Kamis, 03 Mei 2012

BAGI WARISAN SEBELUM MENINGGAL



Makalah Kewarisan Islam
Hukum Pembagian Harta Warisan
Makalah untuk memenuhi tugas
Mata kuliyah Kewarisan Islam
Dosen pengampu Bapak Riayanta SHI. MSI.








oleh :
Mohammad Nur Aris Sho’im (11340144)
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYRIA’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
 A.  PENDAHULUAN
Ucapan Hamdallah senantiasa selalu kita haturkan kepada Tuhan seru sekalian alam. Karena atas limpahan nikmatnya kita dapat menghirup udara yang senantiasa menghiasi kehidupan kita. Sholawat serta salam semoga tetap kita kucurkan kepada manusia yang telah membebaskan kita dari dunia kebodohan. Dan semoga kita mendapatkan syafaat-Nya di hari kiamat kelak, salam sejahtera juga patut kita sampaikan kepada ulama-ulama yang gigih dalam ijtihatnya sehingga bisa member kejelasan pada kita tentang ilmu-ilmu yang sulit difahami.
Dimasa yang serba canggih dan penuh dengan keaneka ragaman dalam perbikir dan berkarya banyak sekali tantangan hidup yang harus kita jalani. Dari yang ringan kita rasakan sampai pada pemikiran yang sangat memusingkan kita. Itulah kehidupan yang harus kita jalani, sehingga seiring dengan kedewasaan kita dalam menjalankan amanah kehidupan tak kunjung pula kita sebagai maka mahasiswa ilmu hukum UIN sering dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh masyarakat dari segi agama hingga hukum yang dipakai oleh pemerintah.
Tak hanya itu kita sebagai mahasiswa UIN dianggap oleh masyarakat mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, begitu juga tentang masalah pembagian harta warisan yang dikira sangat rumit oleh kaum abangan. Dan juga Banyak masyarakat yang sering menanyakan tentang hukum membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah khawatir jika dibagikan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali silaturahim di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan. Pertanyaannya adalah apakah alasan tersebut bisa membenarkan tindakan tersebut? Bagaimana syariat Islam memandang masalah ini? Bagaimana hubungannya dengan hukum-hukum Islam terkait dengan pembagian warisan?
B.  PEMBAHASAN
Dalam masalah ini banyak sekali yang harus kita gali dan kita rinci dulu masalah yang ada  dalam beberapa pengamatan  kami, mari kita pilah-pilah dulu masalah diatas dan kita golongkan dahulu dalam menentukan hukumnya sepaya lebih spesifik dan masuk akal. Sehingga setelah kita pilah maka menjadi tiga jenis harta :
1.      Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. Baik diberikan kepada kerabat, keluarga, atau kepada yang lain. Tanpa mengharapkan imbalan sesuatu apapun.
2.      Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. Baik barupa benda maupun hutang, atau berupa hak atas harta, seperti hak usaha, maupun hak jinayah dan qishash.[1] Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
3.      Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. Dalam keabsahan wasiat oleh semua ulama mazhab sepakat hukumnua diperbolehkan oleh syariat islam.[2] Wasiat juga dianggap sah jika diucapaka atau diperbuat dalam keadaan sehat dan bebas dari sakit; ataupun dalam keadaan sakit yang yang membawa pada kematian.
Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, dan dengan dasar perbedaan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut:
Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:
Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut dinamakan Hibah (harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. [3]
Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya: Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1.  Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: sebagai sarana silaturahim.
2.        Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3.        Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4.        Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
  1. Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
  2. Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
  3. Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).
Masalah berikutnya ;Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya. Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan ulama hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
C.  PENUTUP
Memang sangat rumit sekali pemahaman tentang tatacara pembagian warisan yang sesungguhnya. Tapi, bagi bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya pasti akan mendapat kemudahan dan juga kelancaran dalam pembelajaran. Kami juga masih ingat bahwa bapak riyanta pernah mengatakan pula pembagian harta sebelum meninggal dunia itu bisa dikatakan hibah yang wajib diterima oleh ahli waris atau bisa disebut dengan hibah wajibah. Memang sangat penting bagi kita untuk memahami ilmu kewarisan. Karena, Rosullah pernah bersabda bahwa ilmu faroid adalah ilmu yang paling utama dan juga termasuk separo dari ilmu dunia yang pertama kali hilang dari ummatku ( HR. Ibn Majah).
Betapa pentingnya ilmu tentang warisan, sehingga tercantum dalam hadist bahwa ilmu yang petama kali akan hilang adalah ilmu tentang warisan. Dengan jalan meninggalnya para ahli faroid. Mari kita bersemangat dan memacu hati dan pikiran kita untuk memegang teguh ilmu yang kita pelajari dan harus kita singkirkan rintangan-rintangan yang ada dengan berjalan dengan rajin dan selalu diulang-ulang. Dengan semangat dan doa disertai usaha yang sungguh-sungguh tanpa pantang menyerah dan dengan keyakinan yang ada dalam hati tanpa ragu dan bimbang yakin usaha yang kita inginkan pasti sampai pada tujuan. Waallahu a’lam.


[1]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta Lentera 2008 hal : 535
[2]  Ibid hal : 504
[3] Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar