Sabtu, 26 Oktober 2013

HMI DAN TANTANGAN PERJUANGAN MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADILAN


HMI DAN TANTANGAN PERJUANGAN MEWUJUDKAN
MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADILAN[*]

Untuk memosisikan HMI secara pas dan strategis dalam konteks dinamika politik dan intelektualisme di masa depan, perlu dilakukan pemetaan kritis (critical mapping) menyangkut beberapa aspek yang –baik secara langsung atau tidak langsung-- tidak bisa dipisahkan dari watak historis, gerak dinamis atau “genetika” HMI.

“Genetika” HMI
HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang lahir dari ‘rahim’ Indonesia merdeka yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan melalui revolusi kemerdekaan. Pada saat yang sama, para “founding fathers” HMI juga diinspirasi dan dimotivasi oleh esensi dasar ajaran Islam yang mengandung nilai-nilai luhur kemanusian, menunjung tinggi kemerdekaan dan keadilan. Latar belakang ini-lah yang membentuk watak dasar atau jati diri HMI yang memiliki komitmen keindonesiaan dan keislaman sekaligus.
Sebagai organisasi mahasiswa, fungsi yang paling pas dijalankan oleh HMI adalah sebagai organisasi kader. Proses kaderisasi HMI secara esensial adalah proses pematangan, pendewasaan, penanaman nilai-nilai, pembudayaan dan pencerahan manusia. Kaderisasi juga merupakan proses investasi manusia (human investment). Kaderisasi dalam pengertian dan dimensi yang luas adalah inti dan ruh dari kegiatan-kegiatan HMI dalam rangka menghasilkan sosok manusia Muslim yang memiliki karakter kecendekiawanan, keilmuan, profesionalitas, dan kepemimpinan bagi umat dan bangsa. Mereka inilah yang mengembang tanggungjawab dan tugas suci (mission sacre) untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang universal. Dalam konteks ini, Islam adalah sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi dalam perjuangan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. “Ideologi” HMI bersumber dari nilai-nilai esensial Islam yang universal.
Pemahaman terhadap ‘genetika’ HMI ini penting dan menjadi prasyarat untuk dapat memosisikan organisasi ini secara pas dan strategis dalam konteks dinamika kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, diperlukan juga pemahaman yang komprehensif terhadap pelbagai tantangan baik internal maupun eksternal yang dihadapi secara riel oleh HMI dewasa ini dalam rangka pelaksanaan kaderisasi dan perwujudan mission-nya.
Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. HMI dan kader-kadernya saat ini merupakan suatu ‘komunitas epistemik’ yang unik, yang memiliki cara atau metodenya sendiri dalam memahami realitas dan menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi. Namun demikian, kader-kader HMI tetap harus merujuk kepada nilai-nilai normatif (ideologis) HMI yang terbangun melalui proses historis yang sangat panjang, yang menjadi kekuatan HMI itu sendiri.

Demokratisasi
Sejak runtuhnya rezim otoritarian pada 1998, kita menyaksikan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi. Sejatinya, tuntutan terhadap sistem politik yang demokratis telah muncul dan berkembang lebih dini, terutama pada dekade 1980-an dan awal 1990-an. Pada saat itu, gelombang demokratisasi menjadi fenomena penting di berbagai belahan dunia. Namun karena kuatnya rezim otoritarian yang bersifat oligarkis, dan ditopang oleh kekuatan militer secara dominan, tuntutan terhadap demokratisasi seakan-akan mereda, sementara gerakan demokrasi seolah-olah menghadapi “tembok besar otoritarianisme.” Tetapi, karena semangat demokratisasi sesungguhnya selaras dengan semangat kemanusiaan itu sendiri, maka ia bagaikan air mengalir atau bahkan gelombang yang semakin lama arusnya semakin menguat dan sulit dibendung.
Transisi menuju demokrasi ditandai antara lain dengan berdirinya banyak partai politik dalam sistem politik demokratis. Selain kekuatan politik formal, hampir seluruh kekuatan sosial, intelektual dan keagamaan juga berbicara tentang keniscayaan demokrasi dan demokratisasi bagi masa depan Indonesia, terlepas apa yang sesungguhnya mereka pahami dan persepsikan tentang demokrasi itu sendiri. Kemudian, berkembang-lah secara signifikan kekuatan civil society yang berfungsi sebagai agen demokratisasi, agen perjuangan hak asasi manusia, kekuatan kontrol terhadap kekuasaan dan partai politik, sehingga berlangsung sistem checks and balances.
Jika demokrasi telah menjadi pilihan bangsa, dan seluruh komponen masyarakat memiliki komitmen untuk mengembangkannya, maka diperlukan beberapa prasyarat penting. Kita perlu percaya bahwa demokrasi –setidaknya untuk saat ini- merupakan sistem yang viable atau dapat hidup dan berlangsung di Indonesia. Kepercayaan terhadap sistem demokrasi ini penting sebagai basis bagi penumbuhan sikap dan prilaku demokratis baik di kalangan elite masyarakat politik dan elite civil society maupun di kalangan akar-rumput (grass-root) dan massa. Kepercayaan (atau iman) tersebut harus diikuti dengan partisipasi publik secara aktif dalam proses-proses politik. Partisipasi politik tidak hanya pada tingkat atau bentuk-bentuk yang prosedural, misalnya dengan menggunakan hak pilih melalui cara-cara mobilisasi, tetapi juga pada tingkat substansial secara berkesinambungan, dengan melakukan kritik, koreksi dan kontrol terhadap kebijakan, dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik itu harus terjadi mulai perumusan kebijakan, implementasi dan pengawasan atau kontrol terhadap kebijakan.
Sebagai organisasi kader yang secara historis dan genetis tidak bisa dipisahkan dari politik, HMI –sejauh pengetahuan dan pengalaman saya- telah memainkan peran-peran penting dan signifikan dalam transisi demokrasi tersebut, baik secara institusional maupun melalui individu-individu kadernya yang tidak jarang menjadi simbol HMI, karena gagasan dari individu-individu kader HMI yang brilian seolah-oleh mengalami proses institusionalisasi. Secara organisatoris dan kelembagaan, HMI -secara langsung atau tidak langsung-- diuntungkan oleh pencitraan positif terhadap kader-kader yang memiliki reputasi politik-intelektual dan kredibilitas moral (meski tidak jarang pula HMI harus menanggung beban dari pencitraan negatif karena perilaku kadernya yang buruk, dan tidak memiliki kredibilitas moral). Di sinilah pentingnya kepemimpinan HMI yang mampu menciptakan dan memanfaatkan image positif bagi organisasi, dalam kondisi politik apa pun. Peran tersebut dapat dimainkan dengan baik apabila tersedia kepemimpinan HMI yang kuat dan visioner dengan jaringan dan pengaruh sosial politik yang efektif.
Namun demikian, harus diakui secara jujur bahwa demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di negeri kita juga mengidap beberapa paradoks, ironi atau bahkan anomali, yang jika tidak segera diatasi niscaya proses konsolidasi demokrasi yang otentik dan genuine tidak akan pernah terwujud. Kita menyaksikan prilaku politisi yang tidak mencerminkan tradisi dan budaya demokratis [mungkin di dalamnya politisi HMI?], juga tidak menggambarkan representasi dan tanggungjawab politik terhadap kepentingan dan aspirasi politik rakyat kebanyakan. Kenyataan ini tidak terlepas dari kondisi politik yang tidak normal (anomali), sehingga proses rekruitmen politik tidak didasarkan pada prinsip meritokrasi, tetapi lebih kepada kekuatan massa. Yang tampil ke permukaan kemudian adalah politisi-politisi yang tidak memahami tradisi dan kapabilitas politik yang memadai dan yang dibutuhkan dalam sistem yang demokratis. Tentu saja, tidak seluruh politisi kita berkualitas rendah, tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa sebagian besar politisi kita sesungguhnya tidak memiliki kompetensi memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi politik secara memadai, seperti fungsi legislasi dan fungsi kontrol yang efektif terhadap kebijakan pemerintahan. Politik tidak dijalankan menurut prinsip-prinsip rasionalitas, tetapi masih didasarkan pada budaya patrimonial dan tradisional. Secara kelembagaan dan prosedur, kita mungkin modern dan demorkatis, tetapi secara kultural dan psikologis kita masih tradisional, atau bahkan feodalistik. Ironisnya, kenyataan yang memprihatinkan itu terjadi di seluruh tingkatan pemerintahan dan birokrasi, mulai pusat sampai daerah-daerah.
Inilah paradoks-paradoks yang tampak transparan di depan mata. Partai politik juga belum sepenuhnya menjalankan fungsi pendidikan politik bagi warga masyarakat. Orientasi materi yang sangat kuat menjangkiti para politisi kita mengakibatkan rendahnya kepekaan mereka terhadap problem-problem yang dihadapi oleh konstituen mereka dan rakyat pada umumnya. Kemudian muncul adagium bahwa “untuk menjadi politisi harus kaya terlebih dahulu, tetapi agar bisa kaya harus menjadi politisi lebih dulu.” Akibatnya, tidak bisa dihindari terjadinya praktik korupsi, tidak saja di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif, tidak saja di pusat, tetapi bahkan di daerah-daerah, secara berjamaah pula. Inilah ironi dan anomali yang terjadi dalam dunia politik kita.
Gambaran makro politik yang paradoksal, ironis dan penuh anomali di atas tentu saja tidak boleh terjadi di lingkungan HMI yang sejatinya mengandung benih-benih dari kultur atau budaya demokrasi yang genuine dan otentik. Jika kultur demokratis di HMI terkontaminasi oleh praktik-praktik politik yang tidak sehat, dan diintervensi serta dihegemoni oleh berbagai konflik dan kepentingan politik jangka pendek, maka HMI tidak akan pernah berhasil menjadi ladang bagi penyemaian tradisi demokrasi di Indonesia. Sebab, sangat sulit mengharapkan munculnya pemimpin yang demokratis dari lembaga-lembaga atau organisasi yang tidak memiliki tradisi demokrasi; karena demokrasi hanya akan menjadi retorika, tetapi tidak menjadi budaya atau kultur yang terinternalisasi dalam perilaku politik elite dan akar-rumput sekaligus. Sebagaimana juga mustahil mengharapkan pemberantasan korupsi oleh lembaga, partai atau organisasi –apapun- yang tidak bersih dari praktik korupsi. Mereka yang tidak demokratis tentu tidak memiliki legitimasi moral untuk berbicara tentang demokrasi. Mereka yang terlibat dalam tindak korupsi tentu tidak memiliki legitimasi moral untuk berbicara tentang pemberantasan korupsi, dan seterusnya dan seterusnya. Karena itu, legitimasi moral menjadi sangat penting bagi setiap orang untuk terlibat dalam proses transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi.
Inilah tantangan mendasar yang dihadapi oleh HMI, jika ia ingin memainkan peran penting dalam proses demokratisasi. Pemahaman terhadap genetika demokrasi harus dimiliki oleh seluruh pemimpin HMI di semua tingkatan. Karena secara historis HMI sulit dipisahkan dari politik, maka mengembangkan orientasi politik bukan-lah merupakan suatu kekeliruan, tetapi bahkan menjadi keniscayaan, agar HMI dapat memberikan kontribusi terhadap demokratisasi dengan memproduksi sebanyak mungkin politisi yang memiliki kapabilitas politik dan pemahaman yang memadai terhadap demokrasi, termasuk isu-isu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi. Namun demikian, harus segera ditegaskan bahwa politik hendaknya tidak menjadi satu-satunya orientasi ideologi dan program HMI. Dengan kata lain, tidak semua kader HMI harus menjadi politisi, karena sejatinya terdapat dimensi, potensi dan orientasi lain yang perlu ditumbuh-kembangkan di HMI, melalui berbagai struktur, infra-struktur, kegiatan dan jaringan kerja HMI yang tersebar. Dimensi lain itu bisa berupa dimensi intelektualitas dan profesionalisme, meskipun hal itu tidak boleh dilihat secara dikotomis dan diametral: intelektualitas atau profesionalitas vis-à-vis politik.

Tradisi Intelektual
Dewasa ini, terjadi perkembangan luar biasa dalam diskursus intelektualisme dan pemikiran sosial-kebudayaan. Jika kita menoleh ke belakang, HMI pernah menjadi avant-garde dalam gerakan pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Selain itu, tidak sedikit kader-kader HMI yang menjadi pemikir-pemikir cerdas di bidang sosial, ekonomi dan bahkan kebudayaan. Sayangnya, tradisi, etos dan semangat intelektual itu tidak dapat terus diwarisi oleh generasi HMI selanjutnya. Ini disebabkan kebanyakan pimpinan dan kader HMI terjebak dalam rutinitas organisasi, atau mungkin terjebak dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Jika konflik tersebut terjadi dalam bentuk perdebatan gagasan dan intelektualisme, maka itu menggambarkan jatidiri HMI dan dinamika internal yang sangat positif. Namun, jika konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan politik, maka HMI sesungguhnya telah di-hegemoni oleh hegemon-hegemon yang tidak pernah sekali pun menguntungkan masa depan HMI.
Dalam konteks dinamika intelektual, memang kita tidak harus terjebak kepada kutub-kutub pemikiran keagamaan, sosial, ekonomi atau peradaban yang berkembang dewasa ini. Kader HMI tidak harus menjadi sangat liberal atau neo-liberal. Tidak juga harus menjadi konservatif, reaksioner, atau bahkan radikal. Mungkin saja untuk kasus tertentu HMI bisa bersikap liberal, namun posisi yang paling mungkin diambil HMI adalah posisi progresif, dan berorientasi kepada gagasan-gagasan tentang kemajuan (the idea of progress). Inilah posisi yang harus dijabarkan oleh seluruh pimpinan HMI di semua tingkatan ke dalam ideologi, kurikulum dan metodologi perkaderan, serta praksis gerakan sosial-intelektual HMI. Pemikiran progresif di bidang apapun, entah keagamaan, sosial, ekonomi dan budaya, harus diorientasikan kepada pemecahan masalah-masalah kebangsaan dan umat Islam, seperti problem tingkat kesejahteran sosial dan ekonomi, kualitas pendidikan, tingkat kesadaran politik, dan bahkan literasi keagamaan (religious literacy). Secara fungsional, HMI harus menjadi kekuatan “problem solving” pada level  intelektual-ideologis dan pada level ideo-praxis sekaligus. Ini memang tugas yang tiedak mudah, tetapi adalah prestasi sejarah yang luar biasa jika HMI mampu menghasilkan gagasan-gagasan keagamaan yang memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesadaran umat Islam, peningkatan kesejahteraan dan kesadaran kritis umat Islam untuk terbebas dari belenggu politik, ekonomi dan peradaban modern (modernitas) yang cenderung hegemonik.
Karena itu, mulai saat ini HMI harus kembali menjadi –meminjam istilah Cak Nur- “kekuatan daya-gebrak psikologis” (psychological striking force) bagi tumbuhnya tradisi intelektual dan pemikiran yang bebas, kritis, progresif, modern, terbuka dan membebaskan; tidak hanya dalam wilayah keagamaan semata, tetapi juga dalam domain-domain sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Dengan demikian, HMI akan menghasilkan kaum inteligentsia yang memiliki kepekaan sosial dan moral terhadap tantangan masyarakat. Tentu saja hal ini akan menjadi sumbangan penting terhadap tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan terhadap terciptanya peradaban baru yang lebih “Indonesiawi” dan otentik.

Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan sosial mengandung pengertian persamaan atau kesetaraan (egalitarianism; musâwâh) di antara sesama anggota masyarakat. dalam kenyataan masyarakat, timbulnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat merupakan keniscayaan, dan tidak dapat dihindari. Ini berkaitan dengan kenyataan bahwa selain potensi setiap individu manusia berbeda-beda, artikulasi potensi tersebut menjadi kekuatan juga sangat dipengaruhi oleh konteks struktural di mana individu itu mengekspresikan diri. Karenanya, dalam masyarakat terdapat perbedaan profesi-profesi dan pembagian pekerjaan (division of labors). Timbulnya kelas sosial yang plural dalam masyarakat diakui oleh al-Qur’ân: likullin ja‘alnâ minkum syir’atan wa minhâjâ, wa law syâ’a laja‘alakum ummatan wâhidah wa lâkin liyabluwakum fî mâ âtâkum fastabiqul-khayrât; untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang, atau cara dan jalan hidup tertentu (Al-Mâ’idah 5: 48).
Namun, keanekaragaman (pluralitas) kelas-kelas sosial tersebut tidak dimaksudkan untuk menciptakan konflik, dominasi atau eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah, melainkan untuk bekerja sama dalam membangun masyarakat yang seimbang dan harmonis. Prinsip egalitarisme ini meniscayakan penghapusan budaya feodalisme dan paternalisme yang mengarah kepada kultisme (kultus individu). Dalam masyarakat yang berkeadilan sosial, tidak boleh ada sekelompok orang yang merasa lebih terhormat dibandingkan yang lain karena faktor kekayaan, pengetahuan atau kekuasaan. Faktor-faktor tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak penindasan. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang tidak dapat dijadikan alat justifikasi atau legitimasi untuk mengeksploitasi orang atau kelompok yang lain.
            Prinsip persamaan di antara anggota masyarakat mengimplikasikan persamaan semua warga negara di mata hukum. Dalam konteks ini, keadilan hukum (legal justice) tidak memberikan keistimewaan (previlege) tertentu kepada orang yang dipandang kuat karena kekayaan atau kekuasaan di atas orang yang dipandang lemah atau miskin. Perintah untuk membuat keputusan yang adil, tidak berat sebelah sangat ditekankan dalam al-Qur’ân.

Keadilan Politik (Political Justice)
Keadilan politik dalam konteks modern dapat dimakani dalam pengertian demokrasi. Setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin melalui proses demokratis. Proses ini akan menghasilkan pemimpin atau pemerintahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Pemerintah dibangun dari, oleh dan untuk masyarakat. Secara prosedural, demokrasi memiliki makna pemilihan secara terbuka dan bebas oleh rakyat untuk menentukan pemimpin. Letak keadilan politiknya ialah pada hak yang sama dari setiap anggota masyarakat baik untuk memilih maupun untuk dipilih. Sedangkan secara substansial, keadilan politik dalam pengertian demokrasi modern mencakup dimungkinkannya kompetisi politik secara terbuka, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan publik, dan kebebasan sipil dan politik (menyampaikan pikiran atau pendapat). Namun demikian, diakui bahwa kebebasan atau kemerdekaan individu dibatasi oleh kebebasan atau kemerdekaan individu yang lain. Karena itu diperlukan peraturan atau undang-undang untuk mengatur saling-hubungan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam masyarakat yang pluralistik.
Dalam masyarakat yang berkeadilan politik, tidak ada dominasi kekuasaan oleh segelintir orang (oligarki) atau kekuasaan oleh seorang (otokrasi) yang dapat menyebabkan timbulnya  otoritarianisme. Pemerintah sebagai kelas yang memimpin (the ruling class) bertanggungjawab menjamin persamaan hak dalam masyarakat, menjamin kebebasan dan kemerdekaan warganya, dan memberikan kepastian hukum (memutuskan perkara) secara adil. Sedangkan masyarakat (the ruled) memiliki kewajiban memberikan loyalitas kepada pemerintah (sejauh pemerintah menjalankan tanggungjawab kepemimpinan dengan benar dan adil). Dalam demokrasi modern dikenal istilah checks and balances. Prinsip kontrol dan keseimbangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selain itu, prinsip checks and balances diterapkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kewenangan (kekuasaan) hanya pada sebagian atau segelintir orang yang dapat menyebabkan timbulnya tirani atau otoritarianisme.

Keadilan Ekonomi (Economic Justice)
Inti dari keadilan ekonomi ialah perwujudan kesejahteraan secara merata di tengah-tengah masyarakat. Keadilan ekonomi antara lain ditandai dengan keseimbangan pendapatan ekonomi, tidak adanya kesenjangan yang tajam antara yang kaya dan yang miskin, dan tidak adanya eksploitasi dalam masyarakat. Dalam struktur masyarakat yang kapitalistik, terdapat kelas pemilik modal dan kelas buruh (pekerja) sebagai faktor produksi. Pola hubungan antara kelas-kelas sosial dalam sistem kapitalis cenderung eksploitatif. Adanya unsur eksploitasi atau penindasan dan ketimpangan kekayaan dalam masyarakat secara tajam menunjukkan adanya ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Secara esensial, ajaran Islam melarang adanya dominasi atau eksploitasi oleh manusia atas manusia lainnya (misalnya, eksploitasi pemilik modal terhadap pekerja). Pola hubungan eksploitatif ini hanya mengakibatkan penumpukan harta kekayaan hanya pada segelintir orang. Islam melarang praktik eksploitasi yang mengakibatkan penguasaan harta kekayaan oleh sekelompok kecil masyarakat. Sebaliknya, Islam memerintahkan distribusi kekayaan secara seimbang melalui ajaran tentang zakat. Zakat digunakan sebagai instrumen untuk mewujudkan pemerataan ekonomi (dalam harta orang kaya terdapat hak bagi orang miskin).
Islam juga memerintahkan keseimbangan dalam penggunaan harta kekayaan, tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir (walladzîna idzâ anfaqû lam yusrifû wa lam yaqturû wa kâna bayna dzâlika qawâmâ - Al-Furqân 25: 67). Doktrin ini menekankan keseimbangan dalam penggunaan harta kekayaan untuk menghindari terjadi kekacauan atau ketidakstabilan ekonomi, seperti terjadinya inflasi, deflasi atau devaluasi mata uang. Dalam konteks negara modern, pajak menjadi faktor yang signifikan. Pajak diambil dari kaum pemilik modal dan didistribusikan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik.

Perjuangan Menegakkan Keadilan
Secara esensial, usaha menegakkan keadilan mencakup pengendalian dan pembatasan atas keinginan-keinginan dan kepentingan individual yang tak mengenal batas yang didorong oleh hawa nafsu. Mewujudkan keadilan tidak saja menjadi tanggungjawab individual, tetapi juga menjadi tanggungjawab kolektif. Dalam konteks lebih luas, negara dan pemerintah merupakan institusi yang paling bertanggungjawab untuk mewujudkan keadilan, karena negara dan pemerintah merupakan lembaga dan kelompok yang dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin karena dinilai memiliki kualifikasi yang memadai untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat (memimpin atau memerintah sejatinya adalah menegakkan keadilan). Negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari penindasan dan penghilangan kemerdekaan dan harga diri (martabat) sebagai manusia. Negara berkewajiban menjamin hak-hak warga dari hegemoni atau eksploitasi modal. Jika negara lebih berpihak kepada pemilik modal dan membuat kebijakan yang menindas (represif) rakyat, maka secara esensial telah kehilangan haknya untuk memimpin (memerintah). Legitimasi kekuasaan terletak pada kemampuannya mewujudkan keadilan (kesejahteraan).[†]
Mewujudkan keadilan sosial ekonomi mencakup upaya-upaya mengubah sistem sosial ekonomi yang eksploitatif (kapitalistik) menjadi sistem yang memungkinkan terjadinya hubungan yang seimbang antara pemilik modal dan masyarakat pada umumnya (khususnya pekerja). Dalam perkataan lain, perjuangan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dilakukan dengan melakukan pemberantasan kapitalisme (dan struktur masyarakat yang kapitalistik). Hal ini dipahami dari pernyataan al-Qur’ân:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhan, dan tinggalkan apa yang tersisa daripada riba (penindasan kapitalis) kalau kamu benar-benar beriman. Jika tidak kamu kerjakan (perintah meninggalkan riba) maka bersiaplah kamu sekalian terhadap adanya perang dari Tuhan dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat (berhenti dari melakukan penindasan kapitalisme), maka kamu dapat memperoleh kembali kapital-kapitalmu. Kamu tidak menindas dan tidak pula ditindas (al-Baqarah 2: 278-279).

Karena itu dalam struktur masyarakat yang kapitalistik di mana terdapat eksploitasi atau penindasan, perjuangan menegakkan keadilan mencakup upaya-upaya menumbuhkan kesadaran kolektif kaum yang tertindas secara struktural (dalam al-Qur’ân kelompok ini disebut mustadl‘afîn). Dalam al-Qur’ân, kelompok tertindas merepresentasikan kebenaran (haqq), sedangkan kelompok pemilik modal yang eksploitatif merepresentasikan kebatilan (bâthil). Kebenaran akan mengalahkan kebathilan. Maka, sebagaimana kebenaran akan mengalahkan kebatilan, maka kaum tertindas pada akhirnya akan mengalahkan kaum yang menindas, dan mereka yang tertindas akan menjadi pemimpin (“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadi mereka orang-orang yang mewarisi [bumi].” Al-Qashash 28: 5).[‡]
Tetapi dalam konteks al-Qur’ân perjuangan itu dilakukan tidak untuk menegakkan masyarakat tanpa kelas (seperti dalam teori komunisme), karena masyarakat tanpa kelas merupakan suatu utopia. Perjuangan keadilan lebih diarahkan untuk menjamin adanya distribusi kekayaan secara seimbang, adanya jaminan bagi kehidupan yang layak, dan diperlakukan secara adil, tidak ada eksploitasi atau diskriminasi.
Dalam konteks perkembangan masyarakat modern global dewasa ini, pemahaman tentang keadilan sosial, politik dan ekonomi perlu disegarkan karena konteks yang berubah. Karenanya, perlu dilakukan upaya-upaya serius untuk merumuskan indikator-indikator keadilan sosial dan ekonomi dan cara-cara yang efektif untuk mewujudkannya dalam kenyataan sejarah. Di tengah-tengah kecenderungan yang didominasi oleh pandangan dan praktik liberalisme, neo-liberalisme, kapitalisme, ekonomi pasar bebas dan perdagangan bebas, diperlukan upaya lebih sistematis untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam tentang keadilan sosial dan ekonomi, baik pada level teori maupun lebih-lebih pada level kehidupan yang konkrit. Sehingga, keadilan sosial dan ekonomi pada level global dan nasional tidak hanya terwujud pada alam kesadaran atau intelektual, tetapi juga benar-benar terwujud dalam alam kenyataan yang faktual.

“Good Governance”
Dalam kerangka perwujudan “mission sacre” (tugas suci) di atas, penting kiranya dipikirkan penataan manajemen HMI menuju “good governance.” HMI harus dikelola secara profesional, sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Issu profesionalisme dan penerapan manajemen modern sesungguhnya telah berkembang sejak lama. Hanya saja, gagasan besar mengenai profesionalisme manajerial tersebut tidak pernah dirumuskan secara sistematis, dan tidak pernah diterjemahkan ke dalam sistem dan mekanisme organisasi secara menyeluruh, baik secara vertikal maupun horisontal. Karena itu, mustahil bagi HMI untuk memberikan kontribusi bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik jika HMI sendiri tidak memiliki tradisi atau kultur good governance dalam dirinya.
Secara kultural dan genetis HMI sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip dan karakter-karakter good governance atau good corporate governance, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, profesionalisme, penerapan aturan organisasi, efektifitas, efisiensi dan kesetaraan gender. Hanya saja, prinsip-prinsip tersebut tidak sepenuhnya berjalan, karena sering terjadinya konflik faksional di tubuh HMI, masuknya kepentingan politik jangka pendek, atau konflik kepentingan dalam diri elite pimpinan HMI. Konflik-konflik mungkin sulit dihilangkan secara total, tetapi bagaimanapun konflik dan kepentingan tersebut harus dikelola sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu berjalannya tata organisasi yang baik menurut prinsip-prinsip good governance, dengan tetap menjaga independensi HMI -sedinamis mungkin- baik secara organisatoris, politik maupun etis.

Kepemimpinan yang Kuat, Kapabel dan Kredibel
Salah satu instrumen penting yang diharapkan dapat menjembatani antara kenyataan dan harapan HMI di masa depan adalah tersedianya kepemimpinan organisasi yang cakap (capable) dan bisa dipercaya (credible). Ke depan, di semua level atau tingkatan organisasi dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat, independen, kompeten, progresif, punya kapasitas dan kapabilitas politik, kecakapan intelektual dan kredibilitas moral yang memadai, serta punya jaringan kerja (networks) yang luas dengan seluruh kekuatan politik dan elemen civil society yang ada. Kapabilitas dan kredibilitas yang dimiliki akan menjadi modal sosial dan politik sekaligus sebagai sumber legitimasi kepemimpinan yang kuat, tidak hanya di lingkungan internal HMI, tetapi lebih-lebih di lingkungan sosial dan politik yang lebih luas.
Kepemimpinan yang demikian ini niscaya akan memiliki legitimasi moral untuk menyuarakan demokrasi, good governance, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi; selain tentu saja akan punya legitimasi moral untuk melakukan penataan internal di bidang manajemen, ideologi dan metodologi kaderisasi, dan konsolidasi organisasi secara nasional. Kepemimpinan HMI mendatang harus mampu men-“transendensi”-kan dirinya dari konflik faksional yang pernah terjadi di HMI [jika memang pernah terjadi], sebab -dengan demikian- kepemimpinan tersebut akan terlepas dari beban-beban sejarah masa lalu berupa konflik-konflik yang bersifat parokial dan kontra-produktif. Kepemimpinan mendatang harus mengerahkan seluruh energi dan kekuatan yang dimiliki oleh HMI untuk mengembangkan dan merevitalisasi kapabilitas politik dan tradisi intelektual yang progresif di semua tingkatan organisasi dan kepemimpinan HMI.

Dengan cara demikian, tugas-tugas untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan akan menjadi lebih mungkin untuk dilaksanakan secara efektif. []




[†] Dalam politik modern, pemimpin atau wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat bertanggungjawab mewujudkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan yang menjadi hak asasi rakyatnya. Mereka harus mewakili rakyat memperjuangkan aspirasi keadilan dan kesejahteraan. Kemakmuran dan kesejahteraan menjadi hak masing-masing pribadi yang tidak dapat diwakilkan kepada sekelompok orang yang dipilih sebagai wakil rakyat.
[‡] Salah satu contoh dari sejarah umat manusia mengenai ketidak-adilan sosial, politik dan ekonomi digambarkan dalam al-Qur’ân pada diri Fir‘awn, Hâmân dan Qârûn. “Sesungguhnya Fir‘awn telah berlaku sombong di muka bumi dan menjadikan rakyatnya terkelompok-kelompok, yang satu memperlemahkan yang lain.” (Al-Qashash 28: 4).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar