HMI DAN TANTANGAN
PERJUANGAN MEWUJUDKAN
MASYARAKAT
YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADILAN[*]
Untuk memosisikan HMI
secara pas dan strategis dalam konteks dinamika politik dan intelektualisme di
masa depan, perlu dilakukan pemetaan kritis (critical mapping) menyangkut beberapa aspek yang –baik secara
langsung atau tidak langsung-- tidak bisa dipisahkan dari watak historis, gerak
dinamis atau “genetika” HMI.
“Genetika” HMI
HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang lahir dari
‘rahim’ Indonesia merdeka yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan
melalui revolusi kemerdekaan. Pada saat yang sama, para “founding fathers” HMI
juga diinspirasi dan dimotivasi oleh esensi dasar ajaran Islam yang mengandung
nilai-nilai luhur kemanusian, menunjung tinggi kemerdekaan dan keadilan. Latar
belakang ini-lah yang membentuk watak dasar atau jati diri HMI yang memiliki
komitmen keindonesiaan dan keislaman sekaligus.
Sebagai organisasi mahasiswa, fungsi yang paling pas
dijalankan oleh HMI adalah sebagai organisasi kader. Proses kaderisasi HMI
secara esensial adalah proses pematangan, pendewasaan, penanaman nilai-nilai,
pembudayaan dan pencerahan manusia. Kaderisasi juga merupakan proses investasi
manusia (human investment).
Kaderisasi dalam pengertian dan dimensi yang luas adalah inti dan ruh dari
kegiatan-kegiatan HMI dalam rangka menghasilkan sosok manusia Muslim yang
memiliki karakter kecendekiawanan, keilmuan, profesionalitas, dan kepemimpinan
bagi umat dan bangsa. Mereka inilah yang mengembang tanggungjawab dan tugas
suci (mission sacre) untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam
yang universal. Dalam konteks ini, Islam adalah sumber nilai, sumber inspirasi
dan sumber motivasi dalam perjuangan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
“Ideologi” HMI bersumber dari nilai-nilai esensial Islam yang universal.
Pemahaman terhadap ‘genetika’ HMI ini penting dan
menjadi prasyarat untuk dapat memosisikan organisasi ini secara pas dan
strategis dalam konteks dinamika kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Lebih dari itu, diperlukan juga pemahaman yang komprehensif terhadap pelbagai
tantangan baik internal maupun eksternal yang dihadapi secara riel oleh HMI
dewasa ini dalam rangka pelaksanaan kaderisasi dan perwujudan mission-nya.
Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. HMI
dan kader-kadernya saat ini merupakan suatu ‘komunitas epistemik’ yang unik,
yang memiliki cara atau metodenya sendiri dalam memahami realitas dan menjawab
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi. Namun demikian, kader-kader HMI
tetap harus merujuk kepada nilai-nilai normatif (ideologis) HMI yang terbangun
melalui proses historis yang sangat panjang, yang menjadi kekuatan HMI itu
sendiri.
Demokratisasi
Sejak runtuhnya rezim
otoritarian pada 1998, kita menyaksikan berlangsungnya proses transisi menuju
demokrasi. Sejatinya, tuntutan terhadap sistem politik yang demokratis telah
muncul dan berkembang lebih dini, terutama pada dekade 1980-an dan awal 1990-an.
Pada saat itu, gelombang demokratisasi menjadi fenomena penting di berbagai
belahan dunia. Namun karena kuatnya rezim otoritarian yang bersifat oligarkis,
dan ditopang oleh kekuatan militer secara dominan, tuntutan terhadap
demokratisasi seakan-akan mereda, sementara gerakan demokrasi seolah-olah
menghadapi “tembok besar otoritarianisme.” Tetapi, karena semangat
demokratisasi sesungguhnya selaras dengan semangat kemanusiaan itu sendiri,
maka ia bagaikan air mengalir atau bahkan gelombang yang semakin lama arusnya
semakin menguat dan sulit dibendung.
Transisi menuju
demokrasi ditandai antara lain dengan berdirinya banyak partai politik dalam
sistem politik demokratis. Selain kekuatan politik formal, hampir seluruh
kekuatan sosial, intelektual dan keagamaan juga berbicara tentang keniscayaan
demokrasi dan demokratisasi bagi masa depan Indonesia, terlepas apa yang
sesungguhnya mereka pahami dan persepsikan tentang demokrasi itu sendiri.
Kemudian, berkembang-lah secara signifikan kekuatan civil society yang berfungsi sebagai agen demokratisasi, agen
perjuangan hak asasi manusia, kekuatan kontrol terhadap kekuasaan dan partai
politik, sehingga berlangsung sistem checks
and balances.
Jika demokrasi telah
menjadi pilihan bangsa, dan seluruh komponen masyarakat memiliki komitmen untuk
mengembangkannya, maka diperlukan beberapa prasyarat penting. Kita perlu
percaya bahwa demokrasi –setidaknya untuk saat ini- merupakan sistem yang viable atau dapat hidup dan berlangsung
di Indonesia. Kepercayaan terhadap sistem demokrasi ini penting sebagai basis
bagi penumbuhan sikap dan prilaku demokratis baik di kalangan elite masyarakat
politik dan elite civil society
maupun di kalangan akar-rumput (grass-root)
dan massa. Kepercayaan (atau iman) tersebut harus diikuti dengan partisipasi
publik secara aktif dalam proses-proses politik. Partisipasi politik tidak
hanya pada tingkat atau bentuk-bentuk yang prosedural, misalnya dengan
menggunakan hak pilih melalui cara-cara mobilisasi, tetapi juga pada tingkat
substansial secara berkesinambungan, dengan melakukan kritik, koreksi dan
kontrol terhadap kebijakan, dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan
politik. Partisipasi politik itu harus terjadi mulai perumusan kebijakan,
implementasi dan pengawasan atau kontrol terhadap kebijakan.
Sebagai organisasi
kader yang secara historis dan genetis tidak bisa dipisahkan dari politik, HMI
–sejauh pengetahuan dan pengalaman saya- telah memainkan peran-peran penting
dan signifikan dalam transisi demokrasi tersebut, baik secara institusional
maupun melalui individu-individu kadernya yang tidak jarang menjadi simbol HMI,
karena gagasan dari individu-individu kader HMI yang brilian seolah-oleh
mengalami proses institusionalisasi. Secara organisatoris dan kelembagaan, HMI
-secara langsung atau tidak langsung-- diuntungkan oleh pencitraan positif
terhadap kader-kader yang memiliki reputasi politik-intelektual dan
kredibilitas moral (meski tidak jarang pula HMI harus menanggung beban dari
pencitraan negatif karena perilaku kadernya yang buruk, dan tidak memiliki
kredibilitas moral). Di sinilah pentingnya kepemimpinan HMI yang mampu
menciptakan dan memanfaatkan image
positif bagi organisasi, dalam kondisi politik apa pun. Peran tersebut dapat
dimainkan dengan baik apabila tersedia kepemimpinan HMI yang kuat dan visioner
dengan jaringan dan pengaruh sosial politik yang efektif.
Namun demikian, harus
diakui secara jujur bahwa demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di negeri
kita juga mengidap beberapa paradoks, ironi atau bahkan anomali, yang jika tidak
segera diatasi niscaya proses konsolidasi demokrasi yang otentik dan genuine tidak akan pernah terwujud. Kita
menyaksikan prilaku politisi yang tidak mencerminkan tradisi dan budaya
demokratis [mungkin di dalamnya politisi HMI?], juga tidak menggambarkan
representasi dan tanggungjawab politik terhadap kepentingan dan aspirasi
politik rakyat kebanyakan. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi politik
yang tidak normal (anomali), sehingga proses rekruitmen politik tidak
didasarkan pada prinsip meritokrasi, tetapi lebih kepada kekuatan massa. Yang
tampil ke permukaan kemudian adalah politisi-politisi yang tidak memahami
tradisi dan kapabilitas politik yang memadai dan yang dibutuhkan dalam sistem
yang demokratis. Tentu saja, tidak seluruh politisi kita berkualitas rendah,
tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa sebagian besar politisi kita
sesungguhnya tidak memiliki kompetensi memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi
politik secara memadai, seperti fungsi legislasi dan fungsi kontrol yang
efektif terhadap kebijakan pemerintahan. Politik tidak dijalankan menurut
prinsip-prinsip rasionalitas, tetapi masih didasarkan pada budaya patrimonial
dan tradisional. Secara kelembagaan dan prosedur, kita mungkin modern dan
demorkatis, tetapi secara kultural dan psikologis kita masih tradisional, atau
bahkan feodalistik. Ironisnya, kenyataan yang memprihatinkan itu terjadi di
seluruh tingkatan pemerintahan dan birokrasi, mulai pusat sampai daerah-daerah.
Inilah
paradoks-paradoks yang tampak transparan di depan mata. Partai politik juga
belum sepenuhnya menjalankan fungsi pendidikan politik bagi warga masyarakat.
Orientasi materi yang sangat kuat menjangkiti para politisi kita mengakibatkan
rendahnya kepekaan mereka terhadap problem-problem yang dihadapi oleh
konstituen mereka dan rakyat pada umumnya. Kemudian muncul adagium bahwa “untuk
menjadi politisi harus kaya terlebih dahulu, tetapi agar bisa kaya harus
menjadi politisi lebih dulu.” Akibatnya, tidak bisa dihindari terjadinya
praktik korupsi, tidak saja di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif,
tidak saja di pusat, tetapi bahkan di daerah-daerah, secara berjamaah pula.
Inilah ironi dan anomali yang terjadi dalam dunia politik kita.
Gambaran makro politik
yang paradoksal, ironis dan penuh anomali di atas tentu saja tidak boleh
terjadi di lingkungan HMI yang sejatinya mengandung benih-benih dari kultur
atau budaya demokrasi yang genuine
dan otentik. Jika kultur demokratis di HMI terkontaminasi oleh praktik-praktik
politik yang tidak sehat, dan diintervensi serta dihegemoni oleh berbagai
konflik dan kepentingan politik jangka pendek, maka HMI tidak akan pernah
berhasil menjadi ladang bagi penyemaian tradisi demokrasi di Indonesia. Sebab,
sangat sulit mengharapkan munculnya pemimpin yang demokratis dari lembaga-lembaga
atau organisasi yang tidak memiliki tradisi demokrasi; karena demokrasi hanya
akan menjadi retorika, tetapi tidak menjadi budaya atau kultur yang
terinternalisasi dalam perilaku politik elite dan akar-rumput sekaligus.
Sebagaimana juga mustahil mengharapkan pemberantasan korupsi oleh lembaga,
partai atau organisasi –apapun- yang tidak bersih dari praktik korupsi. Mereka
yang tidak demokratis tentu tidak memiliki legitimasi moral untuk berbicara
tentang demokrasi. Mereka yang terlibat dalam tindak korupsi tentu tidak
memiliki legitimasi moral untuk berbicara tentang pemberantasan korupsi, dan
seterusnya dan seterusnya. Karena itu, legitimasi moral menjadi sangat penting
bagi setiap orang untuk terlibat dalam proses transisi demokrasi dan
konsolidasi demokrasi.
Inilah tantangan
mendasar yang dihadapi oleh HMI, jika ia ingin memainkan peran penting dalam
proses demokratisasi. Pemahaman terhadap genetika demokrasi harus dimiliki oleh
seluruh pemimpin HMI di semua tingkatan. Karena secara historis HMI sulit dipisahkan
dari politik, maka mengembangkan orientasi politik bukan-lah merupakan suatu
kekeliruan, tetapi bahkan menjadi keniscayaan, agar HMI dapat memberikan
kontribusi terhadap demokratisasi dengan memproduksi sebanyak mungkin politisi
yang memiliki kapabilitas politik dan pemahaman yang memadai terhadap
demokrasi, termasuk isu-isu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi. Namun
demikian, harus segera ditegaskan bahwa politik hendaknya tidak menjadi
satu-satunya orientasi ideologi dan program HMI. Dengan kata lain, tidak semua
kader HMI harus menjadi politisi, karena sejatinya terdapat dimensi, potensi
dan orientasi lain yang perlu ditumbuh-kembangkan di HMI, melalui berbagai
struktur, infra-struktur, kegiatan dan jaringan kerja HMI yang tersebar. Dimensi
lain itu bisa berupa dimensi intelektualitas dan profesionalisme, meskipun hal
itu tidak boleh dilihat secara dikotomis dan diametral: intelektualitas atau
profesionalitas vis-à-vis politik.
Tradisi
Intelektual
Dewasa ini, terjadi
perkembangan luar biasa dalam diskursus intelektualisme dan pemikiran
sosial-kebudayaan. Jika kita menoleh ke belakang, HMI pernah menjadi avant-garde dalam gerakan pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia. Selain itu, tidak sedikit kader-kader HMI
yang menjadi pemikir-pemikir cerdas di bidang sosial, ekonomi dan bahkan
kebudayaan. Sayangnya, tradisi, etos dan semangat intelektual itu tidak dapat
terus diwarisi oleh generasi HMI selanjutnya. Ini disebabkan kebanyakan
pimpinan dan kader HMI terjebak dalam rutinitas organisasi, atau mungkin
terjebak dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Jika konflik tersebut
terjadi dalam bentuk perdebatan gagasan dan intelektualisme, maka itu
menggambarkan jatidiri HMI dan dinamika internal yang sangat positif. Namun,
jika konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan politik, maka HMI
sesungguhnya telah di-hegemoni oleh hegemon-hegemon yang tidak pernah sekali
pun menguntungkan masa depan HMI.
Dalam konteks dinamika
intelektual, memang kita tidak harus terjebak kepada kutub-kutub pemikiran
keagamaan, sosial, ekonomi atau peradaban yang berkembang dewasa ini. Kader HMI
tidak harus menjadi sangat liberal atau neo-liberal. Tidak juga harus menjadi
konservatif, reaksioner, atau bahkan radikal. Mungkin saja untuk kasus tertentu
HMI bisa bersikap liberal, namun posisi yang paling mungkin diambil HMI adalah
posisi progresif, dan berorientasi kepada gagasan-gagasan tentang kemajuan (the idea of progress). Inilah posisi
yang harus dijabarkan oleh seluruh pimpinan HMI di semua tingkatan ke dalam
ideologi, kurikulum dan metodologi perkaderan, serta praksis gerakan
sosial-intelektual HMI. Pemikiran progresif di bidang apapun, entah keagamaan,
sosial, ekonomi dan budaya, harus diorientasikan kepada pemecahan
masalah-masalah kebangsaan dan umat Islam, seperti problem tingkat kesejahteran
sosial dan ekonomi, kualitas pendidikan, tingkat kesadaran politik, dan bahkan
literasi keagamaan (religious literacy).
Secara fungsional, HMI harus menjadi kekuatan “problem solving” pada level intelektual-ideologis dan pada level
ideo-praxis sekaligus. Ini memang tugas yang tiedak mudah, tetapi adalah
prestasi sejarah yang luar biasa jika HMI mampu menghasilkan gagasan-gagasan
keagamaan yang memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesadaran umat
Islam, peningkatan kesejahteraan dan kesadaran kritis umat Islam untuk terbebas
dari belenggu politik, ekonomi dan peradaban modern (modernitas) yang cenderung
hegemonik.
Karena itu, mulai saat
ini HMI harus kembali menjadi –meminjam istilah Cak Nur- “kekuatan daya-gebrak
psikologis” (psychological striking force)
bagi tumbuhnya tradisi intelektual dan pemikiran yang bebas, kritis, progresif,
modern, terbuka dan membebaskan; tidak hanya dalam wilayah keagamaan semata,
tetapi juga dalam domain-domain sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Dengan
demikian, HMI akan menghasilkan kaum inteligentsia yang memiliki kepekaan
sosial dan moral terhadap tantangan masyarakat. Tentu saja hal ini akan menjadi
sumbangan penting terhadap tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, dan bahkan terhadap terciptanya peradaban baru yang lebih
“Indonesiawi” dan otentik.
Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan sosial mengandung pengertian persamaan atau
kesetaraan (egalitarianism; musâwâh)
di antara sesama anggota masyarakat. dalam kenyataan masyarakat, timbulnya
kelas-kelas sosial dalam masyarakat merupakan keniscayaan, dan tidak dapat
dihindari. Ini berkaitan dengan kenyataan bahwa selain potensi setiap individu
manusia berbeda-beda, artikulasi potensi tersebut menjadi kekuatan juga sangat
dipengaruhi oleh konteks struktural di mana individu itu mengekspresikan diri.
Karenanya, dalam masyarakat terdapat perbedaan profesi-profesi dan pembagian
pekerjaan (division of labors).
Timbulnya kelas sosial yang plural dalam masyarakat diakui oleh al-Qur’ân: likullin ja‘alnâ minkum syir’atan wa
minhâjâ, wa law syâ’a laja‘alakum ummatan wâhidah wa lâkin liyabluwakum
fî mâ âtâkum fastabiqul-khayrât; untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami
berikan aturan dan jalan yang terang, atau cara dan jalan hidup tertentu
(Al-Mâ’idah 5: 48).
Namun, keanekaragaman (pluralitas) kelas-kelas sosial
tersebut tidak dimaksudkan untuk menciptakan konflik, dominasi atau eksploitasi
oleh yang kuat terhadap yang lemah, melainkan untuk bekerja sama dalam
membangun masyarakat yang seimbang dan harmonis. Prinsip egalitarisme ini
meniscayakan penghapusan budaya feodalisme dan paternalisme yang mengarah
kepada kultisme (kultus individu). Dalam masyarakat yang berkeadilan sosial,
tidak boleh ada sekelompok orang yang merasa lebih terhormat dibandingkan yang
lain karena faktor kekayaan, pengetahuan atau kekuasaan. Faktor-faktor tersebut
tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak penindasan.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang tidak dapat dijadikan alat
justifikasi atau legitimasi untuk mengeksploitasi orang atau kelompok yang
lain.
Prinsip persamaan di antara anggota
masyarakat mengimplikasikan persamaan semua warga negara di mata hukum. Dalam
konteks ini, keadilan hukum (legal justice)
tidak memberikan keistimewaan (previlege)
tertentu kepada orang yang dipandang kuat karena kekayaan atau kekuasaan di
atas orang yang dipandang lemah atau miskin. Perintah untuk membuat keputusan
yang adil, tidak berat sebelah sangat ditekankan dalam al-Qur’ân.
Keadilan Politik (Political Justice)
Keadilan politik dalam konteks modern dapat dimakani
dalam pengertian demokrasi. Setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama
untuk menjadi pemimpin melalui proses demokratis. Proses ini akan menghasilkan pemimpin
atau pemerintahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Pemerintah
dibangun dari, oleh dan untuk masyarakat. Secara prosedural, demokrasi memiliki
makna pemilihan secara terbuka dan bebas oleh rakyat untuk menentukan pemimpin.
Letak keadilan politiknya ialah pada hak yang sama dari setiap anggota
masyarakat baik untuk memilih maupun untuk dipilih. Sedangkan secara
substansial, keadilan politik dalam pengertian demokrasi modern mencakup
dimungkinkannya kompetisi politik secara terbuka, partisipasi politik dalam
pengambilan keputusan publik, dan kebebasan sipil dan politik (menyampaikan
pikiran atau pendapat). Namun demikian, diakui bahwa kebebasan atau kemerdekaan
individu dibatasi oleh kebebasan atau kemerdekaan individu yang lain. Karena itu
diperlukan peraturan atau undang-undang untuk mengatur saling-hubungan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
masyarakat yang pluralistik.
Dalam masyarakat yang berkeadilan politik, tidak ada
dominasi kekuasaan oleh segelintir orang (oligarki) atau kekuasaan oleh seorang
(otokrasi) yang dapat menyebabkan timbulnya
otoritarianisme. Pemerintah sebagai kelas yang memimpin (the ruling class) bertanggungjawab
menjamin persamaan hak dalam masyarakat, menjamin kebebasan dan kemerdekaan
warganya, dan memberikan kepastian hukum (memutuskan perkara) secara adil.
Sedangkan masyarakat (the ruled)
memiliki kewajiban memberikan loyalitas kepada pemerintah (sejauh pemerintah
menjalankan tanggungjawab kepemimpinan dengan benar dan adil). Dalam demokrasi
modern dikenal istilah checks and
balances. Prinsip kontrol dan keseimbangan ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selain itu, prinsip checks and balances diterapkan untuk mencegah
terjadinya penumpukan kewenangan (kekuasaan) hanya pada sebagian atau
segelintir orang yang dapat menyebabkan timbulnya tirani atau otoritarianisme.
Keadilan Ekonomi (Economic Justice)
Inti dari keadilan ekonomi ialah perwujudan
kesejahteraan secara merata di tengah-tengah masyarakat. Keadilan ekonomi
antara lain ditandai dengan keseimbangan pendapatan ekonomi, tidak adanya
kesenjangan yang tajam antara yang kaya dan yang miskin, dan tidak adanya
eksploitasi dalam masyarakat. Dalam struktur masyarakat yang kapitalistik,
terdapat kelas pemilik modal dan kelas buruh (pekerja) sebagai faktor produksi.
Pola hubungan antara kelas-kelas sosial dalam sistem kapitalis cenderung
eksploitatif. Adanya unsur eksploitasi atau penindasan dan ketimpangan kekayaan
dalam masyarakat secara tajam menunjukkan adanya ketidakadilan sosial dan
ekonomi.
Secara esensial, ajaran Islam melarang adanya dominasi
atau eksploitasi oleh manusia atas manusia lainnya (misalnya, eksploitasi
pemilik modal terhadap pekerja). Pola hubungan eksploitatif ini hanya
mengakibatkan penumpukan harta kekayaan hanya pada segelintir orang. Islam
melarang praktik eksploitasi yang mengakibatkan penguasaan harta kekayaan oleh
sekelompok kecil masyarakat. Sebaliknya, Islam memerintahkan distribusi kekayaan
secara seimbang melalui ajaran tentang zakat. Zakat digunakan sebagai instrumen
untuk mewujudkan pemerataan ekonomi (dalam harta orang kaya terdapat hak bagi
orang miskin).
Islam juga memerintahkan keseimbangan dalam penggunaan
harta kekayaan, tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir (walladzîna idzâ anfaqû lam yusrifû wa lam
yaqturû wa kâna bayna dzâlika qawâmâ - Al-Furqân 25: 67). Doktrin ini
menekankan keseimbangan dalam penggunaan harta kekayaan untuk menghindari
terjadi kekacauan atau ketidakstabilan ekonomi, seperti terjadinya inflasi,
deflasi atau devaluasi mata uang. Dalam konteks negara modern, pajak menjadi
faktor yang signifikan. Pajak diambil dari kaum pemilik modal dan
didistribusikan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik.
Perjuangan Menegakkan Keadilan
Secara esensial, usaha menegakkan keadilan mencakup
pengendalian dan pembatasan atas keinginan-keinginan dan kepentingan individual
yang tak mengenal batas yang didorong oleh hawa nafsu. Mewujudkan keadilan
tidak saja menjadi tanggungjawab individual, tetapi juga menjadi tanggungjawab
kolektif. Dalam konteks lebih luas, negara dan pemerintah merupakan institusi
yang paling bertanggungjawab untuk mewujudkan keadilan, karena negara dan
pemerintah merupakan lembaga dan kelompok yang dipercaya oleh masyarakat untuk
memimpin karena dinilai memiliki kualifikasi yang memadai untuk menegakkan
keadilan di tengah masyarakat (memimpin atau memerintah sejatinya adalah
menegakkan keadilan). Negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi
warganya dari penindasan dan penghilangan kemerdekaan dan harga diri (martabat)
sebagai manusia. Negara berkewajiban menjamin hak-hak warga dari hegemoni atau
eksploitasi modal. Jika negara lebih berpihak kepada pemilik modal dan membuat
kebijakan yang menindas (represif) rakyat, maka secara esensial telah
kehilangan haknya untuk memimpin (memerintah). Legitimasi kekuasaan terletak
pada kemampuannya mewujudkan keadilan (kesejahteraan).[†]
Mewujudkan keadilan sosial ekonomi mencakup
upaya-upaya mengubah sistem sosial ekonomi yang eksploitatif (kapitalistik)
menjadi sistem yang memungkinkan terjadinya hubungan yang seimbang antara
pemilik modal dan masyarakat pada umumnya (khususnya pekerja). Dalam perkataan
lain, perjuangan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dilakukan dengan
melakukan pemberantasan kapitalisme (dan struktur masyarakat yang
kapitalistik). Hal ini dipahami dari pernyataan al-Qur’ân:
Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhan, dan
tinggalkan apa yang tersisa daripada riba (penindasan kapitalis) kalau kamu
benar-benar beriman. Jika tidak kamu kerjakan (perintah meninggalkan riba) maka
bersiaplah kamu sekalian terhadap adanya perang dari Tuhan dan Rasul-Nya.
Tetapi jika kamu bertaubat (berhenti dari melakukan penindasan kapitalisme),
maka kamu dapat memperoleh kembali kapital-kapitalmu. Kamu tidak menindas dan
tidak pula ditindas (al-Baqarah 2: 278-279).
Karena itu dalam struktur masyarakat yang kapitalistik
di mana terdapat eksploitasi atau penindasan, perjuangan menegakkan keadilan
mencakup upaya-upaya menumbuhkan kesadaran kolektif kaum yang tertindas secara
struktural (dalam al-Qur’ân kelompok ini disebut mustadl‘afîn). Dalam al-Qur’ân, kelompok tertindas
merepresentasikan kebenaran (haqq),
sedangkan kelompok pemilik modal yang eksploitatif merepresentasikan kebatilan
(bâthil). Kebenaran akan mengalahkan
kebathilan. Maka, sebagaimana kebenaran akan mengalahkan kebatilan, maka kaum
tertindas pada akhirnya akan mengalahkan kaum yang menindas, dan mereka yang
tertindas akan menjadi pemimpin (“Dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin
dan menjadi mereka orang-orang yang mewarisi [bumi].” Al-Qashash 28: 5).[‡]
Tetapi dalam konteks al-Qur’ân perjuangan itu
dilakukan tidak untuk menegakkan masyarakat tanpa kelas (seperti dalam teori
komunisme), karena masyarakat tanpa kelas merupakan suatu utopia. Perjuangan
keadilan lebih diarahkan untuk menjamin adanya distribusi kekayaan secara
seimbang, adanya jaminan bagi kehidupan yang layak, dan diperlakukan secara
adil, tidak ada eksploitasi atau diskriminasi.
Dalam konteks perkembangan masyarakat modern global
dewasa ini, pemahaman tentang keadilan sosial, politik dan ekonomi perlu
disegarkan karena konteks yang berubah. Karenanya, perlu dilakukan upaya-upaya
serius untuk merumuskan indikator-indikator keadilan sosial dan ekonomi dan
cara-cara yang efektif untuk mewujudkannya dalam kenyataan sejarah. Di
tengah-tengah kecenderungan yang didominasi oleh pandangan dan praktik
liberalisme, neo-liberalisme, kapitalisme, ekonomi pasar bebas dan perdagangan
bebas, diperlukan upaya lebih sistematis untuk mengkontekstualisasikan ajaran
Islam tentang keadilan sosial dan ekonomi, baik pada level teori maupun
lebih-lebih pada level kehidupan yang konkrit. Sehingga, keadilan sosial dan
ekonomi pada level global dan nasional tidak hanya terwujud pada alam kesadaran
atau intelektual, tetapi juga benar-benar terwujud dalam alam kenyataan yang
faktual.
“Good
Governance”
Dalam kerangka
perwujudan “mission sacre” (tugas suci) di atas, penting kiranya dipikirkan
penataan manajemen HMI menuju “good governance.” HMI harus dikelola secara
profesional, sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Issu
profesionalisme dan penerapan manajemen modern sesungguhnya telah berkembang
sejak lama. Hanya saja, gagasan besar mengenai profesionalisme manajerial
tersebut tidak pernah dirumuskan secara sistematis, dan tidak pernah
diterjemahkan ke dalam sistem dan mekanisme organisasi secara menyeluruh, baik
secara vertikal maupun horisontal. Karena itu, mustahil bagi HMI untuk
memberikan kontribusi bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik jika HMI
sendiri tidak memiliki tradisi atau kultur good
governance dalam dirinya.
Secara kultural dan
genetis HMI sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip dan karakter-karakter good governance atau good corporate governance, seperti
transparansi, akuntabilitas, partisipasi, profesionalisme, penerapan aturan
organisasi, efektifitas, efisiensi dan kesetaraan gender. Hanya saja,
prinsip-prinsip tersebut tidak sepenuhnya berjalan, karena sering terjadinya
konflik faksional di tubuh HMI, masuknya kepentingan politik jangka pendek,
atau konflik kepentingan dalam diri elite pimpinan HMI. Konflik-konflik mungkin
sulit dihilangkan secara total, tetapi bagaimanapun konflik dan kepentingan
tersebut harus dikelola sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu berjalannya
tata organisasi yang baik menurut prinsip-prinsip good governance, dengan tetap menjaga independensi HMI -sedinamis
mungkin- baik secara organisatoris, politik maupun etis.
Kepemimpinan
yang Kuat, Kapabel dan Kredibel
Salah satu instrumen
penting yang diharapkan dapat menjembatani antara kenyataan dan harapan HMI di
masa depan adalah tersedianya kepemimpinan organisasi yang cakap (capable) dan bisa dipercaya (credible). Ke depan, di semua level atau
tingkatan organisasi dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat,
independen, kompeten, progresif, punya kapasitas dan kapabilitas politik,
kecakapan intelektual dan kredibilitas moral yang memadai, serta punya jaringan
kerja (networks) yang luas dengan
seluruh kekuatan politik dan elemen civil
society yang ada. Kapabilitas dan kredibilitas yang dimiliki akan menjadi
modal sosial dan politik sekaligus sebagai sumber legitimasi kepemimpinan yang
kuat, tidak hanya di lingkungan internal HMI, tetapi lebih-lebih di lingkungan
sosial dan politik yang lebih luas.
Kepemimpinan yang
demikian ini niscaya akan memiliki legitimasi moral untuk menyuarakan
demokrasi, good governance, hak asasi
manusia, dan pemberantasan korupsi; selain tentu saja akan punya legitimasi
moral untuk melakukan penataan internal di bidang manajemen, ideologi dan
metodologi kaderisasi, dan konsolidasi organisasi secara nasional. Kepemimpinan
HMI mendatang harus mampu men-“transendensi”-kan dirinya dari konflik faksional
yang pernah terjadi di HMI [jika memang pernah terjadi], sebab -dengan
demikian- kepemimpinan tersebut akan terlepas dari beban-beban sejarah masa
lalu berupa konflik-konflik yang bersifat parokial dan kontra-produktif.
Kepemimpinan mendatang harus mengerahkan seluruh energi dan kekuatan yang dimiliki
oleh HMI untuk mengembangkan dan merevitalisasi kapabilitas politik dan tradisi
intelektual yang progresif di semua tingkatan organisasi dan kepemimpinan HMI.
Dengan cara demikian,
tugas-tugas untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan
akan menjadi lebih mungkin untuk dilaksanakan secara efektif. []
[†]
Dalam politik modern, pemimpin atau wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat
bertanggungjawab mewujudkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan yang menjadi hak
asasi rakyatnya. Mereka harus mewakili rakyat memperjuangkan aspirasi keadilan
dan kesejahteraan. Kemakmuran dan kesejahteraan menjadi hak masing-masing
pribadi yang tidak dapat diwakilkan kepada sekelompok orang yang dipilih
sebagai wakil rakyat.
[‡]
Salah satu contoh dari sejarah umat manusia mengenai ketidak-adilan sosial,
politik dan ekonomi digambarkan dalam al-Qur’ân pada diri Fir‘awn, Hâmân dan
Qârûn. “Sesungguhnya Fir‘awn telah berlaku sombong di muka bumi dan menjadikan
rakyatnya terkelompok-kelompok, yang satu memperlemahkan yang lain.”
(Al-Qashash 28: 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar