menjadi ketakutan jika harus korupsi, di korea ada cerita yang menurut kami sangat lah terkesan dan harusnya patutu dicontoh oleh pejabat Indonesia, seorang Perdanamentri korea dia rela bunuh diri, dan menyerahkan anak,istri dan seluruh harta bendanta ke bihara hanya karena dikabarkan dimedia dia diisukan korupsi yang korupsinya hanya 10 juta saja, bayangkan hanya sepuluh juta beliau rela bunu diri demi mempertahankan kehormatanya di mata publik dan rakyatnya, sekarang apakah ada para pejabat-pejabat kita yang duduk dalam singgasana wakil rakyat melakukan seperti itu, tidak aka ada yang berani karena mental-mental pejabat kita adalah mental pengecut. Malah berita akhir-akhir ini adalah soal terpidana korupsi mendapan remisi dari presiden kita yang kita bangga-banggakan saat ini. Tapi, kita tidak boleh pesimis, mungkin saja beliau mempunyai tarjet sendiri meremisi orang-orang yang terpidana korupsi.
Terus titik tekan yang kedua dari ayat ini adalah tentang berlaku adil dalam menjalankan hokum yang ada. Memberikan hokum yang adil pada masa sekarang ini sangatlah langka, para pemimpin kita kadang memberikan hokum pada rakyat yang belum dia kenal sangat berbeda sekali dengan seorang yang pernah dia kenal dinegara Indonesia ini, tak tau untuk Negara selain Indonesia. Contoh aja pada masa sekarang ini seorang yang mencuri ayam dan seorang anggota parlemen yang mencuri uang rakyat ber milyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun sangat jauh berbeda, kita tengok seorang maling ayam bisa dihukum selam 7 sampai 10 tahun dan waktu pertama kali masuk tahanan semua badanya babak belur karena dipukuli oleh para polisi dengan beberapa alas an agar bisa menghajar pencuri tersebut, lain halnya dengan koruptor atau seorang yang terbukti bersalah dengan harta yang banyak, maka malah-malah orang terbut bisa bebas berkeliaran di mana-mana, tanpa dikenai hokum apapun, ini sebenranya yang slah siapa hokum yang berlaku di Negara kita ini atau pelaku hokum tersebut.
Memang kita tidak bisa pungkiri bahwa hukum yang diterapkan di Negara kita ini adalah hukum warisa belanda sejak berabat-abat tahun yang lalu yang menyatakan bahwa fungsi dari hukum tersebut adalah salah satunya sebagai pemainan atas materi atau uang (game material), bahkan sekarang Belanda sendiri telah membuat hukum yang baru, yang telah berlaku di belanda, apakah indonesia tak mampu mempuat aturan hukum sendiri yang notabenya banyak ummat islam yang ada dan bahkan menjadi mayoritas terbesar sedunia.
Setiap manusia harus merasakan kesejahteraan, keadilan dan juga kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya, setiap pemimpin harus menyalurkan amanatnya pada yang berhak, dalam artian luas lurah, camat, bupati, gubernur. Apalagi presiden itu adalah para pemimpin kita yang diberi amanat oleh Allah agar disampaikan kepada kita.
Dalam arti yg lebih luas kemerdekaan itu amanah yg diberikan Allah sebagai karunia-Nya kepada segenap manusia adalah individu sebagai warga negara RI. Karena itu adalah menjadi kewajiban untuk memelihara kemerdekaan ini degan cara sebaik-baiknya. Dengan demikian inilah makna kita pandai menyukuri ni’mat dari Allah dalam bentuk kemerdekaan. Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 disebutkan, yang terjemahnya kurang lebih begini :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan “Jika kamu bersyukur Aku akan memberi tambahan kepadamu; tetapi jika kamu tidak bersyukur sungguh adzab-Ku dasyat sekali”
Maksud ayat diatas memerintahkan manusia agar pandai menyukuri ni’mat Allah; antara lain nikmat kemerdekaan. Artinya mensyukuri ni’mat disini bukan hanya mengucapkan lafadh ‘alhamdulillah‘ seperti biasa diucapkan tapi harus menggunakan ni’mat itu sesuai perintah-Nya. Kemerdekaan harus digunakan utk meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia baik spirritual maupun material.
Sebagai disebutkan dalam ayat tadi arti kufur nikmat dapat dipahami; orang yg mendapat karunia Allah tapi menggunakan ni’mat itu tidak sesuai degan jalan yg diperintahkan-Nya. Dengan kata lain telah menyimpang dari ajaran Allah SWT atau menyalahgunakan nikmat.



”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”( Q.S. An-Nisa’ ayat 59)

Titik tekan pada ayat ini adalah masalah Taat(patuh) dalam artian mematuhi peraturan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kita, untuk melaksanakan kepatuhan tersebut kita harus menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, dan juga patuh kepada Rosullah yang sudah di cantumkan dalam Al-Qur’an dah Hadist. Dasar hokum yang ada pada kehidupan kita semua tak lepas dari itu semua, dan sumber dari segala hokum adalah keduanya. Dan bila dalam keduanya tidak ada hukumnya maka ada yang namanya ijma’ dan Qiyas. Ijma’ sendiri adalah mufakatnya para ulama pada masa-masa tertentu, yang menyelidiki tentang hokum-hukum yang belum ditemukan pada zaman Rosullah. Begitu pula dengan Qiyas yaitu mengkiaskan hokum yang ada pada Al-Qur’an dan Hadist yang sekiranya hokum tersebut menyerupai suatu masalah-masalah tertentu pada masa-masa setelah Rosullah.
Pada zaman Rosullah saat ummatnya kesulitan dalam memutuskan hukum, maka mereka langsung bertanya pada Rosullah yang disebut dengan Hadist, yang pada dasarnya keputusan(hukum) tersebut bersumber dari Allah langsung. Tapi pada masa sekarang siapa yang pantas menjadi rujukan, ulama atau presiden?.....tentu saja ulama kan karena Rosullah pernah bersabda yang artinya kurang lebih seperti ini “ulama adalah pewaris para nabi.” Bukan dari harta kekayaan yang di warisi tapi dari ilmu pengetahuanya.
Yang selanjutnya adalah menaati ulil amri atau pemimpin, memang dalam setiap Negara mempunya pemimpin masing-masing. Tapi yang menjadi kebingungan kami adalah ulil mari yang dimaksud disini benar pemimpin Negara atau kah ulama yang sebagai pewaris para nabi tersebut?
“Wahai orang-orang yg beriman taatlah kamu kepada Allah” yaitu menjalankan perintah Allah yg telah diwahyukan-Nya melalui Al-qur’an. “Taatlah pula kepada Rosulullah saw yg telah membimbing kita melalui ajaran-ajaranya” yg disebut sunah Rosulullah adl yg merupakan penjelasan terhadap Al-Qur’an. “Dan kepada orang-orang yg berwenang di antara kamu” artinya umat Islam wajib taat kepada kalangan kita yg kebetulan memegang otoritas baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang lain.
Tetapi prinsip ketaatan dalam Islam ini bersifat tanpa reserve. Artinya pemimpin itu harus ditaati hanya selama dia menjalankan perintah Allah. Kalau dalam menjalankan kekuasaanya tidak cocok degan perintah Allah dan Rosul-Nya tidak ada keharusan untuk taat kepadanya. Dalam haditsnya Rasulullah bersabda “Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal-hal yamg ma’ruf “.
Kalau kita diminta baik langsung ataupun tidak langsung untuk bersikap taat dalam hal-hal yg munkarat maka tidak harus menaatinya. Bahkan wajib melawanya sebagai bukti penentangan.
Kecuali hal di atas tugas umat Islam sangat penting adalah mengentaskan kemiskinan terutama dikalangan umat Islam sendiri. Ajaran Islam telah menawarkan berbagai konsep pengentasan kemiskinan dan konsep itu saya namakan lembaga-lembaga sosial Islam. Yang sudah dikenal adalah zakat infaq shodaqoh wakaf wasiat qurban dan aqiqah. Semua lembaga itu mengajarkan agar seluruh umat Islam berperan serta mengentaskan kemiskinan Salah satu pesan Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19 yang terjemahnya kurang lebih sebagai berikut :
“Dan dalam harta mereka akan hak yg meminta dan yg tak mau meminta”.
Jadi inilah yg dimaksud Zakat. Zakat sebenarnya adalah hak bagi orang miskin. Kemudian infaq dan shodaqoh dan sebagainya adalah merupakan hal yg sangat dianjurkan. Itulah beberapa hal yg perlu diperhatikan sebagi perwujudan sikap syukur kepada Allah yg telah menganugerahkan ni’mat yg tiada ternilai harganya utk umat Islam Indonesia yaitu kemerdekaan.




“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”(Q.S. An-Nisa’ ayat 60)

Dalam ayat ini diterngkan beberapa orang munafik yang mengaku beriman padahal dia tidak beriman, mengaku dirinya menjalankan perintah dari Allah, tapi padhal dia mengingkari perintah tersebut, mengaku dia menjauhi segala larangan tapi secara hakikat dia menjalankan larangan tersebut, begitu pula pada pemimpin-pemimpin kita pada masa sekarang, yang mengaku-ngaku memperjuangkan hak rakyat, tapi kenyataan yang ada dia memeras keringat rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri.
Banyak kasus-kasus dalam Negara kita ini, para pemimpin dengan janji-janjinya yang menggiurkan hati masyarakat, dengan omongan-omongan yang memperjuangkan rakyat, tapi hakikatnya dia menjajah rakyat dengan cara yang halus sehingga tanpa sadar hak-hak rakyat telah diperjual belikan dan di injak-injak.


Bab III
Kata kunci
Kata kunci yang pertama dan yang paling ditekankan adalah masalah hokum. Kata hukum, dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab al-hukmu yang kemudian diberi pengertian :

a) Peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah atau adat) yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat.
b) keputusan yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan).
c) Undang-undang, peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.

Dalam bahsa Arab, kata ini berasal dari akar kata (ha-ka-ma). Dalam mu’jam berarti melarang dengan suatu larangan dengan maksud perbaikan (islah). Kalimat al-hukmu bi al-syai’Iberarti mengadili atau memutusi bahwa sesuatu benar demikian adanya atau tidak demikian. Oleh karenanya hukum di sini bermakna menghukumi mengadili sesuatu perkara antara manusia.
Dalam al-Qur’an, kata yang berasal dari akar kata ini antara lain dalam bentuk kata hakama,Q.S. Ghafir (40): 48, hakamta, Q.S. Al-Maidah (5):42, hakamtum, an tahkumu, al-Nisa’ (4): 58, al-hukmu, Q.S al-An’am (6): 57, Q.S. Yusuf (12):40, 67. Hakiiman, Q.S. al-Ahzab (33):1, al-hakiim, hakiimun, Q.S. Fusshilat (40): 42, Q.S. Asy-Syuura (42):3, al-Zuhruf (43):4, al-Ahqaf (46):2, al-Hahid (57):1, al-Saff (61):1, al-Jum’ah (62): 1, al-Nisa (4):56, 92,104, 111, 130, 158 dan sebagainya. Kata-kata ini tersebar di sekitar 200 (dua ratus) tempat.

Di antara ayat yang mengandung kata hukum adalah yang menyatakan bahwa tidak ada "hukum" selain "hukum" Allah. Hal ini terdapat dalam Surat al-An’am (6): 57. yang terjemahnya kurang lebih sebagai berikut :

Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".

Kalimat "al-hukmu" di sini berkaitan dengan bahwa Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu (nama-nama yang dibuat sebagai sesembahan). Kemudian kalimat dilanjutkan dengan bahwa “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.”

Kaitan dengan kalimat ini dalam tafsir Ibn Katsir diberi penjelasan bahwa hukum (al-hukma), pengaturan (al-Tasharrufa), penghidupan (al-masyi’ah) dan kerajaan (mulk) kesemuanya hanyalah milik Allah dan Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menyembah hanya kepada-Nya.

Dalam Surat al-Nisa (4): 58, Nampaknya terdapat “keterangan” bagaimana seharusnya berhukum. Dari bagaimana seharusnya berhukum dapat diambil benang merah bagaimana sebuah hukum ideal. Yang harus dijalan kan dalam system kenegaraan.

Bab IV
Latar belakang (asbabunnuzul)
Surat an-Nisa’(4) ayat 58 ini, menurut beberapa mufasir, bersama dengan ayat setelahnya (59) merupakan dasar pendirian suatu pemerintahan. Di situlah terdapat prinsip-prinsip utama dalam bernegara/ membangun pemerintahan.

Mengenai konteksanya, berdasarkan Asbab Nuzulnya, ayat ini turun ketika peristiwa Fathu Makkah. Yaitu ketika Nabi dan para rombongan kaum muslimin tiba di kota Makkah dan memasuki Baitullah. Menurut Al-Suyuti, berdasar riwayat dari Ibnu Mardawaih, dari jalur al-Kalbiy dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas adalah berkenaan dengan peristiwa Fathu Makkah, yaitu ketika Nabi bermaksud membuka Ka’bah, Nabi memanggil Usman bin Thalhah yang merupakan pemegang kunci ka’bah dan meminta kunci tersebut. Pada waktu penyerahan kunci tersebut, Abbas berdiri dan meminta kunci tersebut supaya diserahkan kepadanya (ganti Abbas yang menjadi juru kunci ka’bah). Sehingga ia merangkap juga sebagai yang mengurus air. Maka oleh Rasulpun Usman disuruh menyerahkan kunci itu dan oleh Usman diserahkan kepada Abbas. Kemudian Rasulpun membuka ka’bah melakukan Thawaf. Kemudian, Jibril turun dan membawa perintah untuk mengembalikan kunci itu kepada Usman serta perintah kepada Nabi untuk berhukum dengan adil.

Riwayat serupa juga diberikan oleh al-Wahidi meskipun ada sedikit perbedaan informasi yaitu adanya tokoh Ali bin Abi Thalib dalam kisah itu. Hal ini tidak disebutkan dalam riwayat yang dikutip al-Suyuti. Dalam hal ini peran Ali adalah sebagai yang mengambil kunci dan membuka ka’bah dan yang diperintah Rasul untuk menyampaikan pesan pengembalian kunci ka’bah dari Abbas kepada Usman serta adanya perintah Jibril yang mengatakan bahwa amanah penjaga ka’bah adalah di keturunan Usman bin Thalhah tersebut. Sedangkan Ibnu Katsir juga memberikan riwayat yang serupa dengan yang diriwayatkan al-Suyuti.

Hal pertama dalam ayat ini adalah perintah menyampaikan amanah kepada "ahlinya", yang berhak. Menurut al-Maraghi, kata amanah berarti sesuatu yang dijaga untuk disampaikan kepada pemiliknya. Amanah ada tiga macam :

1) amanat hamba dengan Tuhannya.
2) amanat hamba dengan sesama manusia. Termasuk di sini keadilan pemimpin terhadap rakyatnya, juga keadilan hakim dalam memutuskan perkara.
3). Amanat manusia terhadap dirinya sendiri.

Lanjutan setelah perintah itu adalah perintah Tuhan untuk berlaku atau bersikap adil dalam memutusi sesuatu di antara manusia.Hal ini nampaknya sesuai dengan konteks ayat yang yang berkaitan dengan pemutusan Nabi atas suatu perkara, yaitu hal pemberian amanah penjaga ka’bah yang sebelumnya telah dipegang oleh Usman bin Thalhah akan tetapi kemudian diminta oleh Abbas dan yang akhirnya dikembalikan lagi kepada Usman. Nabi diingatkan oleh Allah melalui Jibril untuk memutuskan perkara tersebut dengan adil. Orang yang dianggap “ahlinya” dalam hal urusan menjaga ka’bah di sini adalah Usman bin Thalhah. Maka bukan menyampaikan amanah pada ahlinya jika diberikan kepada Abbas.


Bab V
Penjelasan ayat dari berbagai ulama tafsir
Berhukum dengan adil dalam ayat tersebut berkaitan dengan amanah. Hal ini saling nerkait. Selain Adil di sini berarti juga memberikan amanah kepada ahlinya juga para berarti bahwa para pemegang amanah juga diperintahkan untuk adil. Lanjutan ayat disebutkan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi pendidikan. Dengan peristiwa tersebut, Allah telah memberikan pengajaran kepada Nabi tentang berlaku adil. Dan sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Atas semua apa yang dilakukan makhluk-Nya, Allah maha mendengar dan melihat semuanya. Mana di antara perilaku-perilaku yang adil ataupun yang tidak, Allah sungguh maha mengetahui atas semua itu.

Amanah menurut Abduh adalah hak orang mukallaf yang berkaitan dengan hak orang lain untuk disampaikan, baik itu amanah ilmu maupun harta. Dalam al-Manar disebutkan juga bahwa ayat ini mengandung perintah untuk berhukum di antara manusia dengan “adil” dan tidak boleh zalim. Berhukum di antara manusia ada beberapa jalan, di antaranya dengan pemerintahan secara umum maupun dalam memutuskan perkara orang yang bertikai di pengadilan.

Tentang Adil,
Kata Adil menurut al-Asfahani merupakan lafaz yang memuat makna persamaan. DalamLisan al-Arab, sebagaimana dikutip Abduh, kata al-'adlu atau al-idlu adalah al-adiil atau almatsil. Seperti dalam kalimat yu’addilu bermakna membuat sama (yusawi). Adil dalam timbangan, ukuran.
Adil dalam berhukum di antara manusia adalah membuat sama di antara dua pihak yang bertikai dengan tidak mengunggulkan salah satu pihak dari yang lain tapi membuatnya sama seperti dua sisi yang sama di atas punggung keledai atau yang lainnya. Adil tercipta dengan perbuatan, penetapannya atas seuatu dakwaan sebagaimana sampainya kebenaran pada yang berhak.

Menurut Abduh, adil terkait dua hal:
1).Hakim mengetahui hukum yang telah disyari’atkan Allah dan hakim juga wajib melaksanakan atau mempraktekkan hukum yang telah diketahui tersebut dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
2) Rukun adil ini terdiri dari dua hal :
a) Memahami dakwaan dari pendakwa dan jawaban dari terdakwa supaya dapat diketahui peta masalah yang dipersoalkan dua pihak yang bertikai dengan bukti-bukti.
b) Keistiqamahan/ kelurusan hakim dan terhindar dari kecenderungan kepada salah satu pihak.

Hal ihwal adil ini menurut Abduh adalah sesuatu yang dapat diketahui secara umum oleh manusia. Ia seperti cahaya yang dapat diketahui dengan sendirinya. Oleh karena itu, menurutnya adil adalah terciptanya/tersampaikannya kebenaran sesuai pada ahlinya/yang berhak. Hal ini tidak akan ada kecuali dengan terlaksananya dua rukun di atas. Dan orang yang tidak melaksanakannya disebut Zalim.



Bab VI
Kesimpulan / analisis penafsiran.
Kesimpulan dari kami adalah yang paling ditekankan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 58-60 adalah tentang kepemerintahan dan yang peling menjadi tittik tekan adalah dalam hukum(peraturan) pemerintahan yang harus diterapkan dengan dasar keadilan, bukan memihak pada salah satu pihak didalam pertikaian atau dalam perselisihan yang ada pada masyarakatnya. Dan yang selanjutnya adalah masalah amanah yang diberikan rakyat pada pemimpin harus disalurkan pada rakyat secara bijaksana. Dalam masalah ini adalah masalah bantuan yang berupa material dan dalam bentuk yang lain, semisal zakat, shodakoh, tunjanagn kesejahteraan bagi rakyat yang kurang mampu, pelayanan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat, pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat yang tidak mampu. Kami juga menyoroti tentang tatanan pemerintahan yang ada di Indonesia ini yang dikira sudah sebelah mata dalam memandang hukum yang ada sekarang ini.
Demikian apa yang dapat dipaparkan. Dari sini, yang dapat penulis tarik benang merahnya adalah bahwa hukum ideal menurut al-Qur'an adalah hukum yang adil. Hukum yang todak otoriter. Hukum yang dapat menjamin hak-hak manusia dalam kehidupan. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua, apabila ada kurang dan lebihnya mohon maaf karena kami hanya manusia yang tak terlepas dari dosa dan nista bila ada benarnya itu semua dari Sang Esa semata.

Daftar pustaka :
1. Al-qur’an terjemah, Departemen Agama, Surabaya : CV Aisyah 1998
2. Terjemah Tafsir Almanar
3. Terjemah tafsir ibnu katshir
4. Terjemah tafsir jalalain
5. Kamus bahasa arab, air langga : Surabaya
6. Sahal Mahfudh, K.H, Nuansa fiqih Sosial, Yogyakarta : LKIS cetakan VI 2007
7. Ebook al qur’an
8. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar